Pemuas Para Ustadzah Kesepian - Bab 3
Aku merasa wajahku memanas lagi. “Biasanya aku biarkan saja, Bu. Lama-lama juga akan turun. Atau kalau Laras ada, aku minta dia pegang dan gosok-gosok sampai ada cairan yang keluar.”
Ustadzah Fatimah hanya tersenyum mendengar penjelasanku. Dia menyuruhku mengganti pakaian di kamarnya dan mengatakan bahwa aku bisa makan setelahnya. Aku menurutinya dan tanpa kuduga, dia mengikutiku ke kamarnya.
Ketika aku sedang mengganti pakaian, Ustadzah Fatimah tiba-tiba mengambil handuk yang kupakai dan mulai meremas-remas penisku dengan mesra. Aku kaget dan merasakan perasaan terkejut sekaligus nikmat yang mulai menyelimuti tubuhku.
“Kamu memang belum pernah sentuh wanita, ya, Rio?” bisiknya sambil terus meremas penisku.
Aku hanya bisa menggeleng, tidak mampu berkata-kata. Ustadzah Fatimah tersenyum dan menyuruhku berbaring di atas kasur. Dia mulai melepas pakaiannya satu per satu, perlahan-lahan, sampai hanya bra dan celana dalam yang tersisa.
“Kalau kamu ingin aku buka pakaian ini, kamu hanya perlu mengangguk,” katanya sambil tersenyum nakal.
Aku mengangguk dengan antusias dan dia membuka cup bra-nya, memperlihatkan dua bukit indah miliknya. Payudaranya masih kencang dan tidak kendur, berdiri tegak di dadanya. Aku tidak tahan lagi dan meraih payudaranya, meremas dan memijatnya dengan lembut.
Ustadzah Fatimah mendesah pelan dan membiarkanku menyentuh payudaranya sebebas yang aku mau. Aku terus meraba tubuhnya, dari payudaranya, perutnya, sampai ke vaginanya yang sudah basah. Bulu kemaluannya yang lebat membuatku sedikit kesulitan untuk menyentuh vaginanya, tetapi itu tidak menghalangi keinginanku.
Ustadzah Fatimah membantu menyingkap bulu hitamnya, memperlihatkan klitorisnya yang sensitif. Dia meminta aku untuk menggosok dan memijatnya, sementara tangannya terus meremas penisku yang sudah sangat tegang.
Tiba-tiba, dia bangun dan berlutut di hadapanku. Sebelum aku sadar apa yang terjadi, mulutnya sudah mengulum penisku. Aku menggeliat karena geli dan nikmat yang tak tertahankan.
“Oh, Ustadzah Fatimah…” desahku.
Aku belum pernah merasakan sensasi seperti ini sebelumnya. Aku merasa ingin ejakulasi, tetapi Ustadzah Fatimah seolah tahu apa yang harus dilakukan. Dia mengemut kepala penisku dengan bibirnya, membuat rasa ingin ejakulasi menghilang.
“Sekarang giliranmu, Rio,” katanya sambil berdiri dan berbaring di atas kasur. “Cium dan jilati vaginaku.”
Aku ragu-ragu karena belum pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya, tetapi akhirnya aku menurutinya. Aku menyingkap bulu hitamnya dan mulai menjilati klitorisnya yang sensitif. Aku melihat dia mengangkat-angkat tubuhnya saat lidahku menyentuh klitorisnya.
Aku terus menjilati klitoris dan bibir vaginanya, menikmati rasa dan baunya yang membuatku semakin terangsang. Aku membuka vaginanya dengan jariku dan melihat bagian dalamnya yang berwarna pink dan masih rapat.
“Masukkan jarimu, Rio,” desahnya. “Aku ingin merasakan sentuhanmu di dalam.”
Aku menurutinya dan memasukkan jariku ke dalam vaginanya. Aku merasakan kehangatan vaginanya dan menyadari bahwa Ustadzah Fatimah bukan perawan lagi, tetapi dia belum pernah melahirkan.
Ustadzah Fatimah mendorong tubuhku naik ke atas tubuhnya dan membawa penisku tepat di depan vaginanya. Penisku digesek-gesekkan ke vaginanya, membuatku semakin tidak tahan.
“Masukkan, Rio,” desahnya. “Aku ingin merasakan penismu di dalam.”
Aku ragu-ragu, tetapi Ustadzah Fatimah memegang punggungku dan mendorongku masuk. Penisku langsung masuk sampai habis, terasa ketat dan hangat. Secara spontan, aku mulai bergerak maju mundur dengan irama yang konstan.
Ustadzah Fatimah mendesah dan mengerang, menikmati setiap sentuhan penisku di dalam vaginanya. Dia mengajarkan berbagai posisi kepadaku: berbaring, duduk, doggy style, tengkurap, miring, di atas, dan di bawah. Setiap posisi memberikan sensasi yang berbeda dan semakin membuatku terangsang.
“Coba posisi ini, Rio,” katanya sambil merapatkan kakinya lurus.
Aku mengikuti instruksinya dan memasukkan penisku ke dalam vaginanya yang sudah sangat basah. Lubang vaginanya terasa sangat ketat dan penisku terasa tersepit. Aku bergerak maju mundur dengan irama yang konstan, menikmati setiap sensasi yang kulihat.
Ustadzah Fatimah mengerang dan mendesah, menikmati setiap sentuhan penisku. “Lagi… tekan lebih dalam… aah… aah sedikit lagi… hah… hah… hah aku hampir sampai…”
Aku terus bergerak, menikmati setiap erangan dan desahan Ustadzah Fatimah. Aku belum pernah melihatnya seperti ini sebelumnya, dan hal itu membuatku semakin terangsang.
“Sudah, Rio?” tanyanya setelah beberapa saat. “Kamu sudah ejakulasi?”
Aku menggeleng, masih belum siap untuk berhenti. Ustadzah Fatimah tersenyum dan berbaring miring, memegang penisku dan menempatkannya di depan lubang duburnya.
“Aku belum pernah membiarkan seseorang bermain dengan duburku, Rio,” katanya lembut. “Bahkan suamiku sendiri tidak pernah melakukannya. Tapi aku ingin kamu mencoba.”