Rintihan di Asrama Putri - Bab 9
Alya membuka matanya perlahan. Dia tidak sadar kalau dia tertidur lama di atas kasurnya. Pandangannya terpaku ke langit-langit kosong. Antara ingat dan tidak ingat apa yang terjadi tadi. Badannya terasa sedikit pegal. Alya bangun perlahan dan duduk.
Dia tidak tahu sudah jam berapa sekarang. Dia menoleh ke arah jendela. Gelap. Tangannya meraba-raba mencari ponselnya di atas kasur. Begitu ponsel diraih, Alya melihat jam yang tertera di layar. 8.30 malam. Dia pulang ke kamar tadi jam 4.30 sore. Lama sekali dia tertidur.
“Haa, bangun juga kamu,” tegur Safira yang sedang duduk di meja belajarnya. Lamunan Alya terhenti seketika mendengar suara teman sekamarnya itu.
“Lama banget aku tidur, Fir. Kenapa nggak bangunin aku tadi?” tanya Alya dengan suara lemah.
“Aku lihat kamu capek banget. Nggak tega bangunin. Kasihan,” jawab Safira.
Alya perlahan-lahan bangun untuk pergi mandi membersihkan diri. Tiba-tiba celah selangkangannya terasa ngilu. Saat disentuh bagian bawahnya itu, barulah Alya teringat apa yang terjadi sebelum dia tidur tadi. Alya segera menoleh ke arah Safira. Safira sedang asyik menjawab soal dari buku seperti tidak ada apa-apa yang terjadi.
“Aa… Safiras,” panggil Alya dengan suara terputus-putus.
“Ya, kenapa?” jawab Safira sambil menoleh ke arah Alya.
“Aa.. ap… Apa yang terjadi tadi?” tanya Alya nekad.
“Alya, kamu mandi dulu, ya. Nanti kita ngobrol,” kata Safira segera mematikan pembicaraan.
Alya menurut dan bangun mengambil handuknya lalu segera menuju ke kamar mandi.
Begitu terdengar suara air di kamar mandi, Safira segera merapikan mejanya dan duduk di tepi kasur Alya menunggunya selesai mandi.
Sepuluh menit berlalu. Alya keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhnya. Safira memerhatikan setiap gerak tubuh Alya. Kali ini tidak perlu lagi dia menyembunyikan perlakuannya dari Alya.
“Kenapa kamu lihat aku begitu? Malu, tahu,” ujar Alya yang segera mengenakan singlet dan celana pendek. Pakaian dalam tidak dipakai seperti biasa. Malam hari di kamar, Alya lebih nyaman begitu.
Safira yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan, hanya tersenyum. Dia merasa senang karena kali ini secara terang-terangan dia bisa memperhatikan Alya berpakaian.
Setelah selesai semuanya, Alya pun mendekati Safira dan duduk di sebelahnya. Mata mereka bertemu. Alya segera mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Safira memegang tangan kiri Alya dan mengusapnya perlahan.
“Bagaimana perasaanmu sekarang? Oke?” tanya Safira memulai pembicaraan.
“Emm. Oke. Tapi badanku sedikit pegal,” jawab Alya kembali menatap mata Safira.
“Pertama kali ya kamu merasakan begitu?”
“Err. Iya. Belum pernah sebelumnya.”
Wajah Alya mulai merah saat mengingat peristiwa tadi.
“Itu normal. Nanti lama-lama biasa saja tubuhmu.”
“Tapi aku malu, Fir.”
“Malu kenapa?”
“Ya, aku perempuan. Kamu juga…”
“Iya, aku juga perempuan.”
“Tapiii…”
Belum sempat Alya menyelesaikan kalimatnya, Safira meletakkan jari telunjuknya di bibir Alya.
“Nanti dengan Irwan, lebih malu kan?”
“Emm. Tapi Irwan laki-laki. Pasti malu.”
“Dengan aku kamu nggak perlu malu, Alya. Kita sama-sama perempuan.”
“Hmm…”
Alya kini hanya tertunduk. Tidak tahu apa lagi yang ingin dikatakan. Safira mengangkat dagu Alya mencoba memujuk.
“Tapi tadi enak nggak?”
“Emm… Se.. enak.”
Safira tertawa kecil melihat reaksi teman baiknya itu. Jarum halus mulai dicucukkan untuk memujuk Alya.
“Tau juga enak. Hehehe.”
Lidah Alya kelu. Tidak tahu apa yang hendak dibalas.
“Dari mana kamu belajar semua ini, Fir?”
“Adalah. Hehe.”
“Tapi kamu… Kamu terlihat…”
“Terlihat alim?”
Sekali lagi kalimatnya terpotong. Alya mengangguk perlahan. Matanya menatap dalam ke mata Safira.
“Aku ini tidak sebaik yang kamu kira, Alya,” Safira memulai cerita.
“Aku memang dari keluarga baik-baik. Ayahku ustaz. Ibuku guru sekolah. Saudara-saudaraku juga semuanya baik-baik.
Tapi, Alya. Mereka tidak tahu kisahku. Apa yang terjadi padaku sejak aku kecil.”
“Kenapa, Fir? Apa yang terjadi?” Alya tertarik dengan cerita Safira.
“Aku sejak umur 6 tahun sudah dicabul.”
“HAA??? Serius, Fir?”
“Iya. Tetangga aku, umurnya 4 tahun lebih tua dariku. Dulu setiap pulang dari TK, aku menunggu di rumah dia sambil menunggu ibuku pulang sore itu.
Kak Farida namanya. Baik orangnya. Tapi aku tidak tahu kalau semua yang dia lakukan padaku itu tidak benar. Masih kecil, Alya. Mana bisa berpikir.”
Wajah Alya serius mendengar kisah kelam Safira yang baginya sangat mengejutkan. Alya tidak berani menyela. Wajah Safira yang tadi ceria kini muram.
“Dia selalu menyuruh aku telanjang saat kami berdua-duaan. Dia juga telanjang. Dia suruh aku meremas payudaranya, menghisap putingnya. Dia kelas 4 SD tapi payudaranya sudah cukup besar bagiku waktu itu.
Aku ingat dia bilang dia sakit, jadi aku harus membantu. Sumpah waktu itu aku ikut saja apa yang dia suruh.”
Air mata mulai menetes dari mata Safira. Memori pahit yang dialaminya sangat pedih saat diingat kembali.
Mata Alya sudah berkaca. Dia menahan air matanya agar tidak tumpah. Dia tidak mau menangis di depan Safira. Dia merasa harus kuat. Safira membutuhkannya. Lagi pula ini yang ingin dia ketahui tadi.
Safira mengelap air matanya di pipi dan melanjutkan cerita, “Yang paling menjijikkan saat dia suruh aku menjilat vaginanya.
Hancing, bau. Tapi dia janji mau memberi aku kue coklat. Jadi, aku lakukan saja apa yang dia suruh.
Setelah itu dia mainkan vaginaku, menggentel klitoris. Awalnya tidak ada rasa apa-apa. Tapi hampir setiap hari seperti itu, aku mulai merasa enak.
Dia juga suruh aku masukkan pensil ke vaginanya. Untung dia tidak masukkan ke aku juga.”
Tanpa sadar, air mata Alya sudah bercucuran. Tidak menyangka begitu dahsyat penyiksaan yang dilalui Safira.
“Safirass,” Alya memeluk erat tubuh Safira, tidak tahan lagi mendengar ceritanya.
“Maafkan aku, Fir. Aku tidak tahu sampai begini yang kamu alami,” kata Alya sambil menangis di bahu Safira.
“Tidak apa, Alya. Sudah lama aku pendam cerita ini. Tidak ada seorang pun yang tahu kisahku. Aku lega akhirnya bisa meluapkan ke seseorang,” ujar Safira sedih.
Pelukan dilepaskan. Alya menghapus air mata Safira. Safira juga mengelap air mata Alya dengan ibu jarinya.
“Sekarang dia di mana?”
“Tidak tahu di mana. Waktu dia SMP, dia masuk asrama. Dan setelah itu aku ikut keluargaku pindah karena ibuku dipindahkan ke Bekasi.
Sejak itu aku butuh belaian. Aku jadi ketagihan. Aku mulai belajar melancap. Tapi aku tidak puas.
SMP kelas 1, aku masuk asrama. Di situlah aku mulai aktif dengan hubungan sejenis. Aku menemukan geng yang seperti aku.
Dan kelas 3 SMP, aku mulai punya pacar. Kami berhubungan berkali-kali. Aku yang mengajarinya macam-macam. Aku ketagihan penis saat itu. Tapi aku masih suka perempuan. Orang menyebutnya ‘Bisex’.”
“Ohh, aku pernah dengar. Tidak menyangka aku ada juga seperti ini,” ujar Alya menggeleng kepala.
“Ada, Alya. Ini di depan kamu contohnya. Hahaha!” Safira tertawa yang sudah kembali normal.
“Ish, kamu ini Safira. Bisa-bisanya tertawa. Orang sedang sedih ini,” cemberut Alya.
Suasana berubah menjadi ceria. Safira pandai mengubah emosinya. Tidak ingin terlalu sedih terbawa kisah lamanya. Hidup harus diteruskan.
“Terima kasih, Alya. Sudah mau mendengar curhatanku,” ucap Safira senang.
“Aku kan sahabat baikmu. Apa pun masalahnya, ceritain aja ke aku ya?” balas Alya sambil memegang bahu Safira.
Safira terharu mendengar kata-kata Alya itu dan mencium pipi Alya sebagai tanda terima kasih.
“Eiii. Kenapa cium-cium pipi orang, nggak malu apa?” kata Alya terkejut dengan ciuman yang diterimanya.
“Kan kamu yang ngajarin aku tadi. Begini nih,” lanjut Alya dan langsung mencium bibir Safira.
Safira terkejut dengan tindakan Alya.
“Apa nih? Tadi kamu yang ngajarin. Sekarang malah kamu yang nggak bisa cium?” ujar Alya sambil menantang Safira.
Tanpa membuang waktu, Safira menyambar kembali bibir Alya dan mereka tenggelam dalam ciuman yang penuh gairah.