Rintihan di Asrama Putri - Bab 7
Sejak kejadian mengejutkan itu, Rizky semakin malu mendekati Safira. Setiap kali mereka bertemu, Rizky cepat-cepat mengalihkan pandangan ke tempat lain. Setiap kali melihat wajah Safira, terbayang peristiwa di ruang operasi klub. Batangnya mengeras di balik celana dalamnya.
“Firs, kenapa si Rizky gelagapan setiap kali lihat kamu?” tanya Alya saat mereka berdua sarapan di kafe.
“Entahlah, Alya. Sejak Sabtu lalu dia jadi aneh,” jawab Safira yang sengaja merahasiakan kejadian sebenarnya.
“Jangan-jangan dia suka sama kamu?” tebak Alya.
“Hmm, mungkin. Hehe,” jawab Safira sambil tersenyum.
Setelah selesai sarapan, mereka bergegas ke kelas. Hari itu jadwal mereka sangat padat.
……
“Ahhhhh. Capeknyaaa,” ujar Safira begitu mereka sampai di kamar.
Safira langsung menuju lemari dan membuka hijabnya. Alya merebahkan diri di atas kasurnya. Dia membuka hijab sambil berbaring, merasa malas untuk melakukan apa pun.
Saat Alya termenung memandang langit-langit, kepalanya menoleh ke arah Safira yang sedang berganti pakaian. Safira membelakangi Alya, jadi Safira tidak menyadari dirinya diperhatikan.
Gaun abaya yang dikenakan Safira dilurutkan setelah membuka ritsleting belakang. Di dalamnya, Safira masih mengenakan kaos dan celana olahraga. Setelah gaun digantung, Safira mulai melepaskan kaosnya dan hanya mengenakan bra. Kemudian celana olahraga pun dibuka.
Kini Safira hanya memakai pakaian dalam. Alya yang dari tadi hanya memperhatikan saja tingkah laku Safira.
“Weh, kamu nggak mau ganti baju?” tanya Safira yang baru sadar akan gelagat Alya.
“Oh. Err. Nanti aja, Safira,” jawab Alya sambil mengalihkan pandangan. Dalam hatinya mulai sadar akan apa yang dilakukannya tadi. Kenapa dia ingin melihat perempuan ganti baju, seperti laki-laki genit saja.
Safira menghampiri Alya dan duduk di kasur. Dia mengenakan singlet polos dan celana pendek. Entah kapan Safira melepas bra-nya, Alya pun tidak menyadarinya.
Alya menghadap Safira. Wajahnya tepat di depan payudara Safira. Matanya sedikit terbelalak melihat puting yang terlihat di balik singlet.
“Eii Safira. Kenapa nggak pakai bra? Kelihatan putingnya,” ujar Alya sambil menunjuk ke arah payudara Safira.
“Hehe. Panas. Malas pakai. Lagipula, di kamar ini cuma ada kamu,” jawab Safira santai.
Alya hanya menggeleng-gelengkan kepala. Meski di luar sana Safira terkenal dengan imej alimnya, di dalam kamar ini hanya Alya yang tahu bagaimana Safira sebenarnya.
Safira hanya memeriksa ponselnya melihat apakah ada pesan yang masuk. Selain dari Fahmi, ada satu pesan dari Rizky. Safira membaca satu per satu pesan yang masuk.
Alya dari tadi hanya memandang tubuh Safira. Safira sadar teman baiknya memperhatikannya namun tidak menghiraukannya.
“Hmm. Safiras,” panggil Alya tiba-tiba memecah kesunyian.
“Ya, kenapa?” jawab Safira sambil menatap mata Alya.
“Untung ya kamu.”
“Untung kenapa?”
“Badan kamu seksi. Beda sama aku yang pendek dan nggak punya bentuk,” kata Alya sedikit cemberut.
“Eh, nggak juga. Sama aja kayak kamu. Aku cuma lebih tinggi sedikit,” kata Safira sambil meletakkan ponselnya di samping.
“Tetap aja. Badan aku nggak seksi. Hmm.” Suaranya semakin pelan.
“Babe, kenapa sih? Ceritain ke aku,” pujuk Safira yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Alya.
“Hmm. Nggak ada. Pacarku itu,” Alya memulai cerita.
“Kenapa dengan Irwan?” tanya Safira.
“Minggu lalu aku jalan sama dia, kan? Sebenarnya… Hmm.” Kalimat Alya terhenti.
“Sebenarnya apa?” tanya Safira yang semakin penasaran.
“Hmm. Kamu janji jangan cerita ke siapa-siapa ya?”
“Ish, iya aku janji. Aku kan sahabat kamu,” janji Safira sambil merebahkan badannya di sebelah Alya.
Kini mereka berbaring berhadapan. Mata mereka sejajar. Safira tahu Alya ingin memberitahunya sesuatu yang penting.
“Aku… aku sebenarnya… Hmm. Aku sebenarnya check-in sama Irwan hari itu,” tutur Alya sambil menunduk malu.
“Hah? Serius?” tanya Safira yang sedikit terkejut.
“Iya, nis. Hmm.”
“Terus kalian ngapain aja?”
“Hmm… Ada…”
“Kalian ngapain?”
“Kami main-main ringan.”
Safira merasa terangsang mendengar cerita Alya. Dia ingin tahu apa yang terjadi sehingga Alya merasa sedih begitu.
“Aku nggak kasih masuk karena takut. Jadi aku cuma hisap-hisap aja,” cerita Alya malu-malu. Wajahnya kini merah menahan malu.
Safira hanya diam menunggu Alya menceritakan lebih lanjut.
“Tapi aku nggak bisa hisap. Irwan jadi marah sama aku.”
“Loh, marah gimana?”
“Dia bilang aku nggak bisa memuaskan dia. Ya wajar. Ini pertama kali aku. Mana aku tahu urusan begitu.”
Saat ini, matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya ditahan agar tidak keluar.
“Kamu sayang dia nggak?” tanya Safira tiba-tiba. Alya mengangkat wajahnya perlahan dan air matanya mulai pecah.
“Ya firrr. Aku sayang banget sama dia,” ujar Alya sambil menangis teresak-esak.
Safira mencoba memeluk Alya erat-erat. Alya menangis sepuas-puasnya di bahu Safira. Safira memberi Alya waktu untuk melepaskan segala perasaan yang dipendam.
Tangannya mengusap-usap punggung Alya, mencoba menenangkan tangisannya. Semakin lama suara tangisan Alya semakin pelan. Setelah reda, Safira melepaskan pelukannya.
“Babe, sekarang ini apa yang kamu rasakan?” tanya Safira.
“Rasa apa?” tanya Alya kembali.
“Rasa kamu, marah atau malu karena nggak bisa puaskan Irwan?”
“Hmm. Bercampur aduk, nis. Aku nggak tahu.”
“Kamu sayang banget sama dia? Sanggup lakukan apa saja untuk dia?”
“Ya, nis. Aku sanggup.”
“Aku ajarin kamu mau?”
Terbelalak mata Alya mendengar pertanyaan Safira.
“Aa… Ajarin? Ajarin gimana?”