Pendekar Penebar Bibit - Bab 01
Langit di atas Desa Ping’an di tahun ke-696 bagaikan kanvas raksasa yang dilumuri tinta hitam pekat, bagaikan lukisan abstrak yang kelam dan penuh misteri. Awan tebal menyelimuti seluruh permukaan, meredam cahaya rembulan dan bintang-bintang, seolah ingin menyembunyikan rahasia yang tersimpan di baliknya.
Sesekali, kilatan petir bagaikan coretan kuas yang membelah kegelapan, memancarkan cahaya biru kehijauan yang menerangi sekeliling dengan kilatan sesaat, lalu kembali tenggelam dalam kegelapan. Suara gemuruh yang menggelegar menggetarkan bumi, bagaikan raksasa yang sedang mengamuk di atas sana, memperingatkan akan kekuatan alam yang tak terbendung.
Di tengah pergolakan alam yang dahsyat ini, sebuah kehidupan baru bersiap untuk menyapa dunia. Di sebuah daerah terpencil di atas Desa Ping’an, sebuah rumah kayu sederhana dengan atap jerami terlihat remang-remang diterangi cahaya lilin.
Di dalam rumah, Lan Mei, seorang wanita dengan rambut hitam panjang dan mata cokelat yang indah, merintih kesakitan saat ia merasakan kontraksi yang semakin kuat. Wajahnya pucat pasi, keringat membasahi dahinya, dan napasnya tersengal-sengal.
Di sampingnya, suaminya, Ah Long, seorang pria kekar dengan wajah penuh luka bekas pertempuran, memegang tangannya dengan erat, memberikan kekuatan dan dukungan. Matanya berkaca-kaca dengan kecemasan dan rasa cinta yang mendalam.
“Lan Mei, kau kuat,” bisik Ah Long dengan suara penuh kasih sayang. “Bayi kita akan segera lahir. Tahan sebentar lagi.”
Lan Mei mengangguk, air matanya mengalir di pipinya. Ia merasakan bayinya bergerak-gerak di dalam perutnya, seolah ingin segera keluar dan bertemu dengan dunia. Rasa sakit yang ia rasakan luar biasa, namun tekadnya untuk melahirkan bayinya jauh lebih kuat.
Di balik bayang-bayang dari kejauhan, sepasang mata emas bersinar bagaikan lentera di kegelapan malam yang pekat. Sosok siluman rubah berekor sembilan, Zhou Yanmei, dengan anggun dan misterius mengamati bayi itu, merasakan getaran energi yang kuat.
Tatapannya penuh ketertarikan, seolah ingin menembus jiwa bayi tersebut. Aura kekuatan yang memancar dari sang bayi bagaikan magnet yang tak tertahankan, menariknya lebih dekat dalam kegelapan. Rasa ingin tahu Zhou Yanmei semakin membara, tercampur dengan ambisi yang mendalam untuk memahami potensi luar biasa yang dimiliki oleh bayi itu.
“Bayi ini…” bisik Zhou Yanmei, suaranya serak dan penuh misteri. “Dia akan menjadi wadah kekuatan yang luar biasa.”
“Dia adalah kunci untuk membuka potensiku,” gumam Zhou Yanmei. “Dengan menanamkan benih gairah dalam dirinya, aku akan dapat memanfaatkan kekuatannya untuk mencapai puncak kejayaanku.”
Namun, Zhou Yanmei sadar bahwa kutukan yang akan dia berikan harus dibayar dengan masa tapa selama 200 tahun yang telah dia jalani. “Sekarang saatnya,” Zhou Yanmei berbisik, suara serak dengan tekad yang membara. “Aku akan memastikan bahwa kutukan ini tidak sia-sia. Bayi ini adalah jalanku menuju kebangkitan, dan aku tidak akan membiarkan apapun menghalangiku.”
Tiba-tiba, kilatan petir yang paling terang menyambar langit, menerangi seluruh desa dengan cahaya putih menyilaukan. Seolah terhubung dengan petir tersebut, Lan Mei mengeluarkan jeritan terakhirnya yang melengking tinggi. Di saat yang sama, tangisan bayi terdengar memecah keheningan malam.
Ah Long memeluk Lan Mei dengan erat, merasakan tubuhnya yang lemas. Ia melihat ke bawah dan melihat bayi mungil yang baru lahir, terbungkus kain putih, terbaring di pangkuan Lan Mei. Bayi itu memiliki mata yang jernih dan rambut hitam yang lebat. Meskipun baru lahir, aura kekuatannya sudah terasa begitu kuat.
“Dia begitu indah,” gumam Ah Long dengan penuh haru. “Xiang Liwei… Selamat datang di dunia, anakku.”
Lan Mei tersenyum lemah, matanya penuh cinta untuk bayinya. “Xiang Liwei,” ulangnya dengan suara serak. “Nama yang sempurna untukmu, anakku yang kuat dan pemberani.”
Zhou Yanmei menunggu dengan sabar sampai semua orang di rumah itu terlelap, memastikan tidak ada yang akan mengganggunya. Ketika semuanya sunyi, dia melangkah keluar dari bayang-bayang dengan gerakan anggun. Bulunya yang putih berkilau bagaikan salju menyelimuti tubuh mungil bayi itu, memberikan kehangatan dan ketenangan.
Zhou Yanmei merasakan denyut nadi bayi itu, merasakan aliran energi luar biasa yang mengalir dalam tubuhnya. “Ini luar biasa, aku tidak pernah merasakan aura kekuatan yang begitu besar,” bisik Zhou Yanmei, suaranya bergetar penuh rasa takjub.
Setiap denyut jantung bayi yang lembut, bagaikan gelombang energi yang menyentuh inti dirinya, membangkitkan insting dan keinginan yang mendalam untuk mengklaim kekuatan tersebut. Ia mendekat, merasakan kehangatan tubuh mungil itu, seakan-akan magnet yang menarik jiwanya, mengundangnya untuk menyatu dengan kekuatan yang belum pernah ada sebelumnya.
Dalam keheningan malam yang mencekam, sebuah perjanjian tak terucap terbentuk – antara kehidupan dan ambisi, antara harapan dan kegelapan, semakin mendekat dalam tarian yang harmonis namun berbahaya.
Mata Zhou Yanmei bersinar, dipenuhi ketegangan dan gairah, mengetahui bahwa ia telah menemukan titik balik dalam takdirnya.
“Dia akan membayar harga yang mahal untuk kekuatan ini,” Zhou Yanmei berkata pada dirinya sendiri. “Tapi aku tidak peduli. Kekuatanya lebih penting daripada apa pun.”
Dengan mantra kuno yang penuh makna, Zhou Yanmei dengan hati-hati menanamkan benih gairah dan semangat dalam diri bayi itu. Suara lembutnya melengking dalam ruang yang sunyi, menciptakan aura magis yang menyelimuti mereka. Setiap kata yang diucapkan seolah mengalir seperti air yang menyuburkan tanah, memberi hidup baru dan harapan kepada masa depan bayi tersebut.
Api biru menyala dengan cerah di telapak tangannya, menandakan kutukan yang telah tertanam dalam dirinya. Cahaya yang berkilau itu seolah-olah hidup, bergetar dengan energi yang mengancam.
Tangisan bayi itu semakin keras, memecah keheningan malam dengan ketidakberdayaan yang menyentuh hati. Auranya menjadi semakin liar, bergetar dengan gelombang emosi, seolah merasakan beban berat yang akan dia pikul sepanjang hidupnya.
Setiap tangisan seakan mengundang perhatian dari dunia di sekitarnya, membawa kesedihan dan harapan sekaligus, menciptakan suatu ikatan yang tak terpisahkan antara nasib dan takdir.
Zhou Yanmei tersenyum tipis, puas dengan hasil karyanya. Dia mundur ke dalam bayang-bayang, meninggalkan bayi itu dalam pelukan nasibnya yang kelam.
“Kutukan telah tertanam,” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, matanya berkilau dengan kecemasan. “Bayi ini akan dihantui selamanya oleh gairah yang liar dan penuh nafsu, berjuang dalam kegelapan jiwanya tanpa henti. Dia akan dipaksa untuk memu4skan w4nit4 demi meredakan gejolak dalam dirinya yang tak tertahankan. Kutukan ini akan menjadi belenggu yang mengikatnya, menjadikan hidupnya sebuah perjalanan yang penuh dengan kesedihan dan kerinduan.
Tawanya pun melengking, menciptakan gelombang suara yang memecah keheningan malam, seolah mengundang bayang-bayang untuk datang dan menyaksikan nasib tragis yang menanti.
Suara itu bagaikan melodi kematian yang bergema menjauh, meluncur di antara pepohonan yang rimbun dan heningnya malam. Suara itu perlahan-lahan tergantikan oleh rintihan angin malam yang berat, seolah-olah bertanya tentang penderitaan apa yang akan menimpa Xiang Liwei dalam menghadapi gairah liar yang menguasainya di masa depan.
Dalam kegelapan, bayangan-bayangan masa lalu dan harapan-harapan yang terpendam meliuk-liuk, menimbulkan rasa cemas yang tak tertahankan. Dia merasakan bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, dan setiap pilihan yang diambil akan membentuk nasibnya dengan cara yang tak terduga.