Rintihan di Asrama Putri - Bab 16
Setelah 10 menit berlalu, Safira keluar berkemban dengan handuknya. Vania sudah siap berkemban untuk mandi juga. Saat dia bangun dari ranjang, Safira tiba-tiba menarik handuk Vania dan melemparkannya ke lantai. Vania berteriak saat menyadari dirinya bugil di depan Safira.
“Ahhhh! Safirass! Apa nii!!!?” jerit Vania sambil tangannya mencoba menutup payudara dan vaginanya. Safira hanya tertawa melihat reaksi Vania yang kalang kabut. “Nggak adil dong. Kamu udah lihat aku tadi. Sekarang giliran aku. Hehe,” ujar Safira santai. Vania hanya menunduk malu.
Belum pernah ada orang lain selain pacarnya yang melihat tubuh telanjangnya. Tak disangka seorang gadis muslimah bernama Safira ini bisa melihat dirinya tanpa sehelai benang pun. Tetapi saat dipikirkan lagi, dia juga sudah melihat Safira tadi. Jadi tak masalah jika Safira melihatnya sekarang. Vania berpikir begitu tanpa mengetahui bahwa Safira sebenarnya seorang biseksual.
Perlahan-lahan Vania melepaskan kedua tangannya. Payudaranya kini terlihat di hadapan Safira. Safira menatap kedua payudara milik Vania. Agak kendur tapi masih berisi di bagian bawah. Putingnya menegak ke atas. Puting seperti ini enak dihisap, pikir Safira.
Kemudian matanya melirik ke bawah, melihat vagina Vania yang tidak tertutup. Safira mengangkat alis ketika melihat keadaan vagina Vania. Berbulu lebat dan agak gelap di antara pahanya. Alur vaginanya tidak terlihat. Vania tiba-tiba menjadi malu dan menutup vaginanya dengan tangan.
“Emm, jangan lihat seperti itu dong. Malu aku,” ujar Vania lemah. Kepercayaan dirinya seketika jatuh. Bagaimana tidak, vagina Safira yang sangat bersih jauh berbeda dengan miliknya. Safira menggelengkan kepala dan tersenyum. Dia mendekati Vania dan berkata, “Malam ini kan spesial. Biar aku bantu bersihkan.”
Vania mengangkat kepalanya memandang Safira, tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ‘bantu’ itu. Safira tetap tersenyum saat melihat reaksi Vania. “Ok, kamu mandi dulu. Sebentar lagi aku masuk,” perintah Safira sambil mendorong Vania masuk ke kamar mandi.
Vania menurut dan mulai mandi. Safira segera mengambil tasnya dan mengambil sesuatu. Dia menunggu beberapa menit memberi Vania waktu untuk membersihkan diri. Setelah merasa Vania selesai mandi, Safira mengetuk pintu kamar mandi dan Vania membukanya. “Aku masuk, ya?” Safira meminta izin dan masuk ke kamar mandi.
“A.. Kamu mau ngapain?” tanya Vania ketakutan. Ada dua gadis telanjang di ruang kecil itu, membuat Vania tidak nyaman.
Safira mengeluarkan gunting kecil, pisau cukur, dan sebotol krim yang diambil tadi dan menunjukkan kepada Vania. “Ini. Aku mau bantu bersihkan kamu. Harus bersih kalau mau ketemu pacar. Hehe,” Safira menjelaskan kepada Vania. Vania hanya mengangguk walau ragu-ragu.
Vania diminta duduk di sebelah wastafel dan membuka kangkangnya. Awalnya Vania menolak, tapi Safira membujuknya dengan mengatakan ini semua untuk kebaikan dirinya dan pacarnya.
Posisi duduk Vania dibetulkan. Safira membuka lebar kangkang Vania. Vania memejamkan mata rapat-rapat. Otaknya sibuk memproses apa yang sedang terjadi. Tak pernah terbayang dia akan menunjukkan vaginanya kepada perempuan. Mukanya merah padam tak bisa disembunyikan.
Bulu lebat Vania dicoba ditarik perlahan. Safira mulai memotongnya dengan hati-hati. Vania diam tak bergerak supaya vaginanya tidak terluka.
Setelah bulu ditipiskan, Safira mengambil pisau cukur dan perlahan menariknya di permukaan vagina Vania. Saat jari Safira menyelip bibir vagina, Vania merasa sesuatu yang aneh. Sensasi jari lembut seorang gadis memegang vaginanya terasa nyaman.
Vania mengabaikan perasaan itu dan ingin cepat selesai. Vaginanya diulik-ulik jari Safira yang sibuk mencukur bulunya. Cukup lama juga Safira membersihkan seluruh vagina Vania. Sepertinya Vania tidak pernah mencukur licin vaginanya sendiri.
“Emm. Kamu harus jaga juga bagian pribadi ini. Jangan pakai celana dalam yang lembab. Makanya jadi gelap di area ini,” ajar Safira kepada Vania. Vania hanya diam karena malu sekali.
“Tak apa. Nanti aku kasih tips merawatnya supaya bersih,” sambung Safira yang sudah selesai mencukur bulu kawannya itu. Safira mengambil selang air dan membilas sedikit bagian vagina Vania agar sisa-sisa bulu hilang sepenuhnya.
“Sss. Ahhhh, pelan-pelan dong Safirasss,” erang Vania tiba-tiba. Safira sengaja memancurkan sedikit air ke klitoris Vania. Tangannya kemudian menyapu permukaan vagina sambil jarinya menggesek alur vagina Vania.
Melihat reaksi Vania yang tampak menikmati permainan jarinya, Safira terus menggosok klitoris Vania perlahan. Vania berusaha menutup kangkangnya namun Safira menahannya. Posisi Vania sangat terbuka sehingga memudahkan Safira melakukan tugasnya.
Jari Safira cepat menggosok klitoris dan sambil itu jarinya yang lain menjolok lubang vagina Vania. Masuknya jarinya cukup lancar karena cairan lubrikasi Vania sudah mulai keluar sejak Safira menggosok klitorisnya tadi.
“Ahhh… Safirassss. Ssss… Ahhhh… Jangannnn…,” rayu Vania melarang Safira. Tapi larangannya hanya di mulut. Vaginalnya memberikan reaksi berbeda dengan mengemut kuat jari Safira. Lubang vagina dikorek cepat. Kini dua jari menerobos lubang nikmatnya itu.
“Jangan firrr… Ahhhh… Nanti aku… Ahhhhh…,” suara Vania tersendat-sendat menahan erangan. Hampir mencapai puncak, Safira mulai menjilat klitoris Vania sambil menghisap kuat. Jarinya menjolok lebih cepat mengikuti irama jilatannya.
“Aniiisssss… Aku mau sampaiii dahhhh!” teriak Vania keras. Suaranya tidak lagi disimpan, malunya sudah hilang.
“Ahhhhhh!!!” Vania mencapai klimaks dan mengangkat panggulnya tinggi. Pahanya dikempitkan membuat Safira terperangkap di celah kangkang Vania. Lidah Safira masih menjilat-jilat vagina dan jarinya dikeluarkan.
Cairan putih pekat mengalir perlahan dari lubang vagina Vania. Cukup banyak juga cairannya sampai mengalir ke lubang anus. Safira tidak melewatkan kesempatan untuk menjilat cairan pekat itu. Jika Alya klimaks dengan menyemprotkan cairan, Vania berbeda cara klimaksnya. Air mani perempuan sudah lama diidamkan Safira.
Vania tersandar kelelahan. Dadanya naik turun menarik napas terengah-engah. Pertama kali dia dipuaskan hanya dengan masturbasi. Pacarnya sendiri tidak pernah menjilat vaginanya karena geli. Tetapi Safira sama sekali tidak peduli dengan keadaan vaginanya yang gelap. Terasa tubuhnya dihargai.
Safira menjilat habis semua cairan yang mengalir. Lubang vagina Vania kadang-kadang mengemut menahan geli. Kemudian Safira membersihkan vagina Vania dengan air dan mengelapnya dengan handuk. Lalu dituangkan sedikit krim ‘After Shave’ di sekitar vagina Vania.
“Setelah bercukur, kamu harus oleskan krim ini ya? Supaya tidak gatal-gatal vaginanya,” pesan Safira kepada Vania yang masih tersandar. Vania hanya mengangguk tanda paham.
Tiba-tiba teleponnya berdering. Vania terbangun dari lamunannya dan bergegas mengambil teleponnya. Safira keluar mencari baju dan jilbabnya untuk dipakai. Dia tahu itu adalah panggilan dari pacar Vania.
“Sayang, dia sudah hampir sampai. Kamu gimana?” tanya Vania ingin tahu rencana Safira.
“Aku baring di sofa ini aja. Yuk bantu aku putar sofanya,” jawab Safira.
Sofa yang terletak di sebelah tempat tidur diputar menghadap balkon, membelakangi tempat tidur. Jadi Safira akan berbaring di sofa itu sambil melihat ke luar. Mereka juga tidak akan melihat Safira saat berada di tempat tidur.
Setelah semuanya siap, Vania pun bersiap menyambut pacarnya masuk.