Ukhti yang Ternoda - Chapter 01
Pagi ini menandai hari pertamaku memasuki kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Jakarta. Sejak SMA, aku sudah bertekad untuk melanjutkan studi di Jakarta, khususnya di PTN ini. Berasal dari Semarang dan berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang terbatas, aku harus mencari alternatif kos yang terjangkau agar tidak membebani orang tua.
Dengan mempertimbangkan situasi keuangan, aku memutuskan untuk mencari kos dekat kampus di daerah Pogung. Akhirnya, aku menemukan kos yang cukup murah, sekitar 3 juta per tahun, meskipun kondisinya sederhana. Untuk membantu biaya kuliah, aku juga perlu mencari pekerjaan sampingan sambil kuliah.
Pagi itu, udara Jakarta terasa cukup sejuk. Saat aku melangkah keluar dari kos menuju kampus, mataku tertangkap oleh sosok seorang akhwat yang keluar dari rumah mewah di depan kos. Ia mengenakan jilbab lebar hingga paha, gamis yang menyentuh tanah, dan bercadar; meskipun demikian, keindahan matanya tetap terlihat, terkurung di balik kain cadar hitam dan dilengkapi dengan kacamata yang semakin menonjolkan pesonanya, yang juga didekorasi dengan eyeliner.
Ia tampak terburu-buru untuk menyalakan motornya, namun sayangnya, motor maticnya tidak mau di-starter. Akhwat itu terpaksa harus menyalakannya secara manual. Ya, namanya juga perempuan, pasti kesulitan menggunakan standar tengah, sehingga ia terlihat panik karena dikejar waktu. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk membantunya.
“Afwan ukhti… butuh bantuan?” tanyaku.
Ia menatapku sejenak sebelum menganggukkan kepala, sedikit mundur dari motornya. Tampaknya, ia berusaha menjaga pandangannya dari ikhwan dengan menundukkan sedikit kepalanya. Segera, aku menyadari situasi dan langsung membantu mengangkat motor agar bisa menggunakan standar tengah.
Tanpa sengaja, tangan kami bersentuhan, dan akhwat itu segera menarik tangannya dengan cepat. Dalam sekejap, aku melihat kulit putih tangannya yang dihiasi kutek merah marun, mempercantik kuku-kukunya yang dibalut manset hitam.
“Afwan ukhti… gak sengaja,” ucapku cepat. Tanpa ragu, aku langsung menghidupkan mesin motor dan dalam sekejap, motor itu menyala. Sambil berterima kasih atas bantuanku, aku tak ingin melewatkan kesempatan ini untuk berkenalan. “Afwan ukhti… nama saya Rafiq. Kalau boleh tahu, nama ukhti siapa?”
“Nama saya Laila,” jawabnya singkat.
“Oh, jadi ukhti Laila ya… jurusan apa yang kamu ambil?” tanyaku, berusaha melanjutkan obrolan.
“Arsitektur… dan akhi sendiri?”
“Wah, saya di Teknik Fisika, ukhti… sepertinya kamu sedang terburu-buru?” tanyaku lagi.
“Iya, hari ini ada rekrutmen KMI (Keluarga Mahasiswa Islam) Fakultas yang harus saya hadiri, jadi saya harus cepat… Akhi Rafiq tidak ikut daftar?”
“Wah, saya baru tahu… apakah pendaftaran masih dibuka?”
“Iya, akhi… langsung saja ke sekretariatan. Saya permisi dulu ya, akhi. Syukron… assalamualaikum.”
Laila pergi dengan senyuman yang bersinar di matanya, bak bidadari. Pagi ini terasa bahagia karena di hari pertamaku kuliah, aku berkesempatan berkenalan dengan ukhti yang cantik.
Sorenya, setelah pulang, aku segera melanjutkan aktivitas rutinku: jogging, setelah sebelumnya mengikuti proses rekrutmen di KMI kampus. Saat aku selesai mengikat sepatu, pandanganku tertuju pada selembar kertas yang terpasang di gerbang rumah Laila. Di sana tertulis bahwa mereka sedang mencari tenaga pembantu rumah tangga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengetuk pintu rumahnya.
“Assalamualaikum…” sapa ku.
Dari dalam rumah terdengar suara lembut yang membalas salamku. Ketika pintu dibuka, aku terkejut melihat seorang akhwat cantik berkulit putih, dengan jilbab lebar yang menutupi hingga paha dan mengenakan gamis panjang.
“Afwan, Bu… apakah benar ada lowongan pekerjaan di sini?” tanyaku penuh harap.
“Iya, benar… bagaimana, dek?” jawabnya.
“Jika boleh, saya ingin melamar pekerjaan di sini, Bu,” kataku.
“Wah, kebetulan sekali… saya memang sedang membutuhkan pembantu rumah tangga. Oh ya, siapa nama adek?”
“Saya Rafiq, Bu.”
“Oh, dek Rafiq… saya biasa dipanggil Bu Widya. Anda bisa memanggil saya Umm juga. Kira-kira, bisa mulai bekerja besok?”
“InshaaAllah bisa, Bu,” jawabku tanpa ragu.
Mata tak bisa berhenti menjelajahi tubuh indah Ummu Widya yang tertutup rapi dengan jilbab lebar dan gamisnya. Kecantikan wajahnya yang begitu mirip Zaskia Adya Mecca pun menjadi poin utamanya. Aku pun diberikan jobdesk pekerjaan yang harus aku kerjakan di rumahnya mulai besok dengan upah 800 ribu per bulan.
Hari berikutnya, ketika pulang dari kuliah, aku segera mengerjakan jobdesk yang sudah diberikan oleh Ummu Widya. Ketika mengetuk pintu gerbang, pintu dibuka oleh Laila dengan setelan cadar bandana hitam, jilbab biru navy, dan gamis hitamnya.
“Ohh akhi Rafiq… kata ummi mulai kerja di sini ya hari ini?” tanya Laila.
“Iya afwan ukhti… soalnya buat bantu-bantu biaya kuliah,” jawabku.
“MashaaAllah… ya sudah, nanti kalau butuh apa-apa panggil ana ya, ana mau benah-benah kamar dulu,” kata Laila.
“InshaaAllah, ukhti,” balasku.
Aku segera melakukan jobdesk yang telah diberikan seperti menyapu, mengepel, mencuci piring, menata taman, dan lain-lain. Semua pekerjaan rumah aku lakukan. Aku memang sudah terbiasa latihan fisik seperti jogging, sehingga pekerjaan seperti ini pun menjadi pengganti dari latihan harianku.
Ketika tengah membersihkan ruang tamu, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh dan diiringi erangan Laila.
“Akhh!! Innalillah…”
Aku bersegera menuju kamar Laila dan berhenti di depan pintu kamarnya. “Afwan ukhti… ukhti gak papa?” tanyaku.
“Iya, akhi… gpp kok, ini tadi kepleset waktu bersih-bersih atas lemari jadi jatuh,” jawab Laila sambil menahan sakit dan mengelus bagian tubuhnya yang memar.
“Mau saya bantu, ukhti?” tawarku.