Pendekar Penebar Bibit - Bab 03
Angin dingin menusuk tulang, menyusup ke setiap relung tubuh dan menusuk relung hati Xiang Liwei yang masih diliputi duka mendalam. Setiap hembusan angin seolah membawa bisikan kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan. Langit kelabu membentang luas, bagaikan tirai duka yang menyelimuti bumi, seakan ikut merasakan kesedihan pemuda itu yang terasa begitu berat. Suasana sekelilingnya sepi, hanya terdengar suara daun-daun yang bergesekan akibat desiran angin. Gunung-gunung berdiri kokoh, bagaikan saksi bisu tragedi yang menimpa Xiang Liwei, menyaksikan setiap tetes air mata yang jatuh dan setiap langkahnya yang penuh beban. Dalam keheningan itu, harapan terasa jauh, namun keindahan alam di sekelilingnya menarik hati untuk terus berjuang meskipun rasa sakit masih menggerogoti jiwa.
Di puncak gunung terpencil itulah, Xiang Liwei terbangun dari pingsannya. Rasa pusing masih menyelimuti kepalanya, namun rasa penasaran mengalahkan rasa sakit itu. Di mana dia? Siapakah pria tua berjubah putih yang duduk di hadapannya?
“Anak muda,” suara pria tua itu bergema, bagaikan alunan musik yang menenangkan jiwa Xiang Liwei yang gundah. “Namaku Lin Héshàn. Kau telah pingsan selama beberapa hari di sebuah desa. Aku menemukanmu dan membawamu ke tempat ini.”
Xiang Liwei terdiam, mencerna setiap kata yang diucapkan Lin Héshàn. Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Siapa yang telah membunuh kedua orang tuanya? Di mana dia sekarang? Dan mengapa dia diselamatkan oleh pria tua ini?
Lin Héshàn, bagaikan peramal yang mampu membaca isi hati Xiang Liwei, berkata, “Aku tahu kau memiliki banyak pertanyaan. Tapi untuk saat ini, yang terpenting adalah kau beristirahat dan memulihkan diri.”
Xiang Liwei mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Dia merasa seperti anak ayam yang kehilangan induknya, terombang-ambing di tengah badai kehidupan. Lin Héshàn memberinya secangkir teh hangat, aromanya yang menenangkan sedikit meredakan kegelisahan di hatinya.
Hari-hari berikutnya dilewati Xiang Liwei dengan penuh kepedihan dan kebingungan. Dia sering termenung, memikirkan kedua orang tuanya dan masa depannya yang tidak pasti. Lin Héshàn selalu menemaninya, mendengarkan ceritanya dengan penuh kesabaran.
Suatu hari, ketika Xiang Liwei melihat Lin Héshàn berlatih bela diri, dia terpesona oleh kekuatan dan kelincahan sang guru. Api semangat berkobar di dalam dirinya. Dia ingin menjadi kuat, ingin melindungi diri dan orang-orang yang dia sayangi.
Dengan penuh tekad, Xiang Liwei menghampiri Lin Héshàn dan memohon untuk menjadi muridnya. Lin Héshàn memandangnya dengan tatapan penuh selidik. Dia menyadari akan aura kekuatan yang luar biasa yang dimiliki oleh Xiang Liwei, namun di balik kekuatan itu, dia juga melihat keraguan dan kegelapan.
“Aku tidak bisa menjamin bahwa aku bisa mengajarimu bela diri,” kata Lin Héshàn dengan suara lembut. “Sebelum aku mengajarimu teknik, aku ingin kau belajar terlebih dahulu tentang moral dan kebaikan hati.”
Xiang Liwei tidak mengerti maksud Lin Héshàn yang tampak misterius dan dalam. Dia ingin menjadi kuat, bukan sekadar belajar tentang moralitas yang sering dianggap membosankan. Namun, ketika dia menatap mata sang guru, dia melihat kesungguhan dan ketulusan yang dalam, seolah-olah Lin Héshàn telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Melihat dedikasi dan komitmen guru tersebut, Xiang Liwei merasa tergerak dan memutuskan untuk mempercayainya, berharap bahwa mungkin ada lebih banyak dalam pembelajaran ini daripada yang dia sadari.
Bulan demi bulan berlalu. Xiang Liwei tidak hanya diajari seni bela diri, tetapi juga tentang nilai-nilai kehidupan seperti kejujuran, keberanian, dan kasih sayang. Dia belajar untuk mengendalikan emosinya, untuk menggunakan kekuatannya untuk kebaikan, dan untuk selalu berpegang teguh pada kebenaran.
Perlahan tapi pasti, Xiang Liwei berubah menjadi pemuda yang bermoral dan berkarakter mulia. Aura kekuatannya yang dulunya penuh dengan keraguan, kini terpancar dengan penuh kebijaksanaan dan kedamaian.
Lin Héshàn merasa lega melihat perkembangan Xiang Liwei. Dia yakin bahwa muridnya ini akan menjadi pendekar yang adil dan bijaksana. Akhirnya, dia memutuskan untuk menurunkan ilmu tingkat tinggi yang dimilikinya kepada Xiang Liwei.
Di balik pepohonan yang rimbun, tersembunyi sepasang mata licik yang mengamati setiap gerakan Xiang Liwei dan Lin Héshàn. Zhou Yanmei, siluman rubah berekor sembilan yang penuh pesona sekaligus berbahaya, tersenyum puas melihat perkembangan Xiang Liwei. Senyumnya bagaikan bulan sabit yang memancarkan aura misterius, menyembunyikan niat tersembunyi di balik kecantikannya.
Zhou Yanmei yakin bahwa Xiang Liwei, dengan kekuatan dan hatinya yang murni, adalah kunci untuk mencapai tujuannya. Dia akan menarik Xiang Liwei ke dalam jaring pesonanya, membuatnya tergoda oleh kecantikannya dan kekuatannya yang menggoda.
Zhou Yanmei tahu bahwa Xiang Liwei memiliki tekad yang kuat dan hati yang penuh kasih sayang. Tapi dia yakin bahwa dia bisa mematahkan tekad itu, merenggut kemurniannya, dan mengubahnya menjadi alat untuk memuaskan hasratnya.
“Belum, belum waktunya, Yangmei,” bisik Zhou Yanmei dalam hatinya. Dia menunggu dengan sabar, bagaikan predator yang mengincar mangsanya yang sempurna. “Ketika waktunya tiba,” lanjutnya dalam tawa licik yang menggema di antara pepohonan, “kau akan menjadi milikku, Liwei, Hahahahahahaaaa………..”
Tawa Zhou Yanmei yang menyeramkan memecah keheningan hutan, bagaikan bisikan kematian yang menandakan awal dari sebuah rencana jahat. Dengan gerakan anggun dan senyap, siluman rubah itu pun membaur dengan desiran angin, menghilang tanpa jejak, meninggalkan jejak misteri dan ketakutan di udara.
Lin Héshàn saat itu sedang mengawasi Liwei yang sedang berlatih keras di lapangan, fokus pada setiap gerakan dan teknik yang dia pelajari. Namun, saat matanya menyapu area sekitar, dia merasakan adanya aura gelap yang mengintai dari kejauhan, seolah-olah ada seseorang yang mengawasi mereka dengan niat jahat. Rasa cemas semakin menyelimuti Lin Héshàn, karena dia tahu betul betapa berbahayanya jika ada ancaman yang mengintai muridnya.
Lin Héshàn terhenyak ketika melihat kemajuan Xiang Liwei yang begitu pesat. Setiap kali mereka berlatih bersama, kemajuan muridnya itu begitu mencolok, membuatnya hampir tidak percaya. Kekuatan dan kemampuan bertarung Xiang Liwei melampaui harapan, bahkan melebihi apa yang pernah dia bayangkan ketika pertama kali mengambilnya sebagai murid. Namun, di balik kekagumannya, ada kekhawatiran yang menggelayut di benaknya, seperti bayangan yang tak kunjung hilang.
“Apakah aku benar-benar bisa membimbingnya?” pikirnya, merenungkan tidak hanya potensi luar biasa Xiang Liwei tetapi juga dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kekuatan besar ini. Dia tahu bahwa dengan kekuatan besar, datang pula tanggung jawab yang besar.
Dengan segala resiko yang mengancam di dunia persilatan yang penuh dengan intrik dan bahaya, Lin Héshàn mulai merasa bimbang. Dia mempertimbangkan semua kemungkinan; apakah menjadikan Xiang Liwei sebagai murid adalah keputusan yang tepat, atau justru akan berakibat buruk bagi dunia yang penuh dengan konflik dan persaingan seperti ini?
Suasana tegang menyelimuti perasaan Lin Héshàn, bagaikan badai yang siap mengguncang ketenangan yang telah dibangun selama ini. Dia berusaha keras untuk menyingkirkan keraguan dari pikirannya, tetapi benak dan hatinya berperang. Setiap momen yang dihabiskan bersama Xiang Liwei semakin memperkuat rasa tanggung jawabnya, dan dia tahu bahwa pilihannya bisa menentukan masa depan bukan hanya untuk muridnya, tetapi juga untuk semua orang di sekitarnya.