Nikmatnya Ibu Tiriku - End
Siang itu, aku pulang sekolah lebih cepat dari biasanya. Sambil bersenandung kecil, aku melangkah menuju rumah. Begitu membuka pintu, aku kaget, pintu rumah tidak terkunci. Rasanya ada yang tidak beres. Dengan hati-hati, aku mengendap-endap masuk ke dalam rumah. Samar-samar terdengar suara mendesah dan rintihan. Penasaran, aku berusaha mencari sumber suara itu. Ketika mendekati kamar ibu tiriku, suara-suara itu semakin jelas terdengar. Aku berhenti di depan kamar ibu, penasaran apa yang sedang terjadi.
Suara itu semakin keras. Ibu lagi ngapain ya, pikirku. Dengan rasa ingin tahu yang besar, aku mengintip dari lubang pintu. Betapa terkejutnya aku melihat pemandangan di dalam kamar. Di dalam, ibu, sedang berdiri memeluk tubuh Pak Kades. Tangan ibu melingkar di pinggang Pak Kades, sedangkan tangan Pak Kades meremas pantat ibu yang padat. Tanpa melepaskan tangannya dari pantat ibu, Pak Kades mencium pipi ibu, kemudian mengecup bibirnya dengan lidah yang menjulur.
Ibu membuka mulutnya, menyambut kecupan Pak Kades dengan penuh gairah. Mereka begitu asyik bercumbu, tidak menyadari ada sepasang mata yang mengintip dengan hati panas. Percumbuan mereka makin panas saja. Beberapa saat berlalu, Pak Kades melepaskan ciumannya dari bibir ibu dan mulai melepaskan seluruh pakaiannya. Setelah semuanya terlepas, Pak Kades memandangi tubuh ibu yang telanjang bulat sambil berdecak kagum.
“Oh, luar biasa An, tubuhmu masih sexy,” puji Pak Kades. Ibu tersenyum mendengar pujian itu, sambil melepaskan pakaian Pak Kades. Kini mereka sama-sama telanjang bulat. Tanpa membuang waktu, Pak Kades menyuruh ibu berbaring terlentang di ranjang. Kemudian dia merangkak di atas tubuh ibu dengan posisi sungsang, selangkangannya berada di atas wajah ibu, sementara wajahnya berada di atas selangkangan ibu.
Pak Kades membuka paha ibu lebar-lebar, tangannya meraba bibir vagina ibu yang ditumbuhi bulu tipis. Dia mulai mencucuk-cucuk lubang vagina ibu dengan jarinya. “Ohh…., Mas…, enak…, terus…,” rintih ibu saat Pak Kades mulai menjilati vaginanya. Pak Kades menyedot kelentit ibu yang memerah dan basah. Pantat ibu terangkat-angkat menyambut jilatan Pak Kades.
“Jilatin punyaku, An,” pinta Pak Kades. Ibu menuruti saja permintaan itu. Tangannya meraih penis Pak Kades yang sudah setengah tegang, dikocok-kocok sebentar, lalu diarahkan ke mulutnya. Pak Kades menurunkan pantatnya hingga penisnya menyentuh mulut ibu. Ibu membuka mulut dan menjulurkan lidahnya, mulai menjilati kepala penis Pak Kades. Lidahnya berputar-putar di kepala penis, lalu turun ke pangkal. Seluruh batang penis Pak Kades dijilatnya tanpa sejengkal pun terlewatkan.
“Ohh…, An…, nikmat…, terus…, kulum…, terus,” desis Pak Kades saat ibu memasukkan penis ke mulutnya. Pak Kades menaik-turunkan pantatnya, membuat penisnya keluar masuk dari mulut ibu. Sesekali ibu menggigit penis Pak Kades, membuatnya meringis. Sekitar dua puluh menit berlalu, Pak Kades merubah posisi. Kini dia tidur terlentang di ranjang, menyuruh ibu naik ke atas tubuhnya. Ibu mengikuti saja perintahnya. Ibu berjongkok di atas selangkangan Pak Kades, meraih penisnya dan menuntunnya ke lubang vaginanya. Setelah pas, ibu menurunkan pantatnya perlahan-lahan hingga seluruh batang penis Pak Kades masuk ke dalam.
Ibu mulai menggerakkan pantatnya naik turun, dimulai dengan irama pelan, semakin lama semakin cepat. Sesekali ibu memutar-mutar pantatnya, membuat penis Pak Kades serasa dipelintir. Pak Kades tak mau kalah, dia menyodok-nyodokkan pantatnya mengimbangi gerakan ibu.
Aku yang dari tadi mengintip, sedikit kagum melihat goyangan pantat ibu di atas tubuh Pak Kades. Nafsu birahiku bangkit. Aku melepas seluruh pakaian seragam sekolahku, dan setelah telanjang bulat, aku meraih penis dan mulai mengocoknya sambil mengintip.
Tak terasa sudah tiga puluh menit ibu menggoyangkan pantatnya. Ibu semakin cepat menggenjot tubuh Pak Kades, tanda orgasmenya sudah dekat. Demikian juga Pak Kades, sodokannya semakin cepat. “Ohh…, Mas…, aku…, mau…, keluar,” jerit ibu. “Aku…, juga…, An…,” sahut Pak Kades. Beberapa saat kemudian, mereka mencapai puncaknya, tubuh mereka menggelepar. Pak Kades menyemprotkan spermanya di dalam lubang vagina ibu. Setelah menuntaskan birahinya, ibu turun dari tubuh Pak Kades dan tidur di sampingnya. Pak Kades bangkit dan mengenakan pakaiannya, memandangi tubuh ibu yang tertidur pulas, lalu melompati jendela kamar dan keluar.
Begitu Pak Kades keluar, aku yang sudah dirasuki nafsu birahi, segera membuka kamar ibu. Sambil mengocok penis yang sudah tegang, aku memandangi wajah ibu yang tertidur pulas. Nafsu setan sudah merasuki diriku. Tanpa berpikir panjang, aku segera menindih tubuh ibu, membuka kakinya lebar-lebar dan mengarahkan penis ke lubang vaginanya. Aku mulai menurunkan pantatku, sedikit demi sedikit, sampai seluruh penis masuk ke dalam. Saat aku mulai menggerakkan pantat naik turun, ibu terbangun. Betapa terkejutnya dia saat tahu aku, anak kandungnya, sedang menyetubuhinya.
“Iqbal, jangan Iqbal, aku ibumu,” teriaknya berusaha berontak. Tapi sia-sia, aku terlalu kuat. Dengan mudah aku meringkus ibu, memegang erat-erat kedua tangannya dan menyumpal mulutnya dengan mulutku. Dengan buas, aku melumat mulut ibu. Ibu yang sudah kehabisan tenaga setelah bersetubuh dengan Pak Kades tadi tak kuasa melawan. Perlawanannya mulai melemah.
Sodokanku pada lubang vaginanya pelan-pelan membangkitkan nafsu birahinya. Tanpa sadar, ibu mengimbangi gerakanku dengan menyodok-nyodokkan pantatnya. Sambil meracau dan mengeluarkan ucapan-ucapan jorok, yang seharusnya tidak keluar dari mulut seorang ibu. Aku semakin bersemangat menggoyang-goyangkan pantat. “Ohh, Iqbal terus Iqbal, entot ibu,” rintih ibu merasakan nikmat.
Aku semakin cepat memompa vagina ibu saat merasakan vaginanya berkedut-kedut. Otot-otot vaginanya menegang, dan ibu mencakar-cakar punggungku disertai jeritan panjang.
“Iqbal…, ibu…, keluar,” jeritnya. Vaginanya menjepit penis dan tangannya menarik pantatku, membuat penis semakin terbenam. Akhirnya ibu mencapai orgasmenya, cairan hangat membasahi dinding vaginanya.
Aku yang belum puas, membalikkan tubuh ibu, menarik kakinya hingga menjuntai ke lantai, lalu mendekatkan wajah ke lubang anus ibu. Aku menjulurkan lidah, menjilati lubang anus ibu. Jilatan-jilatanku membangkitkan lagi nafsu birahinya. Ibu pasrah saja atas perlakuanku, menggelinjang saat aku mencucuk-cucuk lubang anusnya. Tangannya bergerak ke belakang, meraih kepalaku, membenamkan di pantatnya.
Puas menjilati anus ibu, aku meraih penis dan menuntunnya ke lubang anus. Ibu berteriak kesakitan saat aku memaksakan penis masuk. Rasa panas dan perih pada dinding dan bibir anusnya tak tertahankan. Ibu berusaha berontak, tetapi tanganku yang menekan punggungnya membuatnya tak berdaya. Aku mulai mendorong dan menarik pantat, memompa lubang anus ibu. Tubuh ibu terguncang-guncang oleh sodokanku.
Dia melolong menahan sakit yang luar biasa. Sambil terus menyodomi ibu, aku memeluk tubuhnya dari belakang dan meremas-remas buah dadanya. Nafasku terengah-engah, nafsu birahiku benar-benar tak terkendali. Saat mendekati puncak, aku mempercepat pompaanku. Diiringi lolongan panjang, aku menyemprotkan sperma di lubang anus ibu, membasahi bibir dan dinding anusnya.
Sesaat kemudian, aku bangkit dan menyuruh Ibu duduk di tepi ranjang. Aku menyodorkan penis ke arah mulutnya, memintanya untuk membersihkan sisa-sisa sperma. Tapi Ibu menggelengkan kepala, menolak permintaanku. Aku nggak mau menyerah begitu saja. Aku tarik kepala Ibu dan benamkan wajahnya ke selangkanganku, lalu aku pencet hidungnya biar dia kesulitan bernapas. Terpaksa dia buka mulut, dan saat itulah aku langsung jejalkan penis ke dalam mulutnya.
“Ayo, Bu, isep sampai bersih,” pintaku.
Dengan sangat terpaksa dan menahan rasa jijik, Ibu mulai mengulum penisku dan menjilati sisa-sisa sperma yang tersisa. Malam itu, aku memaksa Ibu melayani nafsu birahiku sampai pagi. Aku nggak berhenti sampai benar-benar puas. Hari-hari berikutnya, Ibuku jadi budak nafsuku. Dia harus selalu siap melayani setiap kali aku mau. Awalnya, Ibu melakukannya dengan terpaksa, tapi lama-lama dia ketagihan juga disetubuhi olehku.