Rintihan di Asrama Putri - Bab 15
Hari yang dinantikan akhirnya tiba. 32 anggota Kelab Konseling berangkat ke Kuala Lumpur selepas Zuhur dengan menaiki bus ekspres sewaan mereka untuk perjalanan selama 4 hari ini. Semua pelajar perempuan ditempatkan di bagian belakang dan pelajar laki-laki di bagian depan. Dosen pendamping tidak mengizinkan mereka duduk campur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Mereka berangkat di siang hari agar bisa tiba pada malam hari dan langsung beristirahat di hostel yang sudah dipesan sebelumnya. Kegiatan baru akan dimulai keesokan paginya.
Sebelum naik bus, Vania menemui Safira dan meminta mereka duduk bersama di dalam bus nanti. Mereka berdua sebenarnya tidak terlalu akrab, hanya bertemu saat hari klub saja. Karena mereka berdua adalah pengurus, jadi seringlah duduk bersama untuk membahas rencana rombongan ini.
Safira heran kenapa Vania begitu bersikeras ingin duduk bersama. Perjalanan dari Kelantan ke Kuala Lumpur cukup lama, teman duduk di bus sangat penting agar tidak bosan nanti.
Sepanjang perjalanan, Safira dan Vania hanya berbincang ringan. Sebagian besar waktu mereka hanya diam. Vania sering memandang ke luar jendela seperti sedang memikirkan sesuatu. Safira yakin ada alasan kenapa Vania berperilaku seperti ini.
Setelah berhenti rehat saat Asar, hampir semua pelajar di bus tertidur kelelahan. Safira juga ingin memanfaatkan waktu untuk tidur. Baru saja hendak memejamkan mata, tiba-tiba Vania berbisik kepada Safira, “Safira. Aku ada sesuatu yang mau diberitahukan.”
Benar dugaan Safira tadi. Vania pasti ingin mengatakan sesuatu. Dia menoleh ke arah Vania yang tampak gugup. Keningnya diangkat memberi isyarat agar Vania mengungkapkan apa yang ada di hatinya sejak tadi.
“Begini. Aku yang mengurus bagian penempatan. Kita akan sekamar, tahu,” kata Vania.
“Oh ya? Lalu?” tanya Safira.
“Malam ini, pacarku mau masuk ke kamar kita,” jelas Vania membuat Safira terkejut.
“Haaa??? Kamu sudah gila, Vania??” bisik Safira agak keras sambil melirik ke tempat duduk belakang mereka. Untungnya Maya dan Inara sedang tidur nyenyak. Kalau mereka dengar, bisa heboh.
“Tolong, Safira? Lagi pula…” Vania terhenti di situ.
“Lagi pula apa?” Safira meminta Vania melanjutkan kalimatnya.
“Aku tahu… Aku tahu apa yang kamu dan Rizky lakukan di ruang operasi hari itu.” Betapa terkejutnya Safira mengetahui ada orang yang mengetahui rahasia kotornya dengan Rizky.
Namun Safira tidak mau menunjukkan ketakutannya. Dia tetap tenang. Vania hanya menatap mata Safira, berharap dia mau menerima rencananya. Safira tidak punya pilihan. Reputasinya sebagai gadis muslimah akan tercemar jika hal ini diketahui semua orang.
“Siapa lagi yang tahu?” tanya Safira ingin memastikan.
“Hanya aku dan pacarku saja,” jawab Vania singkat.
“Kamu yakin pacarmu tidak memberitahu orang lain?” Safira masih khawatir ada laki-laki lain yang mengetahuinya. Laki-laki mana bisa dipercaya sepenuhnya. Pasti ada balasan yang mereka inginkan. Vania mengangguk cepat.
“Emm. Ok. Tapi aku tidak mau ikut campur,” Safira memberi syarat. Senyum kegembiraan terbit di bibir Vania ketika Safira setuju memberi mereka ruang.
Safira kembali memejamkan mata, berpura-pura tidur tanpa memikirkan apa-apa. Tetapi sebenarnya otaknya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi malam ini. Vania segera mencapai ponselnya dan mengirim pesan kepada pacarnya.
Sekitar jam 10 malam, semua pelajar berkumpul di lobi hotel dengan wajah yang penat. Perjalanan dari Kelantan ke Kuala Lumpur dengan bus cukup melelahkan dan mereka semua ingin segera beristirahat di kamar. Vania tampak sibuk mengagihkan kunci kamar kepada para pelajar. Safira hanya duduk menunggu di bangku sekitar lobi hotel.
Setelah sesi pembagian kunci selesai, semua pelajar menuju ke kamar masing-masing. Hotel bintang tiga tersebut tidak terlalu besar. Kamar-kamar mereka cukup berdekatan satu sama lain. Hanya kamar Vania yang agak jauh di dalam dibanding kamar pelajar lain. Tampaknya Vania sudah merencanakan semuanya dengan teliti.
Setibanya di kamar, Safira dan Vania meletakkan barang masing-masing di lemari yang tersedia. Safira merebahkan badan di atas ranjang dan memandang sekeliling kamar. Hanya ada satu ranjang berukuran King. Sepertinya mereka harus berbagi ranjang selama 2 malam ini. Kalau mereka melakukan sesuatu, di mana dia harus tidur?
“Safira, mau mandi dulu nggak?” tanya Vania mengejutkan lamunan Safira. Safira hanya memandang ke langit-langit tanpa menoleh ke arah Vania dan bertanya, “Jam berapa pacarmu mau datang?” Vania agak terkejut dengan pertanyaan Safira yang sangat to the point. Jam di ponsel dilihat, baru jam 10.30 malam. “Mungkin sekitar jam 11.30. Mau tunggu sampai semua orang tidur dulu,” jawab Vania.
Safira hanya mengangguk paham. Dia punya waktu sekitar satu jam lagi untuk bersiap. Rencananya mau tidur saja di sofa yang terletak di samping balkon. Apa pun yang terjadi malam ini, biarlah Vania dan pacarnya yang tahu. Dia tidak mau ikut campur urusan mereka.
Tudung labuhnya ditanggalkan. Safira mengambil handuk dan pakaian ganti dari dalam tas lalu menuju kamar mandi. Vania yang sedang duduk di tepi ranjang memperhatikan Safira. Perasaan berdebarnya semakin kuat. Dia berharap Safira mau bekerja sama untuk 2 malam ini.
“Err, Safira. Mau mandi? Bukalah baju di luar. Lagi pula nggak ada orang lain sekarang,” tegur Vania melihat Safira melangkah ke kamar mandi dengan pakaian lengkap. “Kasihan kamu repot-repot ganti baju di dalam. Nanti basah bajumu,” tambah Vania.
Langkah Safira terhenti dan dia menjawab, “Oh ya juga. Hehe.” Safira kembali ke lemari dan melepas jubah serta kain dalamnya. Tubuh Safira hanya berlapis pakaian dalam berwarna krem. Vania agak tercengang melihat tubuh seksi milik temannya itu. Sungguh menggiurkan dibandingkan tubuhnya yang kurus tidak berisi. Walaupun ukuran payudara mereka hampir sama, tapi payudara Safira lebih kencang dan bulat dibandingkan payudaranya yang agak turun.
“Wow, nggak berkedip mata kamu lihat aku? Hehe,” tegur Safira melihat Vania terpaku melihat free show tadi. Memang sengaja dia berani berbuat begitu, ingin melihat reaksi Vania.
“Errr, nggak ada kok. Kaget aja lihat kamu santai aja bugil. Haha,” jawab Vania malu.
“Eh, belum bugil ini. Masih ada bra dan celana dalam. Mau buka juga?” goda Safira. Belum sempat Vania menjawab, Safira melepas kaitan bra-nya dan melorotkannya ke bawah. Payudara kencang Safira kini bebas. Bulat dan kenyal. Putingnya yang tadi tenggelam kini perlahan mengeras karena kedinginan. Kemudian Safira melepas celana dalamnya menunjukkan segitiga emasnya. Bersih dan licin tidak berbulu. Agak gemuk dan klitorisnya sedikit menonjol.
“Woiii, sampai bugil pula kamu. Haha. Aku jadi malu lihat kamu,” Vania memejamkan mata dan berpaling. “Alah, apa yang malu? Bukan ada orang lain?” Safira membalas dengan kata-kata Vania tadi. Sungguh tak disangka gadis selembut Safira ini ternyata sangat open minded. Muncul kekhawatiran di hatinya jika pacarnya melihat tubuh Safira yang menggiurkan ini.
Safira berlalu masuk ke kamar mandi sambil berbugil melintasi Vania. Mata Vania terbuka sedikit mengintip rakannya masuk ke kamar mandi. Setelah pintu ditutup, barulah Vania membuka matanya dan merasa lega. Menyesal pula dia menegur Safira tadi. Tidak tahu kalau Safira seberani ini.