Pemuas Nafsu Istri Bosku - Bab 01
Apa yang ingin kuceritakan ini adalah kisah nyata yang pernah kualami beberapa waktu silam. Demi menjaga nama baik pihak-pihak yang terkait, terpaksa kubah semua nama dan tempat.
Namaku Virendra, biasa dipanggil Endra atau Dra saja. Usiaku saat itu sekitar pertengahan dua puluhan. Setelah menyelesaikan studi di sebuah universitas di luar negri, aku kembali ke tanah air untuk mencari pekerjaan.
Singkat cerita, aku diterima di sebuah perusahaan investasi di ibu kota. Di sana, aku bekerja dalam satu tim yang dipimpin oleh seorang manajer proyek, Pak Randi. Beliau pria yang berusia awal tiga puluhan. Awalnya, aku mengira Pak Randi adalah seorang gay, karena gayanya yang begitu lembut dan anggun, bak seorang putri.
Tak ada aura maskulin yang terpancar darinya. Cara berjalan, bicara, dan segala gesturnya terasa begitu feminin. Sepanjang aku bekerja di bawah bimbingannya, tak sekalipun ia mencoba menggoda atau melancarkan rayuan, dan lama kelamaan aku merasa nyaman. Berbeda dengan rasa was-was yang melanda saat pertama kali aku bekerja di sana.
Aku, jujur saja, bisa dibilang pria yang rupawan, hihihi. Jadi, pada suatu Jumat, seperti biasa, sebagai anak muda lajang, setelah pulang kerja, aku mampir ke kafe di bawah gedung kantorku. Pulang lebih awal pun percuma, toh tidak ada istri yang menungguku di rumah.
Saat asyik bermain ponsel, tiba-tiba aku disapa oleh Pak Randi.
“Dra, sendirian saja?”
“Iya, Pak,” jawabku singkat.
“Bolehkah aku bergabung, Dra?” tanya Pak Randi dengan nada lembut.
“Tentu saja, Pak. Silakan,” kataku. Hatiku berdebar tak karuan, tiba-tiba bosku mengajak ngopi bareng.
“Terima kasih, Dra. Kenapa kamu selalu sendirian, Dra? Mana teman-teman yang lain?”
“Ah, Pak, saya kan sendirian. Siapa sih yang mau nongkrong sama saya? Saya kan orang baru, belum punya teman dekat, hihihi,” jawabku sambil memaksakan senyum.
“Kamu belum punya pacar, Dra?”
Ah, sudah mulai menyinggung hal yang pribadi, batinku.
“Belum ada yang serius, Pak. Masih sebatas teman-teman biasa saja, hihihi,” jawabku sembari menyesap rokok Dunhill merahku.
“Mau, Pak? Rokok saya,” tawarku sambil menyodorkan bungkusan rokokku.
“Oh, Dra, aku tidak merokok merek itu. Aku merokok Salem,” kata Pak Randi sembari mengeluarkan rokok dari saku kemeja bermerek mahalnya.
Pergh, Salem! Benar-benar gayanya, batinku saat itu, hihihi.
Aku mengamati Pak Randi menghisap rokok dengan gestur yang lembut dan anggun itu.
“Pak, tidak pulang?” tanyaku.
“Sebentar lagi, Dra. Tadi melihat kamu sendirian, jadi aku ingin menemanimu,” jawab Pak Randi dengan nada halus.
“Rumah Pak di mana, Pak?” tanyaku penasaran.
“Rumahku di Sumbang Jaya, Dra.”
“Oh, jauh juga ya,” kataku.
“Sudah biasa bolak-balik, Dra, jadi sudah tidak terasa jauh lagi,” jawabnya santai.
“Ohhh, oke, Pak. Pak sudah menikah, Pak?”
“Oh, tentu saja, aku sudah menikah,” jawab Pak Randi.
Ternyata si gay juga punya istri, pikirku. Ya, siapa sih yang tidak mau dengan pria berpangkat, gaji besar, dan mobil Jerman? Tentu banyak wanita yang antri, kan?
“Wah, Bos sudah menikah? Saya kira…” Endra berucap, takjub mendengar kabar bahwa En Randi, atasannya yang berpenampilan lembut dan selalu tampak ramah, ternyata sudah membina rumah tangga.
“You ingat saya ini banci ya Dra? Dra, walaupun saya begini, tapi saya tidak suka dengan lelaki. Saya ini lelaki normal yang terlahir lembut saja Dra, hihihi,” En Randi menyela, nada bicaranya terdengar ringan, namun ada sedikit nada yang menyindir.
Endra langsung merasa bersalah, wajahnya memerah. “Oh, maafkan saya Bos. Saya sangka begitulah. Maafkan saya ya Bos.”
“Ah, tidak apa-apa Dra. Banyak yang berpikiran seperti itu,” balas En Randi dengan senyum tipis yang menampakan lesung pipitnya, membuat Endra salah tingkah.
“Sudah lama ya, Bos menikah, Bos?” Endra melanjutkan obrolan, berusaha mencairkan suasana.
“Sudah lima tahun masuk tahun ini,” jawab En Randi, sembari mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusannya dan menyalakannya dengan korek api yang ia ambil dari saku celananya.
“Oh, lama juga ya. Pasti istri Bos cantik sekali, kan?” Endra berusaha memancing obrolan, tatapannya tak lepas dari wajah En Randi yang tampak sedikit sembap karena asap rokok.
“Mestilah cantik, kalau tidak cantik tidak sudi aku menikahinya Dra, hihihi!” En Randi tertawa kecil, suaranya terdengar sedikit serak. Nafasnya yang berhembus keluar bersamakan asap rokoknya membuat Endra terkesima. Ada aura misterius yang terpancar dari bosnya itu, yang membuatnya semakin penasaran.
“Sudah berapa orang anak sudah Bos?” tanya Endra lagi, rasa penasarannya tak kunjung padam.
En Randi terdiam sejenak, tatapannya mengarah ke suatu titik di kejauhan, entah apa yang dipikirkannya. Asap rokoknya mengepul, seolah mewakili kerumitan pikiran yang ada di benaknya.
“Aku belum ada rezeki lagi untuk memiliki anak, Dra,” jawab En Randi, suaranya terdengar berat.