Pemuas Para Ustadzah Kesepian - Bab 1
Namaku Rio, aku dibesarkan oleh kakek dan nenek sejak kecil, mungkin itulah sebabnya aku manja. Aku adalah satu-satunya cucu yang mereka asuh, meskipun mereka memiliki banyak cucu lainnya. Sejak kecil, sekitar usia lima atau enam tahun, aku sudah terbiasa dengan vagina wanita (karena nenekku adalah bidan paruh waktu) dan terkadang aku membantu nenekku saat bidan yang sebenarnya belum datang. Bahkan, aku bisa memotong pusar bayi hanya dengan menggunakan pisau bambu dan aku cukup ahli untuk melakukan sunat pada gadis-gadis (tapi tidak pada laki-laki). Aku tumbuh besar dalam keluarga kakekku yang terdiri dari empat orang, termasuk sepupuku Laras yang masih perawan. Jangan salah paham, aku tidak akan menceritakannya tentang Laras (dia baik-baik saja dan bahagia dengan keluarganya).
Ketika Laras dan sepupu lainnya mandi (biasanya di telaga), aku bertugas sebagai pengawal mereka. Seringkali aku melihat tubuh mereka saat handuk mereka basah, dan terkadang saat mereka berganti pakaian, mereka telanjang bulat (mereka menganggapku masih kecil) dan menunjukkan kulit putih mereka, kecuali vagina mereka yang berbulu. Laras saat itu masih sangat muda, sekitar lima belas atau enam belas tahun. Bulu vaginanya masih tipis, tetapi bibir vaginanya sangat tebal. Sedangkan sepupuku yang lain agak sederhana, meskipun tubuhnya mirip dengan Julia Robert.
Suatu hari, seperti biasa, aku menemani Laras dan adik-adiknya mandi. Mereka sudah beranjak besar, terutama Laras yang kini hampir berusia 11 tahun. Namun, hari itu Laras terburu-buru pulang karena nenekku marah tentang sesuatu, aku lupa apa masalahnya. Sebelum pergi, dia meminta Laras untuk memandikanku karena dia tidak punya waktu.
Kami berdua sendiri di dekat sumur, aku telanjang seperti biasa saat mandi, dan Laras menggunakan ember untuk menuangkan air ke tubuhku. Dia menggosok tubuhku dengan sabun, tapi kali ini ada perasaan yang berbeda. Mungkin karena aku semakin dewasa dan mulai menyadari tubuh Laras yang juga tumbuh menjadi gadis. Saat dia menyabuni bagian bawah tubuhku, penisku tidak sengaja tersentuh dan langsung ereksi. Aku merasa malu, mencoba menyembunyikan ereksiku dengan tangan.
Laras: “Rio, kenapa sih?”
Aku: “Eh, enggak apa-apa, mungkin sabunnya masuk ke mata.”
Laras: “Oh, iya, udah tutup mata aja.”
Aku hanya mengangguk, merasa malu karena penisku masih ereksi. Laras melanjutkan pekerjaannya, tapi kini aku lebih sadar akan kehadirannya. Saat dia selesai, dia melepas handuk yang melingkar di tubuhnya untuk berganti pakaian. Sebelum itu, dia jongkok dan buang air kecil. Aku terkejut saat melihat vaginanya terbuka dan air seni mengalir deras. Penisku yang sudah mulai mengecil kini kembali ereksi.
Laras: “Rio, kenapa lagi sih? Kok sekarang malah ereksi?”
Aku merasa sangat malu, tidak tahu harus berkata apa.
Laras: “Jangan-jangan kamu lihat aku tadi pas buang air kecil ya?”
Aku hanya mengangguk, tidak berani menatap wajahnya.
Laras: “Hei, jangan malu. Aku juga pernah lihat kamu pipis kok.”
Aku: “Tapi ini beda, Ras. Penisku ereksi karena lihat vaginamu tadi.”
Laras: “Oh, gitu ya? Penasaran deh rasanya gimana.”
Aku semakin malu, merasa tidak nyaman dengan pembicaraan ini.
Laras: “Tenang aja, Rio. Aku enggak marah kok. Malah senang ada yang tertarik sama tubuh aku.”
Aku: “Beneran, Ras?”
Laras: “Iya, beneran. Cuma jangan bilang siapa-siapa ya.”
Aku: “Iya, aku janji.”
Laras menghampiriku dan memegang penisku yang masih ereksi.
Laras: “Wah, gede juga ya.”
Aku hanya diam, merasa sensasi aneh saat dia memegang penisku. Laras terus memainkan penisku, dan tiba-tiba ada cairan yang muncrat dari ujungnya, mengenai wajah Laras.
Laras: “Wah, kamu keluar ya? Tenang aja, ini wajar kok. Namanya juga masih muda.”
Aku merasa sangat malu, takut Laras marah atau jijik.
Laras: “Jangan khawatir, Rio. Aku enggak apa-apa. Malah senang bisa lihat kamu keluar gini.”
Aku: “Tapi aku malu, Ras.”
Laras: “Enggak usah malu. Justru aku senang kamu percaya sama aku.”
Aku: “Terus, sekarang gimana?”
Laras: “Mulai hari ini, kamu enggak boleh mandi bareng lagi. Penismu sudah bereaksi sama cewek, jadi kamu harus mandi sendiri.”
Aku merasa sedih, tapi aku tahu Laras benar.
Laras: “Tapi, kalau kamu pengen lihat aku mandi, boleh aja. Asal kamu biarin aku main sama penismu.”
Aku terkejut dengan tawaran Laras, tapi aku terlalu penasaran untuk menolak. Aku hanya mengangguk, dan Laras tersenyum.
Laras: “Jangan bilang siapa-siapa ya. Ini rahasia kita berdua.”
Aku: “Iya, rahasia kita berdua.”
Aku mengakhiri kisah pengantar ini di sini, karena cerita yang sebenarnya akan dimulai dari sini. Aku ingin kalian tahu bahwa meskipun masih muda, penisku sudah bereaksi terhadap wanita dan mampu mengeluarkan mani, meskipun masih encer.