Pemuas Nafsu Istri Bosku - Bab 03
“Silakan masuk dulu, Dra. Nanti aku ajak kamu lihat-lihat rumah ya,” ajak Pak Randi dengan senyum yang terasa misterius dan menggoda, matanya menatap intens ke arah Endra.
Endra pun terpaku, hatinya berdebar kencang. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, namun ia tak bisa menolak ajakan Bosnya itu. Rasa penasaran dan sedikit takut bercampur aduk di dalam dada. Ia pun melangkah masuk, memasuki dunia baru yang penuh dengan misteri dan godaan yang belum diketahui, tubuhnya terasa bergetar karena antisipasi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ada rasa tertarik yang kuat yang menguasai dirinya.
******
“Ayo masuk Dra, jangan malu-malu ya Dra, buat saja rumah ini seperti rumah Dra sendiri,” ucap Pak Randi, bosku, sembari tersenyum ramah.
“Bagus sekali dekorasi rumahnya, Pak,” pujiku, mengagumi keindahan interior rumah mewah bosku yang terasa begitu lembut dan menenangkan.
“Terima kasih, Dra. Dekorasi ini ide istriku. Silakan duduk dulu ya, Dra. Aku mau ganti baju sebentar,” kata Pak Randi, mempersilakan aku duduk di sofa empuk di ruang tamu.
Pak Randi kemudian menuju ke arah lift, meninggalkanku duduk sendirian. Sambil menunggu, aku pun asyik memainkan game di ponsel android murahku.
Waktu terasa berlalu begitu lambat. Aku mulai merasa tidak nyaman. Sudah hampir satu jam aku menunggu sendirian. Apakah Pak Randi tertidur? Atau… apa yang sedang dia lakukan di atas? Jangan-jangan dia sedang… merias diri menjadi wanita? Aduhai, kalau sampai begitu, bisa-bisa aku mati kutu!
Tiba-tiba, bunyi ting! dari lift memecah keheningan.
Degup jantungku berdebar kencang. Seolah membaca pikiranku, Pak Randi muncul bersama seorang wanita cantik yang membuatku tertegun seketika.
“Maaf, Dra, karena meninggalkanmu sendirian. Eh, Dra, ini istriku, Jihany.”
Aku langsung berdiri saat istri bosku mengulurkan tangan untuk bersalaman.
“Panggil aku Jihan saja,” ujarnya dengan suara lembut, tangannya terasa halus saat bersentuhan dengan tanganku.
Jihan… sungguh cantik. Kulitnya putih mulus, rambut hitamnya dihiasi dengan sentuhan warna merah yang mempesona. Wajahnya terlihat tegas, namun senyumnya mampu meluluhkan hati. Lesung pipitnya menambah daya tarik wajahnya yang ayu, namun tetap terpancar aura kuat dan tegas. Ah, memang benar, istri para bos biasanya begitu. Tegas, anggun, dan tak mudah ditaklukkan.
Beda banget sama cewek-cewek TikTok zaman sekarang yang suka banget pamer dan sok kaya, padahal nggak ada usaha sendiri.
Tubuhnya tinggi semampai, sekitar 167 cm. Pinggulnya membulat sempurna, pantatnya indah dan montok. Dadanya… cukup berisi, kurasa sekitar 36C. Ah, aku hanya menebak saja sih.
Setelah makan siang, kami diajak Pak Randi dan Jihan untuk bersantai di tepi kolam renang sambil berbincang dan menghisap rokok.
Aku memperhatikan Jihan, ternyata dia perokok berat. Rokok demi rokok dihisapnya silih berganti.
Jihan bekerja sebagai manajer proyek di sebuah perusahaan teknik mekanikal dan elektrikal.
Selama berbincang, aku merasakan tatapan Jihan yang intens. Rasanya seperti ada magnet yang menarikku padanya. Dia cantik, dan… aku mulai merasa gelisah.
“Aduh, jangan-jangan aku jatuh cinta nih sama Jihan,” gumamku dalam hati. “Jangan kasih harapan, Jihan. Aku ini orang kampung yang sederhana, mana mungkin bisa mendapatkan wanita secantik dan seanggun kamu.”
“Dra, mau nonton film nggak?” tanya Jihan, suaranya terdengar menggoda.
Tiba-tiba, tanganku terasa hangat. Jihan memegang pahanya, tepat di bagian atas. Pak Randi melihatnya, namun dia hanya tersenyum santai.
“Kalau aku yang diposisinya Pak Randi, pasti sudah…,” batinku. Jihan cantik, seksi, dan menggoda. Namun, aku perhatikan, payudaranya terlihat agak kendur. Untungnya, dia pakai baju yang cukup tebal, sehingga putingnya tidak terlihat.
“Ayo,” ajak Jihan, lalu menggenggam tanganku di depan Pak Randi. Astaga, aku jadi takut kena marah Pak Randi.
Saat kami hendak masuk ke dalam, ponsel Pak Randi berdering.
“Eh, kalian lanjut saja dulu. Aku mau jawab telepon dulu,” ujar Pak Randi.
“Yuk, Dra, kita ke ruang keluarga, nonton TV,” ajak Jihan.
“Sayang?” Apakah aku salah dengar? Dia memanggilku sayang di depan Pak Randi? Aku melirik Pak Randi, dia hanya mengedipkan mata dengan senyum jahil.
“Wah, ini kesempatan emas,” batinku.