Rintihan di Asrama Putri - Bab 22
Anggukan Vania lemah, lebih kepada malu sebenarnya. Seperti kata orang, malu tapi mau. Vag*na-nya sudah banjir sejak tadi menyaksikan permainan Safira dan Fahmi. Tapi dia menahan diri untuk tidak menggosoknya di depan mereka berdua.
Fahmi yang sedang berbaring menarik kepala Vania mendekat. Bibir mereka bertaut. Vania mulai mengeluarkan desahan syahwatnya. Nafsu yang ditahan dari tadi dilepaskan sepenuhnya di bibir Fahmi.
Posisi Vania yang berada di atas memberinya ruang untuk mendominasi. Kalau selama ini hanya Jasmin yang mengontrol permainan, kali ini Vania mengambil alih. Sudah lama dia mendambakan ciuman penuh berahi tanpa terburu-buru.
Mulutnya dikuncupkan menaut bibir Fahmi yang mengikuti ritme Vania. Berkali-kali bibirnya diasak Vania yang kini berada di bawah kendali nafsu. Seperti orang yang kelaparan, Vania menjilat-jilat bibir Fahmi di luar dan dalam mulut. Fahmi hanya membiarkan dirinya diasak, teringat cerita Safira tentang bagaimana pacar Vania, Jasmin, yang kasar. Mungkin Vania meniru cara Jasmin berciuman.
Lidah mereka mulai bersatu. Kali ini Fahmi mengambil giliran untuk mengontrol ritme. Yang penting, tenang. Dia mulai menjelajahi mulut Vania dengan lidahnya. Dijilat bagian pipi dalam dan langit-langit mulut. Desahan Vania semakin kencang. Pertama kali dia tenggelam hanya dengan berciuman.
Sedang asyik berciuman, Fahmi mengambil tangan Vania dan mengarahkan ke batang pensnya yang masih lembek. Vania yang paham langsung menggenggam batang pens Fahmi dan menggosok perlahan. Perlahan-lahan pen*s itu mengembang dan membesar. Vania begitu teruja lalu melepaskan ciumannya dan kemudian turun ke bawah.
Sambil menatap batang pens Fahmi, dia mencapai ponselnya di atas meja di sebelah tempat tidur. Fahmi menegakkan ponselnya menggunakan dompet sebagai penopang. Aplikasi kamera dibuka dan tombol rekam ditekan. Vania tidak menyadari kelakuan Fahmi itu karena sedang terpesona membelai pens besar yang digenggamnya.
Batang pens Fahmi dihirup manja, aroma seks yang masih segar menambah sensasi. Tanpa menunggu lama, Vania langsung menjilat-jilat sekeliling batang itu. Seperti anak kecil yang mendapatkan es krim, dia menjilat dengan penuh semangat. Air liurnya meleleh membasahi batang pens. Fahmi hanya menyilangkan tangan memangku kepalanya sambil memperhatikan tingkah laku Vania. Biarlah dia menikmati batang pen*s itu sampai puas.
Cukup lama menjilat, Vania siap memasukkan pens ke dalam mulutnya. Matanya memandang Fahmi meminta izin. Fahmi mengangguk tanda memberi izin. Lalu perlahan, Vania membuka mulutnya dan mulai memasukkan batang itu. Mengingat ukurannya yang besar, cukup sulit bagi Vania untuk membiasakan mulutnya. Batang pens dikeluarkan lagi lalu dimasukkan kembali dengan mulut dibuka lebar-lebar.
Penuh mulutnya diisi dengan batang gemuk Fahmi. Dia mencoba menggerakkan lidahnya tapi tidak bisa. Bagaimana Safira mampu menelan batang sebesar itu pun dia tidak tahu. Jadi Vania hanya menghisap dengan hati-hati karena takut terkena giginya. Dia selalu dimarahi Jasmin jika giginya terkena batang.
Walaupun kadang-kadang Vania tidak bisa mengontrol giginya, Fahmi tetap tenang dan membiarkan Vania menikmati batangnya. Sedikit ngilu tapi itu bukan masalah besar untuk dimarahi. Lagi pula batangnya besar dan mana-mana perempuan pun pasti sulit untuk menghisapnya. Beda dengan Safira yang sudah terbiasa dengan batangnya.
Kepala Vania terangguk-angguk menelan batang pen*s Fahmi. Tapi tidak lama karena mulutnya mulai pegal. Dia tak bisa meniru aksi Safira yang membiarkan mulutnya dijolok cepat. Vania pun melepaskan batang Fahmi dengan air liur yang meleleh banyak.
“Dah pegel ya? Hehe,” Fahmi tertawa kecil melihat wajah Vania yang kelelahan. Lalu dia melanjutkan, “Vania naik atas, yuk.”
“Hah? Naik atas? Gimana caranya?” jawab Vania yang bingung dengan arahan Fahmi.
“Naik aja ke atas saya, buka jubah mandi ini,” perintah Fahmi kepada Vania. Dia menurut perintah dan memanjat tubuh Fahmi.
Pahanya sedikit terdedah tapi tubuhnya masih tertutup rapat dengan jubah mandi. Perlahan-lahan dia membuka simpul tali yang mengikat jubahnya dan membuka sedikit, memperlihatkan bagian tengah tubuhnya.
Seksi dan vulgar aksi yang diperlihatkan Vania. Kain jubah melorot perlahan dan tampaklah payudaranya yang besar. Meski agak melorot, tidak seperti payudara Safira yang bulat, itu tidak mengurangi selera Fahmi. Baginya payudara tetap payudara apapun bentuknya.
Fahmi mengarahkan Vania mengangkat pantatnya sedikit. Lutut kanannya menyangga tubuhnya dan kaki kiri sedikit terangkat. Posisi pens Fahmi sudah berada di bawah vagna Vania. Pens digesekkan sedikit di sepanjang alur vagna untuk memberi rangsangan. Vania menikmati gesekan itu sambil memperhatikan pen*s Fahmi.
Kemudian perlahan, Fahmi mengarahkan pensnya ke pintu lubang vagna Vania dan menekannya pelan. Vania mendesah saat kepala pens mulai memasuki vagna-nya. Agak sempit terasa dan pedih mulai mencucuk. Tapi dengan bantuan pelumas alami yang keluar, lubang vagna Vania mulai mengembang, memaksa menerima tusukan pens tebal itu.
“Ssss… Ahhhh… Sakit, Fahmi… Ssss…,” Vania mulai mengerang kesakitan. Seperti terkoyak lubang vag*na-nya.
“Sikit lagi, Vania. Sabar, yaa. Biar enak kan,” Fahmi membujuk sambil terus menekan perlahan pen*snya. Semakin lama pensnya semakin tenggelam. Akhirnya Vania menelan seluruh batang pens Fahmi.
“Ahhh… Besar banget ini… Urhhh..”
“Fahmin dulu pen*s ini berendam. Vania stay dulu.”
Terkemut-kemut vagna Vania memerah pens yang bersemayam. Tubuhnya rebah di atas tubuh Fahmi. Kesempatan itu digunakan Fahmi untuk mencium bibir Vania agar gairahnya bangkit lagi. Vania membalas lemah.
Tak lama setelah itu, Vania mulai berhenti mengemut. Rasanya vag*na-nya sudah mulai bisa menerima ukuran baru yang ditelan. Seperti baru saja kehilangan keperawanan, begitu hebat penanganan batang yang baru diterimanya. Meski tidak sepanjang batang Jasmin, tidak sampai pun ke dinding serviksnya, dia tetap merasakan kenikmatannya.
Tubuh Vania mulai diangkat. Tangannya menekan dada Fahmi lalu dia mulai mendayung. Dari perlahan, semakin lama semakin cepat pantat digoyang. Vania mulai menikmati batang pen*s Fahmi. “Ahhhh… Ahhhh… Ahhhh…,” suaranya mulai mengerang kuat. Begitu nikmat posisi yang dilakukan sekarang. G-spotnya tepat kena membuat dirinya hanyut.
Kadang-kadang Vania berhenti menggelek karena klimaks yang datang. Lubangnya mengemut kuat memerah pen*s Fahmi yang masih keras. Setelah reda klimaksnya, dayungannya dilanjutkan lagi. Berhenti lagi, lalu dilanjutkan. Berkali-kali proses itu terjadi hingga Vania terbaring lemah. Fahmi bisa merasakan lelehan air mani Vania membanjir di celah telurnya.
“Sayang… Ahhh… Ahhhh… Capek. Banyak kali aku keluar,” bisik Vania dengan napas tersengal. Pertama kali dalam hidupnya dia mencapai klimaks berturut-turut seperti ini. Bukan sekali dua, tapi lima kali dia terpancut hanya dengan satu posisi.
Tiba-tiba Fahmi memeluk Vania yang sedang terbaring di atasnya. Fahmi memeluk erat dan mengangkat pantatnya. Tertusuk pens besarnya ke dalam vagna Vania. Vania menjerit keras, “AAHHHH!” Fahmi terus menghentak Vania cepat.
PAPPP!! PAPPP!!! PAPPP!!!
Cepat tusukan pens Fahmi menjolok Vania. Vania hanya bisa menjerit kesedapan sambil dipeluk erat. Vagna yang ketat ditusuk berkali-kali. Kenikmatan yang luar biasa dirasakan Vania. Entah berapa kali dia mencapai klimaks, tapi dia tidak bisa melawan karena tubuhnya terkunci. Siksaan nikmat itu membuat matanya putih.
Safira yang sejak tadi tidur di sebelah mereka terbangun oleh jeritan Vania. Matanya perlahan terbuka dan melihat ke arah pasangan yang sedang bersatu itu. Dia melihat Vania bersandar di bahu Fahmi sambil tubuhnya berguncang hebat. Wajahnya terlihat sangat lelah menahan asakan dari pacarnya. Tiba-tiba Safira merasa bangga punya pacar yang hebat di ranjang.
Tujahan Fahmi semakin lama semakin lambat. Dia mulai merasa pegal di pahanya. Bagaimana tidak, dia menghajar vagina Vania dalam posisi telentang, tenaganya mulai habis. Saat batangnya ditarik keluar, air mani Vania yang bertakung di dalam vaginanya berhamburan keluar.
Fahmi mendorong Vania agar berbaring ke samping. Seperti orang mabuk, Vania menikmati klimaksnya sambil tubuhnya bergetar. Safira memandang Fahmi sambil tersenyum dan bertanya, “Kamu sudah ejakulasi, Bang?” Fahmi menggelengkan kepalanya lalu berlutut di antara kaki Vania. “Aku belum puas,” ujar Fahmi sambil mengangkangkan kaki Vania.
Fahmi memegang lutut Vania dan mengarahkan batangnya ke lubang yang sudah banjir. Tanpa susah payah, batangnya meluncur masuk ke dalam vagina yang hangat itu. Vania tidak mampu lagi mengerang, dia hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Fahmi mulai mengayunkan tubuhnya.
Melihat Vania yang hanya memejamkan mata, Fahmi mengambil ponselnya yang sejak tadi merekam aksi mereka. Dia merekam wajah Vania yang sedang menikmati batangnya. Sesekali kamera diarahkannya ke vagina yang sedang dijolok cepat. Kadang-kadang Fahmi merekam payudara Vania yang bergoyang.
Payudara Vania bergoyang mengikuti irama ayunan Fahmi. Safira yang tergoda oleh pemandangan itu, langsung menerkam payudara Vania dan menghisap putingnya sambil meremas. Vania tersentak dan mengangkat kepalanya untuk melihat apa yang terjadi. Saat melihat Safira sedang menikmati payudaranya, Vania meremas rambut Safira dengan kuat. Dua titik kenikmatan dimainkan serentak. Tidak tahu bagaimana menjelaskan betapa nikmatnya perasaan itu.
“Ahhhhhh Safirasss. Jangan… Aku geli…,” Vania mencoba melarang Safira tetapi tangannya tidak berdaya menolak. Melihat aksi pacarnya yang merangsang Vania, Fahmi mempercepat ayunannya. Semakin geli yang dirasakan Vania. Tidak mampu lagi dia menjerit, tubuhnya melompat ke atas, mencapai klimaks entah untuk yang keberapa kalinya.
Fahmi tidak sempat menahan pantat Vania yang melonjak ke atas. Batangnya terlepas dari lubang vagina. Dia memberi Vania ruang untuk menikmati klimaksnya. Safira pun melepaskan tangannya dari payudara Vania. Seperti orang yang kesurupan, tubuh dan kaki Vania melayang ke atas. Hanya kepala dan telapak kaki yang berada di bawah menampung seluruh tubuhnya.
Fahmi dan Safira terkejut menyaksikan kejadian itu. Belum pernah mereka berdua melihat klimaks yang begitu dahsyat. Apakah Vania sudah mencapai batasnya? Timbul rasa kasihan pada Vania. Masih kuatkah tubuhnya? Mereka beruntung karena Fahmi masih merekam kejadian itu.
Tubuh Vania perlahan-lahan turun setelah klimaksnya reda. Nafasnya tersengal-sengal sambil peluh membasahi tubuhnya. Udara dingin dari AC kamar hotel sudah tidak mampu mendinginkan tubuhnya yang panas. Dengan dada yang masih berombak, Vania langsung tertidur. Fahmi pun menekan tombol stop di ponselnya.
“Aduh, aku belum ejakulasi, Sayang,” keluh Fahmi saat melihat Vania sudah tidak berdaya lagi.
“Ih, tadi kan sudah dengan aku,” jawab Safira yang terkejut dengan ucapan Fahmi.
“Memang, tapi dengan Vania belum. Hehehe,” Fahmi tertawa nakal.
“Ehhh, beruntung banget dapat dua vagina malam ini, ya kan,” balas Safira sambil mencubit manja lengan pacarnya.
Fahmi menarik tubuh Safira dan mencium bibirnya dengan rakus. Safira pasrah dan meladeni nafsu Fahmi itu. Dia sudah sangat mengenal perangai Fahmi. Selama dia belum ejakulasi 2-3 kali, selama itu pula dia tidak akan puas. Dan mereka pun berasmara sekali lagi.