Rintihan di Asrama Putri - Bab 23
Safira menyambut tangan Fahmi yang menarik tubuhnya rapat ke badan. Dengan keduanya melutut di atas kasur, mereka berciuman dengan penuh gairah. Tidak perlu pemanasan lagi, mereka sudah dalam keadaan siap. Batang konek Fahmi yang sejak tadi sudah keras mencucuk perut Safira.
Setelah beberapa saat berciuman, Fahmi bangun dan turun dari kasur hotel yang sudah berantakan akibat permainan panas mereka sebelumnya. Permukaan kasur dipenuhi dengan tompokan air mazi dan air mani.
Fahmi mengarahkan Safira untuk menungging menghadapnya yang sudah berdiri di pinggir kasur. Batangnya yang masih tegang meminta untuk dipuaskan. Safira mengubah posisinya mendekati selangkangan Vania yang masih pingsan tak sadar diri. Dia ingin menjilati vagina basah kawannya itu sambil di-doggy oleh Fahmi dari belakang. Sayang kalau tidak dimanfaatkan hidangan di depan mata.
Tanpa banyak bicara, Fahmi langsung menghunjamkan batangnya ke dalam vagina Safira. Desahan kenikmatan keluar dari mulut Safira saat menerima batang gemuk di dalamnya. Untunglah vaginanya masih basah, kalau tidak, pasti sakit sekali tiba-tiba dirodok tanpa pemanasan.
Mulutnya langsung menyambar vagina Vania. Lidahnya bergerak-gerak di klitoris yang sudah menguncup. Vania tidak bereaksi apapun. Ini membuat Safira semakin semangat menjilatinya, sambil sesekali mendongak karena kenikmatan dijolok cepat oleh Fahmi.
Di belakangnya, Fahmi fokus menghentak batangnya sekuat tenaga karena gairahnya sudah di puncak. Dengan pemandangan indah di depan mata, dia tidak melewatkannya untuk merekam aksi mereka. Jarang sekali bisa mendapatkan shot seindah ini. Seorang gadis dijolok sambil menjilati vagina gadis lain. Ini pasti akan menjadi koleksi berharga.
Safira berhenti menjilat. Dia merasakan batang Fahmi benar-benar mengembang besar di dalam vaginanya. “Ahhh bangggg… Kenapa niiii.. Ahhhh… Luar biasa malam iniiii… Urghhhh….'” erang Safira sambil bertanya kepada Fahmi. Sungguh luar biasa penangan pacarnya malam ini. Gairahnya benar-benar berbeda.
Fahmi tetap membisu tidak menjawab pertanyaan Safira. Dia kini sepenuhnya fokus pada vagina di depannya. Safira pun mempercepat gerakan lidahnya menjilati vagina Vania dari klitoris hingga ke lubang anus. Vagina Vania mulai memberi respon dengan mengencang.
Seperti diundang, jari Safira mulai menjelajah ke dalam lubang vagina yang sudah dilubangi oleh Fahmi. Safira mengorek-ngorek lubang dengan dua jarinya sambil ibu jari menggosok klitoris Vania. Vania meronta-ronta menahan kenikmatan meskipun sedang tidur. Pasti dia sedang bermimpi indah sekarang.
Momentum Fahmi semakin cepat. Dia hampir mencapai klimaks. Dia bisa merasakan air maninya hampir keluar. Cepat-cepat Fahmi merangkul tangan kiri Safira dan menarik tubuhnya ke atas. Tubuh Safira melengkung saat ditarik seperti itu, membuat vaginanya semakin ketat. Safira menjerit sekuat mungkin. Dia juga ingin klimaks bersama Fahmi.
“Sayangggg… Abang mau keluarrrr…,” teriak Fahmi yang semakin menggila menghentak batangnya.
“Keluarkan di dalam, bangggg… Keluarkan di dalammmmm!” pinta Safira tanpa peduli dengan kemungkinan hamil. Dia bisa saja minum pil nanti.
“AHHHHH SAYANGGGG!!!”
Klak!
Tiba-tiba pintu kamar hotel terbuka. Keduanya berpaling serentak ke arah pintu. Safira tersentak dan langsung bangun. Batang Fahmi yang sedang klimaks terlepas dari vagina Safira dan memancutkan air mani yang banyak. Fahmi yang juga terkejut tidak bisa menahan air maninya dari terus keluar. Air mani berhamburan ke arah pintu hotel.
“ASTAGHFIRULLAHHHHH! APA KALIAN LAKUKAN?!” teriak Bu Indah, dosen yang mengiringi rombongan klub ini.
Di belakang Bu Indah, Inara ternganga melihat adegan mesum di depannya. Matanya terbeliak melihat batang besar dan tebal milik Fahmi. Pertama kali dia melihat batang seorang lelaki yang asing.
Safira dengan cepat mengambil handuk yang berserakan di lantai dan membalut tubuh telanjangnya. Fahmi yang sudah selesai memancut, mengenakan boxernya dan mencari kaos yang dilemparnya tadi. Vania diselimuti dengan kain seprai hotel oleh Safira. Suasana di dalam kamar hotel yang dingin dan berbau seks itu menjadi kacau balau.
Bu Indah menyuruh Inara menutup pintu di belakang mereka. Hanya mereka berdua yang hadir menyerbu kegiatan maksiat yang dilakukan oleh tiga orang muda tersebut. Lalu Bu Indah mendekati mereka dan meminta Safira dan Fahmi duduk di tepi kasur dan kursi. Suasana hening sejenak.
“Safira, saya tidak menyangka perangai kamu seperti ini,” Bu Indah memulai bicara. “Kamu kan seorang yang alim, berjilbab lebar lagi. Tapi kenapa jadi seperti ini?” tanyanya kepada Safira yang menunduk merenung lantai. Wajahnya memerah saat menerima pertanyaan pedas itu.
Jantungnya berdebar-debar seakan mau meledak. Keringat dingin muncul di dahinya, gemetar dengan situasi ini. Ini pertama kali Safira tertangkap basah dengan kegiatannya. Lidahnya kelu, tidak mampu berbicara. Tidak pernah terlintas hal seperti ini akan terjadi.
Berbeda dengan Fahmi yang masih bisa tenang. Ini juga pertama kali baginya, tetapi dia pandai membaca situasi. Dia melihat hanya ada seorang dosen dan seorang pelajar yang hadir ke kamar mereka. Tidak ada pihak berwenang atau penegak moral. Pasti hal ini belum diketahui oleh siapa pun selain mereka berdua.
Inara mendekati Vania yang masih tidur dan belum sadar akan kejadian ini. Dia mencoba menggoyang tubuh Vania tetapi tidak ada respon. Bu Indah heran dengan keadaan Vania dan bertanya, “Vania kenapa? Kalian kasih obat?”
Tersentak Safira mendengar pertanyaan Bu Indah dan cepat-cepat menafikan hal itu.
“Ehh, nggak, nggak. Dia… Emm…”
“Dia apa?!” belum sempat Safira menghabiskan kalimatnya, Bu Indah memotong.
“Dia… Dia baru selesai… main. Dia nggak kuat bangun,” jawab Safira dengan gugup.
Bu Indah menggelengkan kepalanya. Sulit baginya memproses apa yang sedang terjadi. Mungkin untuk Vania, dia tidak begitu terkejut karena Vania memang pelajar yang bermasalah dan sudah lama menjadi perhatian para dosen. Pacarnya juga seorang pelajar yang liar. Tidak berlebihan jika dikatakan pasangan ini sudah beberapa kali terlanjur.
Yang membuat pikirannya hampir tidak waras adalah melihat dengan mata kepala sendiri seorang gadis muslimah yang terkenal dengan kesopanannya, selalu menjaga adab dan tertib, serta selalu berpakaian sopan, melakukan hal terkeji dan terkutuk seperti ini.
“Saya butuh penjelasan!” suara Bu Indah mulai nyaring dan tegas. Safira terkejut dan mencoba memberikan penjelasan, tetapi lidahnya masih kelu. Fahmi yang menyadari Safira terlalu takut mencoba mengambil alih tugas memberi penjelasan.
“Saya yang merencanakan semua ini, Bu. Safira dan Vania tidak salah,” ujar Fahmi dengan tenang, mencoba untuk tidak menampakkan wajah gelisah.
“Tidak peduli siapa yang merencanakan, ini tetap salah!” Bu Indah tetap bersikeras.
Suara nyaring Bu Indah sedikit banyak mengganggu tidur nyenyak Vania. Dia mulai menggeliat dan mulutnya bergumam mengigau. Bu Indah melirik ke arah Inara dan memberi isyarat untuk membangunkan Vania. Inara kembali mengguncang badan Vania kuat-kuat untuk membangunkannya.
Perlahan-lahan mata Vania terbuka. Saat menyadari kehadiran Inara di sisinya, Vania terloncat dan segera duduk. Selimut yang tadi membalut tubuhnya terlepas, memperlihatkan payudaranya yang layu. Dengan cepat dia menarik kembali selimut ke atas. Saat memalingkan kepalanya ke kanan, sekali lagi dia terkejut dan wajahnya memerah panas.
“HAHH!! Bu… Bu… Bu Indah!” Vania gagap ketika melihat sosok yang sangat dikenalnya berdiri di hadapannya. Tenggorokannya tersendat meskipun dia mencoba menelan ludah sebanyak mungkin. Berbagai hal menerpa pikirannya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
Bu Indah melanjutkan, “Sekarang ini, Safira dan Vania di bawah pengawasan saya. Dan kalian berdua sudah melakukan kesalahan besar. Hal ini bisa membuat kalian dikeluarkan dari kampus!”
Mata Vania dan Safira terbuka lebar mendengar kata ‘dikeluarkan’. Apa yang akan terjadi jika mereka dikeluarkan nanti? Apa kata orang tua mereka? Bagaimana reaksi orang di sekitar ketika mengetahui kejadian ini? Bagaimana mereka bisa melanjutkan hidup seperti biasa setelah ini?
1001 pertanyaan bermain di pikiran mereka. Mereka tidak mampu memikirkan semua itu. Tubuh mereka terasa lemas memikirkan masa depan yang kini gelap. Vania terbaring sambil mencengkeram kepalanya dan meremas rambut.
Safira mulai terisak-isak menangis. Kepalanya tertunduk ke bawah. Tidak berani menunjukkan wajahnya, apalagi menatap mata Bu Indah. Malu. Sangat malu.