Pemuas Nafsu Keponakan - Chapter 02
Aku membuka pintu dan masuk dengan langkah pelan. Wajahnya tampak tegang, dan aku duduk di kursi dekat tempat tidurnya. “Kita perlu bicara,” kataku dengan suara yang hampir berbisik.
“Tentang apa, Tante?” tanyanya meskipun ia sudah tahu jawabannya.
Aku menarik napas panjang sebelum berbicara. “Tentang kejadian semalam. Tante ingin kamu tahu bahwa Tante tidak marah. Itu hanya kecelakaan,” kataku, suaraku bergetar sedikit di akhir kalimat.
“Maaf, Tante. Aku benar-benar tidak sengaja,” ucapnya dengan nada penuh penyesalan, matanya menatap lantai.
“Tante tahu, Aldi. Tapi…” aku terdiam sejenak, mencari kata-kata yang tepat. “Tante juga minta maaf kalau itu membuat kamu tidak nyaman,” lanjutku, mencoba tetap tenang meskipun jantungku berdebar kencang.
Ada jeda panjang yang penuh dengan keheningan yang canggung. “Aku akan berusaha melupakan kejadian itu,” katanya pelan, meskipun dalam hatinya ia tahu bahwa itu tidak akan mudah.
Aku mengangguk perlahan, mencoba tersenyum meskipun senyumnya tampak dipaksakan. “Bagus. Kita harus tetap seperti biasa. Jangan biarkan ini mengganggu hubungan kita,” jawabku, tetapi kata-kataku terdengar kurang meyakinkan, bahkan bagi diriku sendiri.
Setelah keluar dari kamar Aldi, aku merasa sedikit lega tetapi tetap khawatir. “Semoga ini tidak mengubah apa pun antara aku dan Aldi,” pikirku, berharap hubungan kami tetap seperti biasa.
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏🖊️
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku bisa mendengar setiap detak jantungku dan setiap suara kecil di sekitar rumah kakakku. Angin berhembus lembut melalui celah jendela, membuat tirai bergetar pelan. Aku duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan pikiranku yang penuh dengan kekhawatiran dan rasa bersalah. Hari itu terasa begitu panjang, dengan setiap detik seolah merayap lambat.
Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk mencuci muka, berharap air dingin bisa menyegarkan pikiranku yang penat. Setelahnya, aku memutuskan untuk berkeliling rumah sebentar, mencoba mengalihkan pikiran. Ketika melewati kamar Aldi, langkahku tiba-tiba terhenti. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku mendengar suara-suara samar, suara desahan yang membuat dadaku berdebar.
Rasa penasaran dan kecemasan membawaku lebih dekat ke pintu kamar Aldi. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban tak terlihat yang menahan kakiku. Aku merasa seperti berada di ambang sebuah jurang, tidak tahu apakah aku harus melangkah maju atau mundur. Suara desahan itu semakin jelas, dan tiba-tiba namaku disebut dengan penuh hasrat, “Ahhh… Tantee… Rina…”. Tubuhku membeku, dan dunia seolah berhenti berputar.
Aku berusaha untuk tidak membuat suara, tetapi perasaanku campur aduk. Aku tahu bahwa mendengarkan lebih lama hanya akan memperburuk keadaan, namun aku tidak bisa menggerakkan kakiku untuk pergi. Akhirnya, dengan hati-hati, aku melangkah mundur dan kembali ke kamarku, berusaha mengabaikan apa yang baru saja kudengar.
Di kamarku, aku berbaring dengan pikiran yang berkecamuk. “Kenapa Aldi meracaukan namaku?” pikirku, hatiku dipenuhi kebingungan dan penasaran. Aku mencoba membayangkan apa yang mungkin dilakukan Aldi hingga menyebut namaku dengan begitu intens. Pikiranku berkelana ke berbagai kemungkinan, tetapi setiap bayangan hanya membuatku semakin bingung dan gelisah. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara kita?” tanyaku dalam hati, merasa campur aduk antara rasa malu dan keingintahuan.
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏🖊️
Hari-hari berlalu dengan Aldi yang semakin sulit mengendalikan hasratnya. Setiap kali dia melihat lekukan tubuhku, perasaannya bergejolak. Aku bisa merasakan perubahan itu; tatapan Aldi yang semakin intens membuatku salah tingkah dan kikuk.
Suatu hari, saat aku sedang di dapur, aku memanggil Aldi. “Aldi, bisa tolong ambilkan panci di atas rak sana?” tanyaku, berusaha tetap tenang.
Aldi berjalan mendekat dan menatapku dengan pandangan yang begitu dalam. Tanganku gemetar, panci itu hampir terlepas dari genggamanku. “Maaf, Tante,” kata Aldi cepat-cepat, tetapi tatapannya tetap penuh dengan hasrat yang tak bisa disembunyikan.
“Tak apa, Aldi. Terima kasih,” jawabku sambil mencoba tersenyum, meskipun hatiku berdebar-debar. Aku merasa canggung dan bingung.
Malam itu, aku duduk di tempat tidur, memikirkan apa yang harus kulakukan. Tatapan Aldi tadi siang terus terbayang di pikiranku. “Kenapa ini harus terjadi?” pikirku, merasa gelisah dan bingung.
Ketika aku sedang lewat di depan kamar Aldi, aku mendengar suara yang sangat dikenalnya. Aldi kembali meracaukan namaku dalam desahan yang penuh gairah. “Ahh, Tante,” suara itu terdengar jelas dari balik pintu.
Aku terdiam di depan pintu, tidak tahu harus bagaimana. Perasaanku campur aduk antara rasa malu, bingung, dan marah. Dengan hati yang berat, aku kembali ke kamarku, merasa tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini.
Di dalam kamar, aku duduk menghadap kaca, melihat bayangan diriku yang berkerudung. “Kenapa ini terjadi?” pikirku. Aku merasa jijik, bukan hanya pada apa yang Aldi lakukan, tetapi juga pada perasaan aneh yang muncul dalam diriku.
Saat aku berbaring di tempat tidur, pikiranku tidak bisa berhenti berputar. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?” tanyaku dalam hati, merasa campur aduk antara rasa malu, marah, dan bingung. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Ini tidak benar,” gumamku, merasa cemas dan tak berdaya. Aku tahu bahwa aku harus berbicara dengan Aldi tentang hal ini, tetapi keberanian untuk melakukannya tampak menguap setiap kali aku memikirkannya.
Tetapi pada saat yang sama, aku tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang terus muncul setiap kali aku mengingat tatapan Aldi. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara kami?” tanyaku lagi dalam hati, merasa campur aduk antara rasa malu, marah, dan bingung.
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏🖊️
Pada hari itu, hanya Aldi dan aku yang berada di rumah karena Maya sedang tidak ada. Saat aku sedang makan siang, Aldi mendekatiku. “Tante Rina, bolehkah aku membantu?” tanyanya dengan suara tenang.
Aku tersenyum padanya. “Ah, tidak perlu, Aldi. Terima kasih.”
Aku berbalik untuk mengambil sesuatu dari lemari. Sambil mengatur piring, aku mendengar suara kecil di belakangku, namun tidak terlalu memikirkannya. “Apa kamu butuh sesuatu, Aldi?” tanyaku sambil menoleh.
“Eh, tidak, Tante. Aku hanya mengambil air,” jawabnya sedikit canggung.
Aku kembali duduk di meja dan melanjutkan makan siang tanpa curiga. Aldi berdiri di sudut ruangan, sibuk dengan sesuatu, namun aku sedikit heran mengapa dia terus menatap gelas di depanku.
Setelah makan siang, aku bergabung dengan Aldi di ruang keluarga untuk menonton TV. Perlahan, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhku. “Duh, kenapa ya?” gumamku dalam hati, mencoba memahami perubahan yang aku rasakan. Tubuhku terasa lebih sensitif dan gairahku mulai meningkat.
Aku melihat Aldi yang begitu jeli mengamati setiap perubahan kecil pada diriku. Dia tampak sadar betul saat aku mulai merasa tidak nyaman.
Aldi kemudian mendekatiku dan mulai mengajakku berbincang sambil menyentuhku dengan lembut. “Tante, kelihatan lelah. Mungkin perlu istirahat?” tanyanya sambil meraba pundakku dengan lembut.
Sentuhannya membuatku semakin gelisah. “Aldi, tolong jangan begitu. Tante merasa tidak nyaman,” ujarku mencoba menolak dengan halus.
Aku akhirnya beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar tidurku, berharap bisa menemukan ketenangan. Namun, Aldi mengikutiku. Saat aku sampai di kamar, dia memelukku dari belakang. “Tante Rina… Aldi ingin,” desahnya dengan suara rendah penuh hasrat.
Bagaikan petir menyambar, aku tersentak mendengar desahannya. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. “Aldi, tolong jangan seperti ini,” bisikku dengan suara gemetar, berusaha melepas cengkeramannya dari tubuhku. Namun, kekuatannya jauh lebih besar, dan postur tubuhnya yang tegap membuatku sulit melepaskan diri.
Aku merasa tubuhku semakin terpojok saat tangan Aldi mulai menggerayangi pundak, lengan, dan punggungku dengan penuh nafsu. Rasa takut dan kebingungan semakin menguasai diriku, namun aku tidak bisa memarahi atau menolak Aldi dengan keras. “Aldi, tolong… Tante nggak nyaman,” kataku lagi, berusaha menahan tangis yang semakin besar.
Aldi tidak mendengarkan permohonanku. Hasratnya yang sudah menggebu membuatnya semakin tidak terkendali. Dia semakin erat memelukku, seolah berusaha memastikan bahwa aku tidak akan kemana-mana. Tangannya mulai meremas-remas payudarakuku dengan penuh gairah, sementara napasnya semakin panas dan cepat. penisnya yang mengeras pun menekan-nekan pada bokongku, menciptakan sensasi yang tidak bisa diabaikan. Aku merasa bingung dan terperangkap dalam situasi yang menyesakkan, tidak tahu harus berbuat apa.