Ukhti yang Ternoda - Chapter 03
Laila hanya menganggukkan kepala. Aku pun terkejut melihat kecantikan bibir tipis merah Laila dengan kulit putih merona alaminya. “Cantiknya ukhti ini,” pujiku tertegun melihat harta karun di balik cadar itu. Laila hanya tertunduk malu meski dalam hatinya ia merasa senang dengan pujian itu karena ini pertama kalinya ia dipuji kecantikannya oleh Ikhwan.
Aku langsung saja melumat ganas bibir Laila dan disambut dengan ciuman ganas juga oleh Laila. Lidah kami pun saling menyeruak masuk ke mulut pasangannya seolah ingin menjelajahinya. Tangan Laila pun makin mantap menggenggam kontolku. Tangan kananku kini mulai meremas toket Laila dari dalam gamisnya. Terasa kenyal dan besar hingga tanganku yang besar itu pun tak bisa mencakup semuanya. Aku pun menghentikan ciumanku sejenak.
“Ukhti… boleh aku buka bajunya?”
Laila yang tengah terbakar birahi pun mengiyakan. “Panggil ana Laila aja, akhi… he’emh boleh.”
“Panggil aku Ghafar saja, Laila.”
Aku pun mulai menarik resleting gamis hitam Laila, sementara Laila menyibakkan jilbab besarnya ke pundaknya. Gamisnya ditarik hingga lepas semua ke lantai sehingga tinggal BH dan CD pink muda saja yang masih menempel di tubuh indahnya. Begitu putih mulus tanpa cela bak bidadari, yang paling menakjubkan ukuran toketnya yang berukuran 36F terlihat ingin tumpah dari BH-nya.
“Wiihh mantab bener tubuh kamu, Laila. Siapapun yang dapetin kamu pasti ikhwan paling beruntung di dunia.”
“Ihhh… jangan diliatin gitu dong Rafiq… ana kan malu.”
Sambil tangan Laila mencoba menutupi tubuh indahnya.
“Tooh… aku jujur ini… kayak bidadari… ehh aku buka cadarnya ya?”
“Uuhh… masak sih? He’emh… boleh.”
Kemudian aku membuka cadar hitam yang menutupi wajah Laila dan melemparkannya entah kemana. Wajah putih indah Laila begitu mirip Angelica Fransisca, membuatku makin tak bisa menahan nafsu.
“Duh… makin klepek-klepek nih aku lihat kecantikan Laila.”
“Uhhh… gantian dong Laila yang buka baju Rafiq,” pintanya manja.
Kini Laila pun sudah mulai hilang rasa malunya dan tidak segan-segan untuk mengatakan maunya. Ia pun menarik kaosku sehingga terpampang badanku yang cukup six pack. Membuat Laila tak bisa melepaskan tatapan matanya dari bentuk badanku. Tangannya pun kini meraba perutku yang memang atletis. Warna tubuhku yang sawo matang begitu kontras dengan warna kulit putihnya.
“Uhhh mas Rafiq badannya bagus. Ana panggil mas Rafiq boleh?”
Terserah Laila mau panggil apa. Melihat rasa penasaran yang semakin besar, Laila akhirnya menarik sarungku, membebaskan kontolku yang panjangnya 25 cm dan diameter 5 cm. Matanya terbelalak melihat ukurannya yang besar dan berurat, jauh lebih besar dari yang pernah ia lihat di video.
“Gede banget, mas,” katanya sembari mengelus dari ujung hingga pangkal.
“Tapi Laila suka, kan?” tanyaku.
“Takut, mas… baru pertama lihat kemaluan ikhwan…”
“Ini namanya kontol,” jelasku.
“Kontol?”
“Iya, mantab kan.”
Laila hanya mengangguk. Aku tahu apa yang ia mau. Aku meminta Laila untuk duduk bersimpuh di depanku, membuka kedua kaki sehingga kontolku terlihat gagah di hadapannya.
“Mas tau kok Laila pengen ngemut, kan? Ga usah ditahan,” kataku.
“Emm… tapi malu, mas… belum pernah Laila ngelakuin itu…”
“Ga usah malu, sekalian belajar buat persiapan kalau nikah besok,” candaku.
Aku membimbingnya dan Laila pun mendekatkan wajahnya. Bau khas lelaki yang baru untuknya membuatnya semakin bernafsu. Aku membimbing tangannya untuk meremas lembut telurnya, sementara tangan kananku menekan kepalanya hingga bibirnya menempel di kepala kontolku.
“Nah sekarang coba dijilat dulu.”
Laila menuruti perintahku, mulai menjilati kontolku dengan hati-hati. Bukannya jijik, ia justru terangsang. Ia mulai membuka mulutnya lebar-lebar, agar kontolku bisa masuk. Perlahan tapi pasti, kontolku mulai masuk ke mulut mungilnya.
“Unghhh… ohh… mantabnya mulut Laila yang cantik ini,” lenguhku merasakan kehangatan mulutnya.
Meremas bagian belakang jilbabnya, aku menahan kenikmatan yang Laila berikan. Ia mulai menggerakkan kepalanya naik turun, hanya sepertiga kontolku yang bisa ia taklukan. Suara decak benturan kontol dan tenggorokannya membuat suasana kamar semakin menggairahkan.
“Cpok… cpokk… nghkk… nghkk… ummm… sluurrpp…”
“Ouhh terus, Laila sayaaang.”
Laila mempercepat gerakan kepalanya, menikmati kontol yang selama ini hanya ada di fantasinya. Tangan kanannya terus meremas lembut telurnya. Kini aku yang sudah terangsang berat menarik Laila dan mendudukkannya di pinggir ranjang. Gelap mata, aku langsung melumat bibir tipis dan berwarna pinknya. Tanganku dengan cekatan melepas BH-nya, dan toket Laila yang berukuran 36F langsung melompat dari tempatnya.
Langsung meremas-remas toketnya, sesekali memilin puting coklat muda itu. Laila menahan desahannya, merasakan aliran birahi memuncak.
Aku terus menciuminya sambil mendorongnya hingga terlentang. Dengan penuh nafsu, aku mencium lehernya, disambut desahan yang menahan rangsangan. Laila memelukku, kakinya melingkar di pinggangku.
“Ouuhh… aahhh… terus mas… aahhhh… iyaahh…”
Aku mulai mencupangi pangkal lehernya hingga belahan dada. Memandangi dua gunung besar di hadapanku, tak pernah aku melihat toket akhwat seindah dan sebesar ini.
“Uhhh… kenapa mas? Jangan diliatin dong… Laila malu…”
Meskipun malu, Laila tak berusaha menutupinya. Tanpa ba bi bu, aku langsung menyerang kedua bongkahan raksasa itu. Dimulai dari menjilati sekelilingnya hingga mendekat ke arah puting. Sengaja menjilat sekelilingnya tanpa menyentuh puting, membuatnya makin gelisah.
“Ahhh… masss… isepp dongg… jangan gituu…”
Laila membusungkan dadanya, mengarahkan kepalaku supaya mau melumat putingnya, tapi aku tetap mempermainkannya. Bergantian, aku meremas dan menjilat. Sampai akhirnya, aku membenamkan mukaku di toketnya, mengulum habis putingnya.
Kelakuanku membuat Laila melenguh panjang, merasakan kenikmatan luar biasa.