Pemuas Nafsu Keponakan - Chapter 03
Aku merasa lemah dan bingung saat Aldi mendekatiku. “Hentikan Aldi, ini tidak benar. Tante tidak bisa,” kataku mencoba menenangkan situasi, meskipun suaraku terdengar lemah.
“Kenapa Tante? Aku sudah sangat menginginkan ini. Tante juga mulai merasakannya, kan?” Aldi mendesah lirih sambil menempelkan wajahnya di leherku. Sentuhannya membuatku merinding, tetapi aku tahu ini salah.
“Jangan seperti ini. Kita akan menyesal nanti. Ini tidak boleh terjadi.” Suaraku bergetar, aku berusaha tetap tegar meskipun hatiku gelisah.
“Menyesal? Aku enggak bakal menyesal, Tante. Aku justru akan menikmatinya dan aku yakin Tante juga akan menikmatinya.” Aldi menyentuh lebih dalam, menciptakan gelombang panas di sekujur tubuhku. Aku merasa makin terpojok, air mata mulai menggenang di mataku.
“Tolong, Aldi. Tante mohon, hentikan ini sebelum terlambat.” Aku mengalihkan pandanganku, berusaha menjauh dari lengan Aldi yang semakin menguasai tubuhku.
“Tante, jangan munafik. Aku tahu Tante juga menginginkannya, tubuh Tante sudah berbicara banyak. Biarkan aku memuaskan hasrat kita berdua.” Aldi semakin mendekap erat, tidak memberikan ruang bagiku untuk menghindar.
“Tidak, Aldi. Ini tidak benar. Kita harus hentikan sekarang.” Aku mencoba menahan air mataku, namun perasaan takut dan bingung semakin menguasai diriku.
“Kalau Tante benar-benar tidak mau, kenapa tubuh Tante merespons begini? Aku bisa rasakan kehangatannya, keinginan yang sama.” Aldi semakin agresif, menciptakan ketegangan yang memuncak.
“Aku mohon, jangan teruskan.” Akhirnya, air mata mulai mengalir di pipiku, rasa takut dan bingung menguasai diriku. Aku merasa tak berdaya, terperangkap dalam situasi yang semakin tidak terkendali.
“Udah telanjur, Tante. Kita nikmati aja momen ini.” Aldi semakin mengerahkan tenaganya, membuatku tak berdaya untuk melawan. Aku hanya bisa berharap ada keajaiban yang menghentikan segala ini, tetapi di dalam hatiku, aku tahu bahwa situasi ini sudah terlalu jauh.
Tiba-tiba Aldi menghempaskanku ke kasur dengan kekuatannya. Aku terkejut dan ketakutan, tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tatapannya penuh nafsu, matanya berkilat seakan ingin menguasaiku sepenuhnya. Dengan cepat dan kasar, dia menyingkirkan atasan bajuku, membuat suara robekan yang mengerikan di tengah keheningan malam itu.
“Tante, payudara tante bikin Aldi gak tahan, tante,” bisiknya dengan nafas memburu, sambil menatap penuh nafsu pada tubuhku yang setengah telanjang. Tangannya bergerak dengan kasar, mencengkeram bahuku yang gemetar. Aku hanya bisa bergetar dan terisak, merasa semakin terpojok dalam situasi yang tidak kuinginkan. Tangisanku pecah, namun tidak ada yang mendengar, seolah dunia di sekitar kami telah berhenti bergerak.
“Aldi, jangan!” jeritku sambil berusaha menyingkirkan Aldi dengan kekuatanku. Tapi apa daya, tenaganya lebih besar untuk menahan tubuhku. Aldi dengan mudah menahan gerakanku, membuatku semakin putus asa. Aku berusaha meronta, tapi usahaku sia-sia. Tubuhnya yang lebih besar dan kuat membuatku sulit untuk melawan. Dalam keputusasaanku, aku hanya bisa berharap ada keajaiban yang bisa menyelamatkanku dari cengkeraman Aldi.
Dengan sedikit usaha, akhirnya Aldi pun dapat menyingkirkan bra yang kupakai, dan payudaraku pun terlihat jelas tanpa penghalang. “Tante, Aldi gak tahan, Tante,” dengan hasrat menggebu mulutnya pun menggerayangi payudaraku. pu-tingku dia jilat-jilat dan dihisapnya bagaikan anak bayi kelaparan. “Aldi, tolong Aldi jangan,” lirihku sambil berusaha menyingkirkan Aldi. Namun, kekuatannya terlalu besar, dan aku hanya bisa menangis dalam keputusasaan, berharap ada keajaiban yang menghentikan segala ini.
“Aldi, tolong hentikan. Aku mohon… jangan lakukan ini…” Isakanku semakin keras saat air mata membasahi wajahku. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa, hanya berharap kata-kataku bisa menyentuh hatinya. Namun, tatapan Aldi penuh dengan hasrat yang tak terkendali, matanya tak lepas memandangi tubuhku.
“Tante, tubuhmu begitu indah. Aku sudah lama menginginkannya, sangat lama. Setiap melihatmu, aku hanya bisa bayangkan bagaimana rasanya memilikimu,” suaranya terdengar serak, dipenuhi nafsu yang mengerikan. Aku merasa semakin terjebak dalam situasi yang menakutkan ini.
“Aku tidak bisa, Aldi. Ini salah, sangat salah. Kita tidak boleh melanjutkan ini,” suaraku bergetar, penuh dengan ketakutan. Aku berharap dia bisa mengerti, bisa berhenti. Tapi tubuhku sendiri mulai lemah, energiku terkuras dalam usaha untuk melawan.
“Kenapa, Tante? Aku yakin Tante juga merasakannya. Lihatlah bagaimana tubuhmu meresponsku. Aku tidak bisa menahan nafsu ini. Tante sangat menggairahkan,” desahnya semakin mendalam, tangannya mulai meraba lebih dalam tubuhku. Aku merasa jijik, namun tubuhku tidak bisa bergerak.
“Tolong, Aldi. Jangan lakukan ini. Kita akan menyesal seumur hidup,” suaraku makin lemah, hampir tidak terdengar. Ketakutan dan keputusasaan memenuhi hatiku, membuatku merasa semakin tak berdaya.
“Aku tidak akan menyesal, Tante. Setiap detik aku menginginkan ini. Tubuhmu… kehangatanmu… semua membuatku tergila-gila,” jawabnya dengan agresif, seolah tidak lagi memiliki kendali atas dirinya sendiri. Aku merasa seperti mainan di tangannya, tidak bisa melarikan diri dari cengkeramannya.
“Aldi, aku mohon. Lepaskan aku… tolong,” air mataku terus mengalir, setiap kata dipenuhi dengan harapan yang semakin tipis. Tapi, Aldi semakin agresif, suaranya semakin rendah dan bergairah, tangannya tak henti menjelajahi tubuhku. Aku merasa seperti berada dalam mimpi buruk yang tidak pernah berakhir, dan tidak ada satu pun yang bisa menyelamatkanku.
Dalam hati aku berteriak, “Ya Allah, bagaimana ini? Suamiku, maafkan istrimu yang tidak berdaya ini.” Tubuhku sudah tidak mampu bergerak melawan kekuatan Aldi yang semakin menggila. Perasaanku campur aduk antara ketakutan, penyesalan, dan ketidakberdayaan. Dalam keterpurukanku, aku hanya bisa berharap ada keajaiban yang bisa menghentikan semua ini dan mengembalikan ketenangan dalam hidupku.
Tangannya yang kasar dan penuh nafsu bergerak cepat, membuka celananya untuk mengeluarkan juniornya yang sedari tadi mengeras. Aku bisa mendengar desah pelannya ketika junior itu akhirnya bebas, berdiri tegak penuh keinginan. Dengan penuh hasrat, dia mulai menggesek-gesekkan juniornya di selangkanganku, menciptakan sensasi hangat dan geli yang sangat intens. Aku hanya bisa menggigil dan menangis, merasa tubuhku semakin tertawan dalam gairah yang tidak kuinginkan. Tangis dan permohonanku sudah tidak lagi terdengar, seolah hilang dalam gelombang nafsu yang menguasai Aldi sepenuhnya.
Tiba-tiba, terdengar suara klakson mobil di luar rumah, “tin tinnn tin tinn”. Aldi segera menghentikan aksinya, terkejut mendengar suara yang menginterupsi momen tersebut. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menutupi diriku dengan selimut, masih terisak dan gemetar.
“Sial, itu memang ibu,” kata Aldi setengah berbisik, sambil cepat-cepat merapikan kembali pakaiannya. Aku merasa sedikit lega, meski tubuhku masih gemetar. Suara ketukan di pintu semakin memecahkan keheningan. “Aldi, kamu di rumah? Bukain pintu, Nak!” Suara Maya terdengar jelas dan tegas dari balik pintu.
Dengan rasa panik, Aldi menatapku sekali lagi sebelum bergegas menuju pintu. Dia mencoba membuat dirinya terlihat tenang dan biasa saja, meski aku tahu jantungnya pasti berdegup kencang. Aku hanya bisa berharap momen ini benar-benar berakhir dan aku bisa kembali menemukan ketenangan dalam hidupku.
Dengan cepat, aku menutup dan mengunci pintu kamar, berusaha menenangkan diri dari trauma yang baru saja ku alami. Tangisku belum reda dan aku meringkuk di atas kasur. Dalam kepasrahanku, tubuhku masih menggigil ketakutan, merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulang. Setiap kali mengingat apa yang hampir menimpaku, tubuhku bergetar hebat, seolah mencoba mengeluarkan sisa-sisa kecemasan yang masih tertinggal.