Rintihan di Asrama Putri - Bab 18
Vania hanya menatap ke samping, membelakangi Jasmin. Dia tidak sanggup melihat wajah lelaki yang hanya mementingkan diri itu. Perasaan Vania diabaikan. Jasmin tidak pernah bertanya apakah dia puas atau tidak. Yang penting dia ejakulasi. Titik.
“Fuhhh. Enaknya baby.. Ok lah. Abi harus balik ke kamar. Nanti apa kata orang kalau abi tidak ada di kamar malam ini,” ujar Jasmin sambil bangun mencari pakaiannya. Vania hanya diam membisu. Matanya terpejam rapat.
“Eh, tidur pula baby kita ini. Capek ya. Hehe,” kata Jasmin yang sedang bersiap. “Ok baby, selamat malam,” Jasmin berkata dan langsung menuju pintu. Dia pergi tanpa menoleh lagi. Setelah pintu tertutup, barulah Vania membuka matanya dan air matanya berderai.
Teresak-esak tangisan Vania yang masih terbaring telanjang. Safira yang sedari tadi memperhatikan aksi mereka, bangun menghampiri Vania. Safira berbaring di samping Vania dan mengusap kepalanya lembut. “Shhh… Jangan nangis sayang. Sabar, ya?” hibur Safira.
Vania menoleh ke arah Safira dan berkata, “Kamu lihat semua tadi?” Safira mengangguk dan Vania menangis semakin keras. Dia berpaling dan memeluk Safira serta menangis di bahunya. “Huaaaa. Malunya aku… Kamu lihat semuanya…,” teriak Vania.
Safira membiarkan saja Vania menangis melepaskan semua kesedihannya. Dia tahu Vania butuh waktu. Safira mengusap-usap punggung Vania, mencoba menenangkan temannya itu. Mungkin Vania lupa bahwa dia sedang telanjang bulat. Safira membiarkan payudara Vania menempel di tubuhnya tanpa lapisan. Sekarang bukan waktunya untuk mengambil kesempatan. Safira hanya bersabar.
Setelah beberapa menit, tangisan Vania mulai reda. Baju Safira basah oleh air mata Vania yang deras mengalir. Vania semakin lama semakin diam, sesekali tersedu. Ketika Safira merasa Vania sudah tenang, dia melepaskan pelukannya dan menatap wajah Vania.
“Dia memang selalu begitu?” tanya Safira pada Vania yang matanya merah itu. Vania mengangguk pelan, air mata kembali muncul di ujung matanya. “Kasar dan terburu-buru sejak dulu?” lanjut Safira.
“Hmm. Iya, dia selalu menyuruh aku menghisap lalu menekannya dalam-dalam. Aku sering muntah karenanya. Dia hanya tertawa saja saat aku begitu,” jawab Vania sambil melanjutkan, “Kalau memasukkan juga dia cepat ejakulasi. Aku pikir karena dia ingin cepat-cepat. Ya, kami sering melakukannya di mobil, tangga blok, tempat-tempat terbuka. Jadi aku pikir dia takut ketahuan makanya dia cepat-cepat ejakulasi. Ternyata…”
“Ternyata dia memang lemah?” seloroh Safira sambil tersenyum. Vania mengangguk sambil tertawa. Dia sebenarnya tidak tega mengatakan hal itu, tapi Safira dengan santainya mengatakannya.
“Sebenarnya aku mengintip sedikit tadi. Suaranya aneh. Saat kulihat, hmm… memang kamu tersiksa. Kasihan kamu,” kata Safira sambil mengelap pipi Vania yang basah. Vania memandang sayu ke arah Safira, mengiyakan kata-kata Safira tadi.
“Sebenarnya aku sayang banget sama dia. Meskipun dia sering membuatku sakit, tapi entahlah. Aku tetap sayang,” jelas Vania.
“Tapi bahaya kalau begini, kamu. Ini belum menikah. Kalau sudah menikah nanti bagaimana?” kata Safira. Vania hanya menunduk diam.
Safira memegang dagu Vania dan menarik wajahnya mendekat. Sebuah ciuman diberikan di bibir Vania. Vania terkejut dengan perlakuan temannya, tapi dia tidak marah. Melihat tidak ada reaksi penolakan, Safira mencium lagi bibirnya. Kali ini bibir Vania membalas ciumannya. Bibir mereka saling bertaut perlahan, bergantian menyerang. Tidak terburu-buru, semuanya dilakukan dengan penuh perasaan.
Vania mulai menikmati ciuman itu. Tidak menyangka akan berciuman dengan perempuan. Dan ternyata jauh lebih nikmat daripada berciuman dengan Jasmin. Vania mulai tenggelam dan khayal. Inilah yang dia butuhkan.
Saat asyik berciuman, Safira mulai meremas payudara Vania yang terdedah tanpa lapisan. Putingnya mulai tegang setelah digentel Safira. Mereka terus bercumbu melayani perasaan. Vania merasa sangat tenang dan aman.
Tangan Safira mulai turun ke lembah nikmat yang sudah basah. Inilah foreplay yang Vania butuhkan. Cairan lubrikasinya mulai membasahi vaginanya yang kering. Ini memudahkan Safira untuk menggesekkan jarinya sepanjang alur vagina licin Vania.
“Ahhhh…,” desah Vania saat klitorisnya diulik. Safira memijat lembut klitoris yang mulai bengkak sambil menggosok alur vaginanya. Semakin lama vaginanya semakin berair. Vania sudah tidak tahan lagi.
“Safirass… Ahhhh… Enaknya kamu mainin,” bisik Vania di telinga Safira. Bibir mereka tidak lagi bertaut karena Vania tidak dapat menahan nafsunya.
Tanpa membuang waktu, Safira mulai menjolok jari telunjuknya ke dalam lubang vagina Vania. “Ssss… Ahhhh… Safirasss…,” desah Vania yang semakin girang. Jarinya masuk dengan lancar ke dalam gua nikmat itu. Ruang dalamannya agak longgar mungkin karena baru saja ditusuk penis panjang Jasmin tadi.
Jari Safira mulai mengorek lubang vagina dengan cepat. Tepat mengenai titik nikmat Vania. Panggul Vania bergoyang mengikuti irama. Sangat nikmat diperlakukan seperti itu. Vania tenggelam dalam lautan berahi.
Safira lalu memasukkan jari tengahnya. Kini dua jari memenuhi lubang vagina Vania. Jari-jari itu dibengkokkan lalu ditarik-tarik cepat. Tusukan demi tusukan diberikan. Vania mulai gila. Nikmat ini belum pernah dirasakannya. Lebih enak daripada penis pacarnya.
“Ahhhh Safirasss. Kamu ngapain iniiii… Kenapa… Ahhh… Enak bangettt…,” teriak Vania menggila. Kepalanya berpindah-pindah dari kiri ke kanan. Matanya terpejam rapat. Seperti dirasuki, Vania berteriak nikmat, “AHHHHH… AHHHHHHHH!”
Tubuh Vania melambung ke atas mencapai klimaks agungnya. Nikmatnya sampai ke otak. Safira yang terkejut dengan reaksi Vania cepat-cepat menarik jarinya keluar. Penuh dengan lendir putih yang menempel di kedua jarinya. Lubang Vania juga meleleh dengan cairan yang sama. Safira memasukkan jarinya ke mulut dan membersihkan cairan itu.
Tubuh Vania masih bergetar-getar, panggulnya terangkat-angkat. Safira membiarkan temannya menikmati klimaksnya. Cukup lama Vania mencapai klimaks. Sementara menunggu selesai, Safira beralih ke celah paha Vania dan menjilat air mani yang mengalir ke lubang anus. Vania terkejut menerima kejutan dari Safira.
Habis licin air mani ditelan Safira. Betapa senangnya Safira bisa menikmati air mani perempuan yang sudah lama ia idamkan.
Vania mulai tenang dan matanya masih terpejam. Ketika diamati, ternyata Vania sudah tertidur. Safira tersenyum melihat Vania lalu mengambil selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Khawatir kedinginan karena AC kamar hotel yang sangat dingin.
Safira pun berbaring di sebelah Vania dan tidur bersama-samanya.