Ukhti yang Ternoda - Chapter 02
Laila pun berpikir sejenak. Kalau dilanjutkan khawatir jatuh lagi, tapi kalau minta bantuanku, khawatir terjadi khalwat karena Laila belum pernah berdua dengan ikhwan dalam satu kamar. Tapi sejenak kemudian, Laila pun memantapkan diri untuk membolehkanku membantunya.
“Mmm… boleh deh, tapi tunggu sebentar, akhi, ana pakai cadar dulu,” jawabnya.
Setelah selesai memakai cadar, aku masuk kamar yang dibukakan oleh Laila. Dia duduk di ranjangnya dengan cadar bandana hitam dan jilbab instan warna biru navy serta gamis hitamnya. Aku sempat melirik ke arah tangannya yang putih mulus bersih tanpa manset, membuatku berkhayal tentang tubuh Laila.
Laila duduk dengan posisi agak membusung dengan tangan kiri menyangga tubuhnya dan tangan kanan mengelus punggungnya. Tak ayal, bongkahan bukit indah yang tertutup jilbab itu mulai menampakkan wujud aslinya. Begitu besar dan bulat, membuatku menelan ludah membayangkan kekenyalannya. Tanpa sadar, kontolku pun mulai tegang di balik sarung.
“Itu tolong, akhi, di atas lemari yang itu,” kata Laila sembari menunjuk lemari yang dimaksud untuk dibersihkan dan ditata.
Aku mulai menaiki kursi yang digunakan untuk pijakan. Mau tidak mau, aku pun harus menegakkan badan supaya bisa menjangkau bagian atas lemari. Sehingga, kontolku yang sudah tegang dan keras berukuran 25cm itu mengacung tajam bak tombak. Sarung yang menutupinya pun tak bisa membendung bentuk asli kontolku.
Aku mengetahui mata indah Laila tengah menatap kontol tegangku berusaha untuk tetap fokus pada pekerjaanku meskipun aku juga menikmati apa yang terjadi pada Laila. Kelihatannya, Laila belum menyadari kalau aku pun sesekali mencuri pandang pada tingkah lakunya. Nafas Laila mulai terengah-engah tanpa sedetikpun berkedip dari pemandangan di depannya.
Tangannya yang tadi mengelus punggung, kini beralih meraba-raba dan meremas buah dadanya. Aku semakin menikmati pemandangan itu sehingga aku melambatkan pekerjaan membereskan lemari. Nafas Laila makin terdengar berat dan mulai terdengar desahan-desahan kecil. Ketika melirik, ternyata tangan kiri Laila mulai memainkan pangkal pahanya dengan tangan kirinya.
Aku pun masih berlagak seakan tidak tahu apa yang dilakukan Laila. Merasa aman, Laila pun memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh meskipun di dalam hatinya berkecamuk antara larangan agama dan hawa nafsu yang menggoda.
Sering Laila mendengarkan kajian-kajian keislaman yang melarang ia berbuat hal itu, tapi birahi kuat yang menguasainya lebih ia pilih untuk dituruti. Akhirnya, Laila pun menarik gamis hitamnya ke atas hingga pangkal paha, sehingga terlihat CD warna pink muda yang sudah mulai basah. Laila pun mulai memasukkan tangan kirinya ke dalam CD-nya, ingin merasakan sensasi yang lebih.
Aku sesekali melirik ke arah Laila yang kini menampilkan paha putih mulusnya tanpa cela yang hanya tertutup kaos kaki hitam sebetis. Bagian yang begitu dilindungi oleh akhwat, kini terpampang indah di hadapanku. Laila pun seperti sudah kehilangan kesadaran dan mulai menggesek-gesekkan jarinya di kemaluannya yang mulai membasahi celana dalamnya. Jilbab biru navynya pun mulai terlihat kusut karena remasan liar dari tangan kanannya dibarengi dengan desahan-desahan yang mulai keluar dari mulutnya.
Aksi Laila pun semakin liar dengan remasan dan permainan tangan kirinya memuaskan bagian bawah tubuhnya. Aku pun semakin tak kuasa menahan birahi yang menerpa diriku.
“Ehm… pengen banget kah ukhti?” tanyaku, membuat Laila terperanjat dan langsung menghentikan permainannya. Ia segera merapikan semua pakaiannya dan menunduk malu, tidak berani menatapku. Ternyata selama ini aku melihat apa yang Laila lakukan.
Aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Dengan kontol yang masih tegak berdiri, aku segera turun dari kursi dan memberanikan diri duduk di ranjang di samping Laila. Meskipun Laila sebenarnya ingin mencegahku untuk tidak dekat-dekat dengannya, tapi sudah terlanjur basah ketahuan sehingga ia pun hanya terdiam ketika aku duduk tepat di sampingnya.
“Hemm… gak papa kok ukhti… aku juga tau kalau akhwat juga manusia yang punya nafsu dan syahwat,” ucapku berusaha menenangkan Laila supaya tidak merasa bersalah. “Sebenarnya sejak tadi aku juga nafsu melihat ukhti main kayak gitu. Nih lihat jadi tegang kan kontolku.”
Laila sedikit menaikkan kepalanya sambil masih mencuri pandang ke arah kontolku yang tegak menjulang di dalam sarung. Begitu banyak rasa berkecamuk di dalam diri Laila, namun ia juga ingin sekali merasakan kontol asli seorang ikhwan.
“Aku janji gak akan cerita ke Ummu Widya. Kalau ukhti mau lanjut lagi pun ga masalah buat aku.”
“Beneran akhi? Ana malu banget,” jawab Laila dengan suara bergetar.
“Ga perlu malu ukhti… aku tau kok kalau seumuran kita memang sudah waktunya mengetahui hal-hal seperti ini.”
Aku pun memberanikan diri untuk merangkul pundak Laila. Ia terlihat seperti mengiyakan saja ketika tangan kiriku merangkul pundak kirinya dan menariknya ke arahku. Kemudian, aku memberanikan diri untuk menarik tangan kanan Laila untuk memegang kontolku. Dalam diri Laila masih berkecamuk antara rasa bersalah dan birahi yang tak tertuntaskan. Kajian-kajian yang pernah ia ikuti tak mampu membendung hasrat birahinya untuk merasakan kontol laki-laki yang bukan mahramnya. Laila masih seperti menahan tangannya dari ajakan tanganku.
“Gak papa kok ukhti… toh ga ada siapa-siapa.”
Mendengar hal itu, Laila pun terdiam sejenak, kemudian memberanikan diri untuk menggenggam kontol yang selama ini hanya menjadi fantasinya.
“Tapi ana malu, akhi,” kata Laila dengan suara gemetar.
“Malu sama siapa lho? Kan hanya ada ukhti sama aku. Toh aku juga pengen kok.”
Sambil tertawa kecil, aku pun merasa mendapatkan sinyal hijau dan mulai memberanikan diri untuk berbuat lebih jauh. Kini, dagu Laila kupegang dan diarahkan ke arah wajahku. Aku pun mulai mendekatkan wajahku dengan wajah Laila yang tertutup cadar. Laila memejamkan matanya pasrah dengan apa yang terjadi selanjutnya. Kemudian, aku pun melahap bibir Laila dari balik cadarnya. Awalnya Laila hanya terdiam, tapi beberapa saat kemudian ia pun mulai membalas ciumanku. Cadar hitam yang membatasi bibir kami pun mulai basah oleh liur birahi kedua anak adam itu.
Aku pun menghentikan ciumanku. Laila membuka matanya dan menatapku dengan mata indahnya. “Ana buka sedikit ya cadarnya, ukhti? Biar enakan.”