Suami Sewaan Tante Sania - Bab 02
Sekitar seminggu kemudian, pada hari Jumat petang, Om Jovan menelepon Noah lagi.
“Halo, Noah, malam ini kamu ada acara?” tanya Om Jovan.
“Tidak, Om, ada apa?”
“Ingat pembicaraan kita minggu lalu? Sania akhirnya setuju. Awalnya dia menolak dengan keras dan marah-marah. Tetapi setelah kami berbicara dari hati ke hati, dia akhirnya setuju. Jadi, malam ini, bisakah kau datang?”
==
Dalam seminggu terakhir, Noah tak pernah membayangkan bahwa percakapannya dengan Om Jovan akan menjadi kenyataan. Ia menganggapnya sebagai sesuatu yang mustahil, namun nyatanya, hal itu akan benar-benar terjadi.
Malam itu, Noah pergi ke rumah Om Jovan, yang ternyata sudah menunggunya. Om Jovan menyambutnya dengan ramah.
“Terima kasih sudah datang, Noah. Kamu siap?” tanya Om Jovan.
Noah merasa gugup, ia hanya mengangguk. Masih merasa seperti dalam mimpi, ia kini berada di rumah Om Jovan, yang meminta dirinya untuk bermesraan dengan istrinya sendiri.
“Istriku ada di ruang kerjanya, di kamar itu,” kata Om Jovan sambil menunjuk ke arah kamar di ujung ruangan. “Silakan masuk.”
Dengan degup jantung yang kencang, Noah mendekati pintu, mengetuk, dan masuk. Ia melihat Tante Sania duduk di sofa, membaca majalah. Tante Sania mengenakan daster biru bermotif bunga dan selendang biru tua yang menutupi rambutnya. Tampaknya ia baru saja mandi, terlihat segar.
Tante Sania meliriknya sekilas saat ia masuk, namun tidak berkata apa-apa dan terus membaca.
Noah berdiri kikuk, tidak tahu harus berbuat apa. Sikap dingin Tante Sania membuatnya semakin canggung. Ia mengingat perkataan Om Jovan, bahwa Tante Sania telah setuju dengan usulan suaminya, bahwa Noah akan menjadi pengganti Om Jovan sebagai suami. Tante Sania telah setuju untuk bermesraan dengannya.
Melihat sikap Tante Sania yang dingin, Noah memutuskan untuk mengambil inisiatif. Mengingat sifat dan perilaku Tante Sania selama ini, wajar jika ia bersikap dingin. Mungkin ia merasa malu.
Noah mendekati dan duduk di samping Tante Sania. Namun, Tante Sania tetap tidak bereaksi, bahkan tidak meliriknya sekalipun. Ia terus membaca majalahnya.
Noah menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk bertindak. Ia tidak peduli jika Tante Sania akan marah.
“Tante, maaf sebelumnya,” kata Noah sambil menyingkirkan selendang yang menutupi telinga Tante Sania. Perlahan, ia mencium telinga kiri Tante Sania.
Tante Sania menggerakkan kepalanya, seolah kegelian, namun tidak menolak. Noah mengangkat selendang itu dan menyingkirkan rambut yang menutupi leher Tante Sania. Perlahan, ia mencium leher di bawah telinga.
Tante Sania menggeliat, namun tetap diam. Bibirnya tidak berkata apa-apa, seolah membiarkan Noah menciumi lehernya.
Noah berpindah tempat dan berjongkok di depannya. Ia mengambil majalah yang dipegang Tante Sania dan melemparkannya ke lantai. Kemudian, ia mencium leher Tante Sania tepat di bawah dagunya.
Tante Sania menggeliat, namun tetap bungkam.
Bibir Noah menjelajah leher jenjang Tante Sania. Ia menahan diri untuk tidak mencium bibirnya, merasa belum saatnya.
Setelah leher, bibir Noah perlahan turun ke arah dada. Ia mengecup pucuk bukit kembar sebelah kiri Tante Sania.
Tante Sania ternyata tidak mengenakan bra. Noah bisa merasakan pucuk bukit yang mengeras. Tangan Noah segera meraba dan memilin pucuk bukit yang satunya lagi.
“Uhhh…” Tante Sania merintih pelan. Ia menggeliat gelisah. Noah terus mencium dan meremas, sementara tangan kirinya membelai paha Tante Sania yang halus. Jemari tangan kirinya bermain-main di paha dan akhirnya menyentuh bagian di antara kedua paha.
“Ahhhh…” Tante Sania kembali menggeliat. Matanya setengah terpejam, seolah seperti cacing kepanasan.
Perlahan, Noah mengangkat daster Tante Sania hingga ke dada bagian atas. Ia terpesona melihat keindahan yang terpampang di depannya.
Kulit Tante Sania sempurna, mulus, bening, dan bersih, tanpa cacat. Sepasang bukit kembar berdiri sempurna, kenyal, dan penuh. Bukit kembar indah yang selama delapan tahun terakhir tidak pernah disentuh laki-laki!
Bibir Noah kembali menjelajah pucuk bukit kembar yang terbuka. Lidah dan bibirnya bermain-main, sementara jemari tangannya bergerak lincah.
Setelah puas mengecup bukit kembar, bibir Noah turun ke perut Tante Sania, merasakan kelembutan dan kehalusan kulitnya.
Bibir Noah kemudian turun ke arah paha Tante Sania.
Perlahan, Noah menekuk kedua kaki Tante Sania, yang kini mengangkang di depannya. Jemari Noah menyingkap celana dalam yang dikenakan Tante Sania.
Pemandangan indah terpampang di depan mata Noah. Ia melihat rerumputan halus yang tertata rapi dan tonjolan daging yang menggiurkan. Daging dan belahan yang selama bertahun-tahun tidak pernah dilihat atau disentuh laki-laki.
Noah membungkuk dan mengecup tonjolan daging itu.
“Aiiiihhhhh….”
Tante Sania merintih.
Noah mencium lagi, memainkan lidahnya di tonjolan daging itu. Tante Sania semakin menggeliat.
Noah merasakan bagian paling pribadi Tante Sania telah basah, siap untuk menerima.
Dengan cepat, Noah membuka celananya dan mengeluarkan “senjata rahasia” miliknya. Pemandangan di depannya membuat “senjatanya” tegang, besar, dan siap tempur.
Perlahan, Noah menggosokkan miliknya ke tonjolan daging Tante Sania. Ia menggosok berulang kali hingga mencapai mulut “gua rahasia” itu.
Dengan gerakan perlahan, Noah mendorong “senjatanya” masuk ke dalam “gua” tersebut.
“Ahhhhhh….”
Tante Sania menjerit pelan saat “senjata” Noah masuk sepenuhnya.
Noah menahan napas, merasakan sensasi nikmat saat “senjatanya” masuk. Ia merasakan “senjatanya” diremas dengan lembut.
Perlahan, Noah menarik “senjatanya” hingga hampir seluruhnya keluar, lalu mendorong lagi, kali ini sedikit lebih keras.
“Auuuu….”
Tante Sania kembali menjerit pelan saat “senjata” Noah masuk.
Noah mengulangi gerakannya. Mencabut dan memasukkan, mencabut dan memasukkan lagi.
Noah melihat area pribadi Tante Sania benar-benar basah. Bahkan seluruh bagian “senjatanya” juga telah basah.
Noah mencabut “senjatanya” dan kali ini tidak memasukkan.
“Bagaimana kalau Tante di atas?” tanya Noah sambil menatap lantai. Lantai ruangan itu ditutupi karpet tebal, yang pasti akan terasa nyaman untuk berbaring dan bercinta.
Tante Sania tidak menjawab, hanya mengangguk.
Noah segera berbaring di lantai.
Tante Sania berdiri dan menatap “senjata” Noah yang mengacung.
“Punya kamu besar sekali…” kata Tante Sania, kalimat pertamanya sejak Noah memulai aksinya.
Tante Sania berjongkok, memegang “senjata” Noah, dan mengarahkannya ke miliknya. Ia bergerak perlahan, dan “senjata” Noah terbenam.
“Aaaaarggghhhh….”
Tante Sania menjerit pelan.
Ia mengangkat tubuhnya dan memasukkan kembali.
“Addduuuhhhh….”
Tante Sania mengangkat tubuhnya lagi dan memasukkan lebih cepat.
Gerakan Tante Sania semakin cepat.
“Auuuuuuu…”
Gerakan Tante Sania berubah, bukan lagi ke atas-ke bawah, tapi maju-mundur. Gerakannya semakin cepat, seolah tak terkontrol.
“Ahhhhhh….”
Bersamaan dengan jeritannya, tubuh Tante Sania mengejang.
“Aduuuuh Noah….”
“Auuuuuu….”
Tubuh Tante Sania mengejang beberapa kali sebelum akhirnya terkulai lemas. Nafasnya terengah-engah.
Mereka terdiam, hanya terdengar suara napas mereka. Di luar, suara televisi samar terdengar.
“Terima kasih, Noah. Aku sudah lama tidak merasakan ini,” bisik Tante Sania di telinga Noah.
Noah tersenyum dan membelai punggung Tante Sania, lalu kepalanya.
“Tante istirahat dulu. Setelah itu kita lanjutkan lagi,” kata Noah.
“Aku tidak mau istirahat. Aku mau lagi, sekarang,” kata Tante Sania. Ia mengangkat tubuhnya dan kembali bergoyang.