Pendekar Penebar Bibit - Bab 04
Sepuluh tahun telah berlalu sejak Xiang Liwei melangkahkan kakinya ke pertapaan Master Lin, sebuah tempat yang dikelilingi oleh pegunungan hijau dan udara yang segar. Kini, remaja itu telah menjelma menjadi pemuda berusia 16 tahun yang sangat tampan dan gagah perkasa, dengan postur tubuh yang tegap dan wajah yang tampak penuh percaya diri. Dia memancarkan aura kekuatan tersembunyi di balik senyum ramahnya, yang mampu menenangkan hati siapapun yang dilihatnya. Setiap langkahnya menunjukkan kebijaksanaan yang diperoleh dari tahun-tahun latihan keras dan pengorbanan, serta tekad untuk mengejar impian dan tujuan yang lebih besar dalam hidupnya.
Ilmu bela diri dan tenaga dalamnya kian terasah, melampaui batas manusia biasa. Latihan yang keras dan disiplin yang tinggi telah membentuk kemampuannya, memungkinkan Liwei untuk melakukan gerakan yang luar biasa dan menunjukkan kekuatan yang tak tertandingi. Namun, meskipun dia memiliki kemampuan luar biasa, Liwei selalu ingat pesan gurunya yang bijak: “Jangan pamerkan kekuatanmu di depan orang banyak kecuali saat keadaan mendesak.” Prinsip itu dipegang teguhnya, menjadikannya sosok yang rendah hati dan penuh kasih sayang. Dia lebih memilih untuk menggunakan kemampuannya untuk melindungi yang lemah dan membantu mereka yang membutuhkan, daripada mencari pengakuan atau pujian dari orang lain.
Di desa Qingyun yang terletak di kaki gunung yang megah, Liwei dikenal sebagai pemuda yang ceria dan selalu siap menolong siapa pun yang membutuhkan. Kebaikan hatinya tak hanya menarik perhatian warga desa, tetapi juga para gadis muda yang mengagumi ketampanannya dan sifatnya yang ramah. Setiap kali Liwei melintasi jalan desa, senyum lebar dan sapaan hangatnya selalu membuat hari orang-orang di sekitarnya terasa lebih cerah.
Suatu hari yang cerah, saat Liwei asyik bermain bersama teman-teman wanitanya di lapangan desa, dia melihat seorang gadis kecil kurus kering dengan mata yang penuh harapan sedang memohon-mohon makanan di depan restoran yang ramai. Gadis itu tampak sangat lemah, pakaiannya compang-camping. Pemilik restoran yang kasar dan tanpa belas kasihan mengusirnya dengan kata-kata pedas, membuat gadis kecil itu menundukkan kepala dengan penuh rasa malu dan kesedihan.
Tiba-tiba, segerombolan prajurit berkuda muncul dari belakang gadis kecil itu, menunggangi kuda-kuda yang besar dan kuat. Kuda-kuda mereka berlari kencang, siap menabrak gadis malang yang tak berdaya itu. Dalam sekejap, Liwei merasa ketakutan dan kepanikan menyelimuti hatinya. Tanpa berpikir panjang, ia menggunakan ilmu meringankan tubuhnya dengan kecepatan luar biasa, ia melompat maju untuk menyelamatkan gadis kecil itu dari bahaya yang mengancam.
Salah satu prajurit yang marah turun dari kudanya dan meneriaki gadis itu. Liwei, dengan sikap sopan dan penuh hormat, meminta maaf atas kejadian tersebut dan memohon agar prajurit itu tidak menyakiti gadis kecil itu.
Situasi semakin tegang saat lebih banyak prajurit datang dan mengepung mereka. Tiba-tiba, lima prajurit berkuda lainnya muncul, dipimpin oleh seorang gadis cantik berpakaian mewah. Dia adalah Xiang Rong, putri pejabat tertinggi di prefektur dan gadis yang diam-diam mengagumi Xiang Liwei.
“Apa yang terjadi di sini?” tanya Xiang Rong dengan suara anggun.
Prajurit yang marah itu menjelaskan bahwa Xiang Liwei telah menghalangi jalan mereka dan hampir menabrak kuda mereka. Xiang Rong, setelah mendengarkan penjelasan dari kedua belah pihak, memutuskan untuk menyelesaikan masalah dengan damai.
Dia memberikan uang kepada pemilik restoran untuk membelikan makanan bagi gadis kecil itu dan memerintahkan prajuritnya untuk pergi. Xiang Rong kemudian berbalik kepada Xiang Liwei dan berkata dengan senyuman, “Terima kasih telah menyelamatkan gadis kecil itu. Aku adalah Xiang Rong, putri Prefek Zhang. Senang bertemu denganmu.”
Xiang Liwei, sedikit terkejut dengan kecantikan dan aura wibawanya, lalu berkata, “Aku Xiang Liwei. Senang bertemu denganmu juga, Nona Xiang.”
Pertemuan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Xiang Liwei dan Xiang Rong. Di balik tatapan dingin dan sombongnya, Xiang Rong sebenarnya melihat kebaikan dan keberanian yang tersembunyi dalam diri Xiang Liwei. Meskipun Xiang Rong berusaha untuk terlihat tak peduli, ada sesuatu dalam cara Xiang Liwei berdiri tegak dan menatapnya dengan percaya diri yang membuatnya terkesan. Di balik senyuman riang yang selalu menghiasi wajah Xiang Liwei, Xiang Rong merasakan ketulusan dan kehangatan dari hati yang tulus, seolah-olah setiap senyum mengandung harapan dan kejujuran.
Saat perpisahan tiba, Xiang Rong meninggalkan Xiang Liwei dan Jin Xiaoling dengan senyuman menggoda di bibirnya, seolah-olah dia menyimpan rahasia yang hanya dia yang tahu. Dia memacu kudanya dengan semangat, meninggalkan jejak debu yang berterbangan di udara dan bayangan samar yang melintas di jalanan desa yang tenang.
Xiang Liwei masih tertegun, menatap kepergian Xiang Rong dengan perasaan campur aduk dalam hatinya. Bajunya ditarik lembut oleh Jin Xiaoling yang mengulurkan sepotong bakpao hangat yang baru saja dikukus, aromanya yang menggugah selera memenuhi udara. “Ayo makan, Kak Liwei!” kata Jin Xiaoling dengan suara ceria, matanya bersinar penuh semangat. Dengan senyum lembut, Xiang Liwei menerima bakpao itu, merasakan kehangatan dari makanan dan perhatian Jin Xiaoling.
Xiang Liwei tersenyum dan menerima bakpao itu. Dia menggigitnya perlahan, merasakan rasa gurih dan hangat di mulutnya. Perhatiannya teralihkan pada Jin Xiaoling, gadis kecil yang selalu ceria dan penuh kasih sayang.
“Terima kasih, Xiaoling,” kata Xiang Liwei. “Kau selalu baik padaku.”
Jin Xiaoling mengangguk. “Tentu saja! Kak Liwei kan pahlawan yang menyelamatkan aku dari kuda prajurit.”
Xiang Liwei tertawa kecil. “Aku hanya melakukan apa yang harus dilakukan.”
Xiang Liwei masih asyik berbincang dengan Jin Xiaoling di sebuah kafe kecil yang ramai, menceritakan dengan antusias tentang pertemuannya yang tak terduga dengan Xiang Rong di festival musim semi. Suara ceria Jin Xiaoling yang penuh semangat memenuhi udara, mengusir rasa penasaran dan kebingungan Xiang Liwei tentang tatapan intens yang dirasakannya saat pertama kali melihat Xiang Rong. Mereka berdua tertawa bersama, menikmati momen kebersamaan sambil menyeruput teh hangat yang menghangatkan suasana hati.
Namun, sesekali, Xiang Liwei merasakan ada yang janggal. Seolah-olah ada bayangan yang mengikutinya, aura yang tak kasat mata tapi terasa nyata. Dia menoleh ke sekelilingnya, tapi tak ada yang terlihat.
Percakapan mereka terhenti sejenak saat Xiang Liwei mendengar suara gemerisik yang aneh dari balik jendela rumah besar di seberang jalan. Suara itu terdengar seperti sesuatu yang menggesek permukaan, mengusik ketenangan sore hari. Dia mengerutkan kening, matanya tertuju pada tirai yang bergerak-gerak dengan lambat, seolah ada sesuatu yang berusaha mengintip dari baliknya. Rasa penasaran mulai menguasainya, dan dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi di dalam rumah itu.
Sebuah insting aneh muncul dalam dirinya, firasat yang tak bisa diabaikan. Perlahan, dia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah jendela itu.
Jin Xiaoling mengikutinya dengan langkah kecil, matanya yang besar penuh dengan rasa ingin tahu. “Ada apa, Kak Liwei?” bisiknya.