Rintihan di Asrama Putri - Bab 24
Bu Indah membiarkan mereka sejenak mencerna ucapannya tadi. Memang, tidak ada hukuman lain yang bisa diberikan kepada mereka. Setidaknya, dia tidak melibatkan pihak berwenang dalam kasus ini. Jika tidak, besok pasti akan heboh dengan berita ini dan pihak kampus pastinya akan kecewa karena tidak bisa mengendalikan mahasiswanya dengan baik. Reputasinya sebagai dosen yang baik juga pasti akan jatuh.
“Begini,” Fahmi menyela, “Safira dan Vania akan sangat malu jika Bu Indah melaporkan ini ke pihak kampus. Dan imej Bu Indah juga akan tercemar akibat kejadian ini.”
“Kenapa saya yang harus terseret?” tanya Bu Indah heran.
“Iya, seharusnya Bu Indah yang menjaga semua mahasiswa di sini. Hal ini tidak akan terjadi jika Bu Indah sendiri yang mengawasi, kan?” Fahmi bertanya pada Bu Indah yang masih kebingungan.
“Err, iya. Tapi sekarang ini saya yang menangkap kalian semua,” jawab Bu Indah.
“Dan siapa yang memberi tahu Bu Indah?” tanya Fahmi lagi.
“Hm, Inara yang memberitahu saya tentang ini,” jawab Bu Indah seraya memandang Inara yang berdiri di sebelah tempat tidur. “Err, saya mendengar percakapan Safira tadi di lobi. Dan saya pun melaporkan kepada Bu Indah,” ujar Inara.
“Lihat? Ini pun berkat laporan dari mahasiswanya. Kalau tidak, Bu Indah tidak akan tahu, kan?” Fahmi melemparkan pertanyaan dengan senyum sinis. Sekarang situasi sudah berubah. Fahmi sengaja memprovokasi Bu Indah agar kesalahan ini juga diletakkan pada bahunya. Ini akan memberi Safira dan Vania kesempatan untuk melepaskan diri.
“Itu tidak akan berpengaruh pada saya. Kalian tetap melakukan kesalahan besar!” Bu Indah mulai marah karena tiba-tiba dia disalahkan. Padahal mereka bertiga yang berzina.
“Ok. Kalau begitu saya akan laporkan juga kepada pihak kampus bahwa Bu Indah mengabaikan tanggung jawab sebagai penanggung jawab mahasiswa,” ancam Fahmi.
“Ta… Tapi…,” gagap Bu Indah yang sudah termakan oleh kata-kata Fahmi.
Fahmi melanjutkan, “Jadi saya rasa, hanya ada satu pilihan sekarang ini. Safira dan Vania akan berhenti dari kampus, dan Bu Indah akan melupakan kejadian malam ini. Mereka berdua menerima hukuman mereka, tetapi tidak akan mendapat malu dan aib mereka tetap terjaga. Bu Indah juga dapat mempertahankan reputasinya di kampus.”
Mereka semua saling memandang. Semuanya sedang mencoba memahami usulan Fahmi dengan teliti. Hal ini perlu dipikirkan dengan matang.
“Win-win solution, right?” tambah Fahmi memecah kesunyian.
Bu Indah memeluk tubuhnya sambil memijat kepalanya yang mulai pusing. Ada benarnya juga apa yang dikatakan Fahmi. Dia sendiri membiarkan mahasiswanya membuat keputusan, dan melepaskan mereka dengan bebas. Dia juga akan dikenakan tindakan disiplin akibat kelalaiannya. Jika pihak berwenang tahu tentang ini, kampus akan sangat malu.
Bu Indah berpikir lama. Safira sudah berhenti menangis dan masih memikirkan solusi terbaik. Vania hanya termenung memandang satu sudut, tidak berkelip, juga memikirkan jalan terbaik.
“Baiklah,” Bu Indah bersuara. “Saya rasa itu satu-satunya jalan penyelesaian. Sekarang saya ingin kalian semua bertobat, insaf dengan perbuatan kalian. Semoga semua ini ada hikmahnya. Dan kamu, siapa namamu?”
“Fahmi.”
“Ok, Fahmi. Saya ingin kamu keluar dari kamar ini. Tinggalkan mereka dan jangan datang lagi.”
“Baik, Bu.”
“Ok, bubar.”
Bu Indah terus melangkah keluar meninggalkan mereka di sana. Inara masih di dalam kamar, merasa bersalah dengan apa yang terjadi. “Em, kalian. Saya minta maaf. Tapi saya rasa ini yang seharusnya saya lakukan.”
“Em, tidak apa-apa Inara. Memang salah kami. Kamu tidak salah,” jawab Safira sambil tersenyum tipis. Dia mencoba mengendalikan emosinya agar tidak marah pada Inara. Tidak ada gunanya lagi untuk dendam. Semua sudah terjadi.
“Ok, lah. Aku mandi sebentar lalu pulang,” ujar Fahmi kepada Safira dan berlalu ke kamar mandi. Dengan santai Fahmi melepaskan boxernya dan memperlihatkan batangnya yang melentur. Inara yang menyadari hal itu melirik ke arah batang Fahmi. Namun tidak lama karena takut Safira akan menyadari. Lalu Inara pamit untuk kembali ke kamarnya.
Saat melangkah, tiba-tiba Inara berteriak sambil menginjak kakinya. “Ahhh, air apa ini?!” Kakinya menginjak cairan yang cukup kental. Dia mencolek sedikit dengan jari dan mencium baunya. “Eww, air apa ini? Bau seperti klorin!” jerit Inara jijik.
“Hehe. Itu air mani, Inara. Hehehehe,” kata Safira sambil tertawa.
“Uwekkk! Jorok banget!” Inara langsung berlari ke kamar mandi, lupa bahwa Fahmi sedang di dalam.
Inara membuka keran di wastafel dan mencuci tangannya. Fahmi yang mendengar suara air mengalir, keluar untuk melihat siapa yang baru saja masuk. Ternyata Inara yang berada di dalam dan sedang sibuk mencuci tangannya. Fahmi mendapat ide nakal lalu mendekati Inara. Dalam keadaan telanjang dan batangnya yang terus menegang, Fahmi berdiri di sebelah Inara.
“Buat apa tuh?” tanya Fahmi membuat Inara terkejut. Tangannya tidak sengaja menekan keran, membuat air memancar deras. “Ahhhh!!! Baju jadi basah semua!”
“Rileks. Kenapa kaget banget sih? Haha,” kata Fahmi sambil mendekat ke wastafel dan menutup keran air. Jarak mereka sangat dekat hingga batang Fahmi menyentuh tubuh Inara. “Ishhhhh, apa-apaan nih,” marah Inara yang merasa tubuh Fahmi terlalu dekat dengannya. Dia merasakan ada objek keras di perutnya.
Betapa terkejutnya Inara saat melihat batang besar Fahmi menempel di tubuhnya. Namun, dia hanya bisa terdiam dan mulutnya tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Tiba-tiba, Inara memegang batang Fahmi dan menggenggamnya erat, mencoba mengukur kebesarannya. “Gede banget.”
“Mau?” tanya Fahmi sambil tersenyum melihat reaksi Inara yang tidak terduga. Inara langsung melepaskan batang Fahmi dan berlari keluar dari kamar mandi. Sempat dia melirik ke arah Fahmi yang masih di kamar mandi. Fahmi menyadari pandangan Inara dan membuat isyarat ‘telepon’ di telinganya, memberi tanda untuk menghubunginya jika ingin batang itu lagi.
Merah padam wajah Inara melihat isyarat tersebut. Dia berlalu keluar dan meninggalkan kamar Safira dan Vania. Dan Safira pun masuk ke kamar mandi menemui pacarnya.
“Ish, sudah seperti ini pun masih sempat, ya?” ujar Safira.
“Hehe. Coba-coba aja. Eh, sayang oke nggak nih?”
“Hmm, bohong kalau bilang oke. Tapi mau bagaimana lagi. Sudah kejadian. Terima kasih ya Bang, sudah backup tadi. Aku tahu, itu pilihan terbaik. Terima kasih.”
“Nggak apa-apa sayang. Abang cuma coba-coba aja tadi. Nggak nyangka dia termakan umpan.”
“Pinter juga ya abang. Haha.”
“Biasa lah. Untuk orang yang disayang. Abang nggak mau kamu malu.”
“Terima kasih, Bang.”
Mereka pun berpelukan. Meski Fahmi sedang telanjang, pelukan itu tidak membangkitkan nafsu mereka. Lebih kepada pelukan untuk melepaskan perasaan yang terpendam. Safira pasrah dengan apa yang terjadi. Ini semua karena kesalahannya tidak berhati-hati saat menelepon sehingga terdengar oleh Inara.
“Abang mau nomor Inara nggak?” tanya Safira yang masih dalam pelukan. Fahmi menolak Safira keheranan. Kenapa Safira ingin memberikan nomor telepon Inara?
“Aku mau abang kasih pelajaran sedikit ke dia. Hehe,” lanjut Safira.
Mereka kembali berpelukan dan Fahmi tersenyum nakal.