Rintihan di Asrama Putri - Bab 10
Sejak kejadian hari itu, hubungan Safira dan Alya semakin erat. Mereka lebih mesra ketika bersama, baik di dalam kamar maupun di luar. Teman-teman mereka tidak mencurigai apa-apa karena mereka memang bersahabat sejak semester pertama. Dan lumrah bagi perempuan, bermanja-manja antara satu sama lain tidak akan dipandang aneh oleh orang sekeliling. Bahkan terlihat sweet ketika mereka berkelakuan begitu. Jadi, tidak ada masalah bagi mereka untuk lebih mesra.
Alya kini semakin terbuka tentang seks. Walaupun seks sejenis, bagi Alya itu adalah salah satu cabang dalam seks. Meski dia sangat suka disentuh Safira, perasaannya terhadap laki-laki masih kuat. Mungkin inilah yang disebut biseksual.
Pada suatu pagi, di dalam ruang kuliah, Alya merasa terangsang. Malam sebelumnya mereka sibuk menyiapkan tugas yang diberikan oleh dosen. Karena tugas itu adalah tugas kelompok, beberapa teman mereka juga ikut berkumpul di kamar mereka selama seminggu ini. Hal ini membuat mereka kesulitan untuk saling membelai satu sama lain.
“Psst… Safirass…,” bisik Alya kepada Safira yang sedang serius mendengarkan kuliah di sebelahnya.
“Ada apa?” jawab Safira pelan.
“Basah…,” ujar Alya yang membuat kening Safira terangkat.
“Ishhh, kita lagi di kelas,” Safira berbisik lebih dekat, takut teman mereka yang lain mendengar.
“Pleaseeee,” mata Alya dibundarkan secomel mungkin dengan harapan Safira tergoda.
“Jangan buat masalah, Alya. Pak Ibrahim itu galak,” tegas Safira yang tidak mau meladeni kelakuan sahabat baiknya itu. Di dalam hatinya campur aduk perasaan bangga dan kesal karena telah mengubah Alya yang polos menjadi gadis yang ketagihan seks.
Tiba-tiba Alya mendorong kursinya dan berdiri sambil mengangkat tangan. “Pak Ibrahim, saya mau izin ke toilet sebentar ya?” ujar Alya sambil menarik lengan Safira yang masih terkejut dengan permintaan Alya tadi.
“Baik, 5 menit saja,” jawab Pak Ibrahim singkat.
Alya langsung menarik Safira berdiri dan Safira pun menurut. Baru beberapa langkah menuju pintu, Pak Ibrahim menegur, “Hai, yang minta izin satu orang, tapi yang pergi dua orang?”
Langkah mereka terhenti. Safira menelan ludah, gugup. Matanya memandang tepat ke mata Alya, memberi isyarat bahwa dia tidak mau pergi.
“Err, ini urusan perempuan, Pak. Maaf. Safira harus menemani saya,” alasan Alya.
“Ohh, err oke. Pergilah,” jawab Pak Ibrahim sedikit panik. Dia mengira Alya mungkin sedang datang bulan dan butuh bantuan Safira.
Dengan cepat mereka berjalan keluar menuju toilet di ujung blok. Alya menoleh ke belakang dan memberikan senyuman nakal kepada Safira. Safira hanya menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang baru mereka lakukan.
Setibanya di toilet, Alya memeriksa setiap pintu untuk memastikan tidak ada orang di situ. Mereka masuk ke toilet paling ujung dan mengunci pintu.
Kini hanya mereka berdua di ruang sempit itu. Mereka berdiri berhadapan. Nafas mereka sedikit terengah karena berjalan cepat tadi.
Safira menyandarkan Alya ke dinding. Wajah mereka dirapatkan. Nafas yang tadi cepat karena lelah, kini berubah menjadi nafas penuh gairah. Mata Safira menatap tajam mata Alya.
Safira mulai mencium bibir Alya dengan penuh gairah. Alya membalas ciumannya dengan kasar. Dendam selama seminggu dilepaskan di bibir. Suara ciuman mereka sedikit bergema di toilet yang kecil itu.
Alya menjulurkan lidahnya dan disambar Safira. Lidahnya dihisap sambil tangannya meremas kepala bertudung Alya. Lidah mereka saling bergantian dihisap. Air liur mereka menetes membasahi pipi dan dagu masing-masing.
Kemudian Safira melepaskan bibir mereka dan turun perlahan ke bagian dada. Payudara Alya diramas di balik hijab shawl yang membalut tubuhnya. Kepala Alya terdongak ke atas menahan gelora nafsu.
Baju kurung Alya disingkap ke atas, memperlihatkan perutnya dan sedikit bra. Safira menjilat tubuh Alya dari pinggang hingga ke bawah dada. Diulang beberapa kali.
Safira kemudian berdiri kembali dan memeluk tubuh Alya erat. Bibir mereka bersatu lagi. Kepala Safira sedikit dimiringkan dan bibir mereka saling menghisap satu sama lain. Sambil tangan mereka menjelajah meraba seluruh tubuh.
Safira menarik kembali baju kurung Alya ke atas hingga memperlihatkan payudaranya. Safira menunduk dan mencium pangkal payudara Alya. Dihirup semahunya. Wangi sabun mandi pagi tadi masih tercium meski hari sudah beranjak petang.
Dihirup semahunya payudara Alya tersebut. Kemudian Safira menarik bra ke bawah dan tersembullah payudara ranum 34B Alya. Safira langsung menyerang puting yang sudah keras sejak tadi.
Dijilat-jilat puting Alya dan disedot dengan gairah. Alya hanya bisa bersandar dan menikmati lidah Safira di payudaranya. Puting kiri dan kanan dihisap bergantian. Sambil tangan Safira meremas kuat payudara.
Safira mendongak ke atas dan menatap wajah Alya. Safira menjeling nakal sambil menjilat-jilat puting. Ini membuat Alya semakin berahi. Cairan mazi sudah mengalir di celah paha. Celana dalamnya sudah basah tak mampu menahan cairan yang keluar.
Safira tidak mau berlama-lama. Sudah 5 menit sejak mereka keluar dari ruang kuliah. Jika terlalu lama, mungkin akan menimbulkan kecurigaan dari Pak Ibrahim.
Rok Alya diturunkan hingga ke lutut. Safira tidak begitu terkejut melihat celana dalam Alya yang basah. Kain putih tipis yang membalut vaginanya hampir menjadi transparan. Nampak jelas lekuk vagina Alya.
Memang sudah basah banget ini.
Celana dalam ditarik ke bawah. Terlihatlah vagina yang berkilat dengan cairan mazi. Lidah dijulurkan ke klitoris yang membengkak.
“Ssss… Ahhh… Safirasss…,” desah Alya sambil meremas kepala Safira yang berada di antara kakinya.
Safira menjilat-jilat klitoris sambil mengikut alur vagina. Lidahnya ditekan-tekan ke lurah.
Kaki Alya bergetar menahan nikmat dunia yang agung itu. Cairan mazinya semakin deras.
Muka Safira disembamkan semahunya ke vagina Alya. Lidahnya begitu rakus memainkan peranannya. Dijilat ke atas ke bawah, dengan berbagai ritme. Zigzag, putaran, hisapan kuat di klitoris.
Semua teknik jilatan dilakukan demi memuaskan Alya dengan segera.
Tangan Safira turut meremas pantat Alya kuat hingga meninggalkan bekas berwarna merah.
Alya sudah tidak keruan. Tangannya memeras putingnya, memberikan dua sensasi di titik gairahnya.
“Aa.. Safirasss. Si… Sedikit lagi, nis,” bisik Alya terengah.
Safira menggunakan teknik terakhir di vagina Alya. Bibirnya menyedot klitoris sambil lidah di dalam menggoyang-goyangkan biji Alya. Jarinya menggesek-gesek alur vagina hingga ke lubang pantat.
Semuanya dilakukan bersamaan dan cepat. Mata hitam Alya sudah tidak terlihat lagi. Teknik Safira begitu hebat hingga pikirannya melayang tinggi.
“Aaahhhh! Safirassss! Ahhhh!”
Akhirnya Alya mencapai klimaks. Kakinya bergetar menahan gelombang nikmat.
Safira yang menyadari Alya klimaks menekan lagi wajahnya di antara paha. Kepalanya bergetar mengikuti getaran pantat Alya.
Hampir jatuh Alya ke lantai toilet, namun sempat memegang flush toilet. Dia tidak mau masuk ke kelas dengan rok yang basah.
Setelah beberapa saat klimaks, Safira melepaskan vagina Alya dan perlahan berdiri.
Safira langsung menyambar bibir Alya, memberinya rasa cairan mazinya sendiri.
Alya hanya membalas lemah. Terasa asin dan sedikit amis aroma yang dirasakan. Cairan mazinya sendiri, apa yang perlu dijijikkan.
“Sudah puas?” tanya Safira tersenyum melihat Alya yang masih belum membuka matanya.
Alya membuka matanya dan mengangguk perlahan.
“Mau banget kan? Hehe,” ledek Safira kepada Alya yang masih belum sepenuhnya sadar.
Safira memakaikan kembali celana dalam Alya dan merapikan roknya. Hijab pun dikemaskan.
Mereka keluar dari toilet dengan hati-hati. Khawatir ada yang melihat mereka keluar berdua.
Safira membasuh muka dan berkumur-kumur. Beberapa kali dia berkumur hingga rasa asin di mulutnya hilang.
Setelah semuanya siap, mereka pun bergegas kembali ke ruang kuliah. Khawatir Pak Ibrahim akan memarahi karena waktu yang diambil terlalu lama.
“Terima kasih, Fir. Sayang banget sama kamu. Hehe,” ujar Alya sambil tersenyum.