Pemuas Nafsu Keponakan - Chapter 01
Hari ini aku baru saja tiba di rumah Maya setelah perjalanan panjang. Aku mengenakan gamis panjang berwarna pastel, dan berusaha merasa nyaman di tempat baru ini. Suamiku bekerja di kapal pesiar, jadi aku memutuskan untuk tinggal sementara dengan keluargaku.
Kakakku, Maya, adalah seorang single parent berusia 39 tahun, sembilan tahun lebih tua dariku. Sejak bercerai dua tahun lalu, dia harus merawat anaknya seorang diri. Meskipun menjalani hidup yang tidak mudah, Maya selalu menunjukkan ketangguhan dan kemandirian yang mengagumkan.
“Oh, Aldi! Sini sayang, ada yang ingin Ibu kenalkan,” Maya dengan senyum cerah ketika seorang remaja lelaki memasuki rumah.
Aldi mengangkat bahu dan berjalan mendekat dengan tatapan penasaran. “Ada apa, Bu?”
“Ini Tante Rina, adik Ibu. Suaminya bekerja di kapal pesiar, jadi sekarang dia akan tinggal bersama kita untuk sementara waktu,” jelas Maya.
Aku menoleh dan tersenyum. “Hai, Aldi. Kamu sudah besar sekarang. Terakhir kali kita bertemu, kamu masih berusia lima tahun.” Kini, Aldi adalah remaja 17 tahun dengan penampilan khas. Tingginya sekitar 170 cm, sedikit lebih tinggi dariku yang 165 cm. Tubuhnya tidak atletis, namun berisi..
Aldi mengangguk, berusaha mengingatku. “Selamat datang, Tante Rina,” katanya sambil mencoba tersenyum. “Aku ke kamar dulu, Bu,” lanjutnya sebelum bergegas menuju kamarnya.
Aku menatap Maya dan tersenyum. “Dia tampak lelah ya? Bagaimana di sekolah?”
Maya mengangguk. “Hari ini ada ujian matematika. Aldi memang sering merasa tertekan dengan pelajaran itu.”
Aku menghela napas. “Semoga dia bisa lebih santai setelah ini.”
Aku menatap Maya dan memberanikan diri untuk mulai pembicaraan yang lebih serius. “Ka, aku tidak berencana tinggal lama di sini. Hanya sampai aku menemukan tempat yang cocok,” kataku dengan hati-hati.
Maya memelukku erat dan tersenyum lembut. “Rina, jangan khawatir. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu butuhkan. Sebenarnya, aku lebih senang jika kamu tinggal sampai suamimu, selesai kontrak 5 tahun di kapal pesiar. Aku dan Aldi hanya berdua di rumah ini, dan kehadiranmu sangat berarti buat kami.”
Aku terkejut dengan tawarannya. “Tapi, Ka… 5 tahun itu waktu yang lama. Aku tidak ingin merepotkanmu terlalu lama.”
Maya menggelengkan kepalanya dan menatapku dengan penuh kasih. “Kamu tidak merepotkan, Rina. Justru aku merasa lebih baik ada kamu di sini. Rumah ini terlalu besar untuk kami berdua saja. Dan Aldi juga akan merasa lebih baik dengan adanya kamu. Lagi pula, aku kadang harus keluar kota dan meninggalkan Aldi sendirian di rumah.”
Aku tersentuh oleh kata-katanya dan merasa beban di pundakku mulai berkurang. “Terima kasih, Ka Maya. Kamu benar-benar kakak yang luar biasa. Aku akan memikirkan tawaranmu.”
Maya tersenyum lebar. “Tidak perlu dipikirkan lagi. Kamu bagian dari keluarga ini, dan rumah ini selalu terbuka untukmu.”
Kamipun berbincang hingga sore hari, mengenang masa kecil, menceritakan pengalaman dan berita terbaru. Tawa dan candaan yang kunikmati bersama Maya menghangatkan hati. Rasanya seperti menghidupkan kembali kenangan manis yang sudah lama terkubur oleh kesibukan masing-masing.
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏🖊️
Malam itu, setelah beraktivitas seharian, aku memutuskan untuk mandi. Aku berjalan menuju kamar mandi di ujung koridor. Tanpa berpikir untuk mengunci pintu, aku mulai mengeringkan rambut setelah mandi. Tiba-tiba, pintu terbuka keras.
“Astaga!” seruku, terkejut melihat Aldi berdiri di sana, membeku di tempatnya. Matanya tak bisa lepas dari tubuhku yang tanpa sehelai benang pun.
“Aldi!” jeritku panik, berusaha menutupi tubuhku dengan handuk.
Aldi segera menutup pintu dengan keras. “Maaf, Tante! Aku tidak tahu kalau ada orang di dalam,” teriaknya dari balik pintu.
Aku berdiri di sana, jantungku berdegup kencang. “Kenapa pintunya tidak aku kunci tadi? Ya Allah, semoga Aldi tidak berpikir macam-macam,” pikirku dengan rasa cemas yang tak bisa disembunyikan. Cepat-cepat aku mengenakan handuk dan keluar dari kamar mandi, merasa malu dan khawatir.
Saat aku kembali ke kamarku, pikiran tentang kejadian tadi membuatku gelisah. “Kenapa ini harus terjadi?” bisikku pada diri sendiri sambil berbaring di tempat tidur. “Aku tidak boleh memikirkannya, ini salah,” lanjutku mencoba menenangkan diri.
Namun, bayangan tubuh Aldi yang terkejut dan tatapan tak sengajanya terus muncul di benakku. “Ya Allah, beri aku kekuatan,” doaku dalam hati, berharap kejadian ini tidak berdampak buruk pada Aldi. Aku berusaha memejamkan mata, tetapi rasa cemas dan malu terus menggangguku.
Ketika akhirnya aku terlelap, tidurnya tak nyenyak. Bayangan kejadian di kamar mandi terus menghantuiku, membuatku sering terbangun. “Aku harus bicara dengan Aldi besok,” pikirku dalam hati, berharap bisa menjelaskan semuanya dan menghapus rasa canggung di antara kami.
﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏﹏🖊️
Keesokan paginya, aku duduk di meja makan, mencoba menenangkan diri dengan secangkir teh hangat. Ada ketegangan yang menggantung di udara sejak kejadian tadi malam. Aku tahu aku harus berbicara dengan Aldi, tapi bagaimana caranya?
“Selamat pagi, Tante,” suara Aldi terdengar pelan saat ia duduk di kursi berhadapan denganku.
“Selamat pagi, Aldi. Tidur nyenyak?” tanyaku dengan suara lembut, berusaha memecahkan kebekuan di antara kami.
“Ya, lumayan,” jawabnya singkat. Aku bisa melihat dari matanya bahwa dia juga tidak tidur nyenyak.
“Rin, tehmu masih hangat?” tanya Maya dari dapur sambil menyiapkan cangkir teh tambahan.
“Masih, terima kasih,” jawabku singkat, mencoba tetap tenang.
“Ayo makan, nanti keburu dingin,” seru Maya sambil meletakkan cangkir teh di meja.
Aldi mengambil roti bakar di depannya, tetapi ia hanya menggigitnya sedikit. “Aku harus pergi sekarang, Bu. Ada tugas yang belum selesai di sekolah,” katanya buru-buru, berusaha menghindari situasi yang tidak nyaman.
“Baiklah, hati-hati di jalan,” jawab Maya sambil tersenyum.
Setelah Aldi pergi, aku menghela napas panjang. “Ya Allah, beri aku kekuatan,” gumamku dalam hati. Aku tahu aku harus bicara dengan Aldi saat dia pulang nanti.
Hari itu terasa panjang. Aku mencoba sibuk dengan berbagai hal di rumah, tetapi pikiranku terus kembali ke kejadian malam itu. Bagaimana cara bicara dengan Aldi? Bagaimana agar hubungan kami kembali normal?
Ketika Aldi kembali dari sekolah, aku mendengar langkah kakinya menuju kamarnya. “Ini saatnya,” pikirku. Aku berjalan pelan menuju kamarnya, hatiku berdebar kencang. Dengan suara cemas, aku mengetuk pintu kamarnya. “Aldi, boleh Tante masuk?”
“Ya, Tante. Masuk saja,” jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar.