Para Akhwat Yang Ternoda - Bab 09
Bibir kami bertaut untuk pertama kalinya. Yuna memeluk leharku erat-erat saat kami saling berciuman dengan penuh nafsu. Tak lama, lidah kami mulai bermain sendiri. Napas kami bertemu, air liur dan cairan Yuna bercampur dalam mulut kami berdua. Dan erangan kami perlahan dilepaskan ke dalam mulut masing-masing.
“Ummph… Sha… Alisha…” erang Yuna. “Ummphh… Yuna… Ahhh…” balasku di sela ciuman dan pelukan.
Tangan Yuna turun ke pantatku dan diremasnya dengan kuat. Aku tahu dia sudah lama menginginkan pantat montok besarku. Aku tersenyum di tengah ciuman sebelum menyambutnya dengan lebih bernafsu.
Yuna melepaskan ciumannya sebelum tersenyum padaku. Hidung kami bersentuhan. “Umphh… Alisha… Aku nggak tahu kalau kamu juga suka cewek…” bisiknya penuh nafsu.
“Ummphh… Kamu cuma yang kedua, Yuna… Nggak banyak yang bisa ngerusak imanku…” godaku. Yuna tertawa kecil sebelum bibirku diciumnya lagi. Tangan Yuna yang satu lagi turun ke pahaku, sebelum mencapai vaginaku. Aku mengerang di tengah ciuman dengan penuh nafsu sebelum tangan Yuna masuk ke dalam celana dan celana dalamku.
Jari-jarinya mulai bermain di celah bibir vaginaku yang memang sudah sangat merindu itu, dan juga bermain di klitorisku. Kami terus bercumbu sambil eranganku menjadi semakin kuat di dalam mulutnya. Giliranku untuk meliuk dengan penuh nafsu.
Lidah kami terus bertaut, saat aku terus meremas buah dada Yuna. Erangan dan suara basah lidah kami memenuhi kamar kami. Aku menjadi semakin tak tahan. Aku sangat menginginkan Yuna.
Aku menarik wajahku sebelum mendorong diriku untuk berdiri. Aku menurunkan celana dan celana dalamku sebelum melemparkannya ke samping. Yuna melihat tubuh telanjangku untuk pertama kalinya sambil tersenyum nakal dan malunya. Aku tersenyum sebelum kembali memanjat tubuh Yuna. Aku menciumnya kembali dengan penuh nafsu sambil menyesuaikan posisiku.
Sudah bertahun-tahun aku tidak melakukan ini, tapi aku masih ingat. Aku menyilangkan kakiku dengan kaki Yuna, dalam posisi gunting. Yuna masih berbaring dan aku yang bisa mengatur irama. Aku mendekatkan bibir vagina kami, menggesekkan bibir vaginaku dengan bibir vaginanya. Bibir vagina kami mulai saling berciuman seperti bibir di wajah kami.
“Ahhh S… Alisha…” Yuna mengerang manja, merasakan untuk pertama kalinya sensasi vagina bertemu vagina. Aku tersenyum sambil mengerang puas. Aku mulai bergerak, menggesekkan bibir vaginaku ke bibir vaginanya, ke atas dan ke bawah. Dan entah mengapa bulu halus di vagina Yuna menambah kenikmatan di vaginaku, membuatku semakin bernafsu.
“Ahhhh… Yuna… Ahhh enak Yuna… Ahhhhh” Aku mengerang manja sambil tangan Yuna meremas buah dadanya yang masih tertutup baju. Aku juga masih berpakaian, tapi entah mengapa aku merasa sangat bernafsu.
Napas kami semakin cepat. Bersama irama gerakan vaginaku dan gesekan bibir vaginaku ke bibir vagina Yuna. Aku bisa merasakan cairan kami semakin meleleh dan bercampur satu sama lain. Klitoris kami yang semakin keras juga bergesekan dengan cepat. Menambah kenikmatan dengan setiap hentakan.
Tubuh Yuna meliuk-liuk di atas tempat tidur sambil aku menggigit bibir bawahnya. Erangan kami semakin kuat. Dan tempat tidur Yuna mulai bergoyang mengikuti irama tubuh kami berdua.
“Ummphh ahhhh… Ahh Ahh Ahh Ummphh…” Aku menggenggam paha Yuna dan mendorongnya ke atas dengan kuat. vaginaku berdenyut semakin cepat. Mataku bertatapan dengan matanya sebelum aku menunduk dan kembali bermain lidah dengannya penuh nafsu.
Yuna kemudian menggenggam lenganku sebelum menarik wajahnya. pantatnya terangkat, menekan vaginanya ke vaginaku sebelum tubuhnya bergetar sedikit.
“Ahhhhh!!!! Alishaaa!!!” Yuna mengerang kuat saat aku mempercepat irama. Aku juga semakin dekat dengan puncak. Aku menghentakkan vaginaku ke atas vagina Yuna semakin cepat sebelum tubuhku juga melengkung ke belakang. Membawa aku mencapai klimaks dari vagina Yuna. “Ummmphhhh Yuna Yuna Yunaaa!!” Aku mengerang manja.
Aku menekan vaginaku dan aku bisa merasakan hangat denyutan dari vagina Yuna. Cairan kami saling meleleh ke dalam vagina masing-masing. Aku merasa puas. Dan aku tahu Yuna juga merasakan hal yang sama.
Aku menurunkan kaki Yuna sebelum turun dari tubuhnya. Aku ingin berbaring, tapi sebelum aku sempat berbaring, aku melihat bayangan sepasang kaki di bawah pintu kamarku. Napas aku dan Yuna masih tersengal-sengal. Dan sebelum aku sempat berdiri untuk memeriksa, bayangan itu melangkah pergi.
Aku berharap pemilik bayangan itu tidak mendengar apapun. Aku berbaring di sebelah Yuna sebelum Yuna memutar tubuhnya menghadapku. Kami berpelukan. Buah dada kami bertemu, tenggelam dalam dekapan satu sama lain meskipun masih berpakaian, sambil kakiku naik ke atas kakinya.
“Tidurin aku malam ini ya, Alisha?” pinta Yuna manja. Matanya sayu sedikit. Mungkin karena kantuk. Aku yang mengganggunya tadi. Aku mengangguk sebelum menarik selimut di kaki tempat tidur untuk menutupi tubuh kami berdua.
Aku mencium bibir Yuna perlahan sambil mematikan lampu meja Yuna. Lalu aku meletakkan kembali kepalaku di atas bantal. Tak lama, aku juga tertidur, berpelukan setengah telanjang dengan Yuna.
****************
Dua minggu berlalu. Aku sekarang sedang menghadapi ujian akhirku. Dan aku hanya bisa bertemu dengan Prita saat makan siang ketika dia berkunjung ke fakultasku sebelum dia harus pulang ke negaranya. Aku sudah menceritakannya tentang Yuna beberapa waktu lalu. Dan dia senang dan merasa lega karena dia merasa bersalah. Dia bisa tidur dengan siapa saja di luar negeri, tapi aku di sini harus berhati-hati dan memilih. Dan dia merasa bersalah karena aku sudah lama tidak merasakan sentuhan seorang perempuan, sekitar 4 tahun.
Pada hari itu, Prita memberiku sebuah kotak hadiah. Katanya untuk kegunaanku, dan hanya boleh kubuka saat sendiri. Karena sedikit sibuk, aku hampir lupa tentang hadiah itu. Aku hanya meletakkannya di rak buku karena bungkusnya sangat cantik.
Yuna sedang mandi ketika aku teringat akan hadiah itu. Aku meraih kotak terbungkus itu dari rak buku dan perlahan serta berhati-hati, aku membuka bungkusnya. Mataku membelalak melihat kotak hitam itu. Aku tahu isinya.
Ada secarik catatan yang ditempel di kotak.
“Untuk kamu dan ‘kekasihmu'” Aku tersenyum membaca catatan itu.
Aku membuka kotak itu perlahan dan vaginaku berdenyut saat melihat isinya.
Sebuah dildo dua kepala.
Untuk digunakan saat bersama dengan perempuan lain. Aku meraih dildo panjang itu, dengan dua kepala di kedua ujungnya. Dan meskipun keras, bisa dilenturkan untuk berbagai posisi.
Mataku beralih dari dildo ke pintu, bersamaan dengan denyutan vaginaku yang semakin kuat.
Yuna! Cepetan mandi!