Kumpulan Cersex Di Bus - Bab 1-1
Tiket bis jam 3.30 sore. Aku tiba lebih awal di stasiun bis dan menunggu seorang diri. Aku merasa enggan memperhatikan perilaku beragam orang di sekitar.
Aku sibuk menjelajahi Facebook, tapi tetap saja belum bisa mengusir rasa bosan menunggu bis yang belum datang. Jam menunjukkan pukul 3.25 sore, aku segera bangkit dan bertanya di loket, siapa tahu bis sudah tiba, tapi ternyata belum. Terus menunggu.
Ponselku menyala, ada pesan masuk,
“Sudah naik bis?”
“Belum.”
“Nanti kalau sudah naik bis, kabari ya.”
“Oke sayang.”
Pukul 3.45 sore baru bisa naik bis, memang sudah biasa bis di Jakarta seperti itu. Nikmati saja. Aku duduk sesuai nomor yang tertera di tiket. Dapat tempat duduk di sebelah dalam, penumpang lain sibuk mencari tempat masing-masing. Pasangan di sebelahku belum muncul. Untungnya aku duduk sendirian. Lebih nyaman. Aku tersenyum sendiri.
Setelah 10 menit bis parkir, bagian dalam bis mulai penuh, kondektur bis mulai memeriksa tiket. Ternyata sebelahku kosong. Perjalanan pulang mungkin sekitar 4 jam, kira-kira jam 8 malam aku akan sampai di Garut.
Bus mulai bergerak, tiba-tiba berhenti lagi. Ada penumpang baru datang, dan ya, penumpang itu duduk di sebelahku. Harapan untuk lebih nyaman dalam perjalanan langsung pupus.
Aku tersenyum kecut pada pemuda di sebelahku yang tampak lebih muda beberapa tahun dariku.
“Wah, untung sempat. Tadi macet di jalan ke sini,” dia memulai percakapan. Aku mengangguk sambil tersenyum tanda mengerti dan simpati. Untuk melanjutkan percakapan, malas rasanya.
“Bus sudah jalan, ada teman duduk di sebelah, cowok muda lagi, bisa jadi teman ngobrol,” aku mengetik pesan bercanda dengan pacarku.
“Orang sini ya?” dia mulai lagi percakapan.
“Bukan, mau pulang kampung, kerja saja di sini.”
“Oh, gitu ya, saya orang sini, dan pertama kali mau ke Garut, ada tempat seru yang bisa dikunjungi di Garut?”
Percakapan pun berlanjut, sesekali diselingi dengan candaan.
Ketika bis mulai masuk jalan tol, masing-masing dari kami mulai malas melanjutkan percakapan dan akhirnya sibuk dengan pikiran sendiri. Akhirnya, aku tertidur.
Aku terbangun ketika merasakan tanganku bersentuhan dengan tangan orang lain. Cepat-cepat aku menarik tanganku. Kulihat orang di sebelahku, ternyata dia juga tertidur. Syukurlah dia tidak sadar kalau aku sempat menyentuh tangannya. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum malu sendiri, lalu kembali melamun dan akhirnya tertidur lagi.
Kali ini aku terbangun lagi, tapi sekarang kepala orang di sebelahku bersandar di bahuku. Aku jadi serba salah, aku mengangkat bahu untuk membangunkannya. Tapi malah jadi lebih kacau ketika kepalanya jatuh ke dadaku, hampir menyentuh payudaraku.
Aku merasa berdebar-debar, malu, takut, dan kasihan. Tapi aku tidak bergerak, khawatir situasinya malah jadi lebih buruk. Dan ketika kepalanya di dadaku, rasanya lebih nyaman karena mengurangi rasa dingin dari AC bis. Jadi aku biarkan saja, hingga tertidur lagi.
Terbangun lagi ketika dia memelukku dan mengubah posisinya. Kali ini lebih erat, kini aku benar-benar dalam pelukannya. Aku bingung, apakah dia sengaja pura-pura tidak sadar atau memang tidak sadar. Hidungnya berada di telingaku, terasa napas hangatnya berhembis perlahan. Nyaman dan menenangkan.
Tersadar dari lamunan, mana mungkin aku bisa membiarkan seorang pria yang tidak kukenal memelukku seperti ini. Tapi pelukan hangatnya sangat menenangkan. Aku berdebat dengan diriku sendiri, membiarkan atau melepaskan. Menelan ludah. Terasa basah di antara pahaku. Menelan ludah lagi.
Dalam pertarungan antara nafsu dan akal, bibirnya menyentuh cuping telingaku. Menelan ludah lagi. Basah lagi. Aku menarik napas dalam-dalam. Akal mencoba mengalahkan nafsu.
Saat aku menghembiskan napas perlahan, terasa ujung telingaku sedikit basah, dan terasa denyutan lembut di ujung telingaku. Nafsu menggila, merembes air di antara selangkangan.
Napasku sudah tak terkendali. Ingin berteriak dan mendorong, tapi kenikmatan itu lebih kuat dari segalanya. Menelan ludah lagi.
Saat ini, dia semakin berani, dengan tangan yang diletakkan di dadaku. Dia meremas payudaraku perlahan, sensasinya begitu nikmat. Aku merasa lemas, tak mampu menahan hawa nafsu. Aku membiarkan tubuhku disentuh oleh seseorang yang tak dikenal. Sensasi semakin memuncak, napasku berdesir dengan cepat, begitu pun degupan di telingaku.
‘Ahhh…’ terdengar dari bibirku, tak bisa menahan kenikmatan di telinga dan di payudara.
‘Ssst.. Nanti ada yang dengar,’ katanya berbisik di telinga. Aku mengangguk. Setuju untuk menahan suara.
Mulai dengan penuh keberanian, ia menyelipkan tangannya ke dalam bajuku. Rengkuh dinginnya membuatku merinding. Tangannya terus sibuk meraba di balik kain itu, mencari dua bantal empuk di dadaku. Aku hanya bisa pasrah, terpaku pada hawa nafsu yang menguasai. Tak sabar menanti sentuhan tangan asing yang kian mendekat.
Ketika tangan menyentuh kulit dadaku, aku menghela nafas dan menelan ludah. Dia berhenti, mengelilingi dadaku dengan jarinya. Aku gelisah, sulit menahan diri, napas semakin cepat. Jarinya menyentuh puting payudaraku, sensasi liar melanda. Rangsangan yang tak terbendung. Dia memilin putingku, menjilat telingaku.
‘Ahhhh…’ aku mendesah lagi.
‘Ssst.. Enak?’ aku mengangguk. Setelah berputar lama, sekarang dia lebih berani, dan turun ke celah pahaku. Dia menggosok pahaku dengan perlahan, meskipun hanya dari luar. Sentuhan itu masih membuatku resah.
Untuk melangkah lebih maju, dia meletakkan tangannya di atas pahaku. Aku hampir membuka resleting jeansku dan menarik tangannya agar bisa merasakan bijiku yang sudah sangat basah. Namun, aku hanya bisa menggeliat sambil membuka paha agar lebih mudah disentuh.
Dia menyentuh lembut klitorisku dengan jari tengahnya. Aku menahan napas, takut suara desahan akan terlalu keras. Gerakan jarinya semakin intens di klitorisku. Tanpa ragu, dia terus bermain selama 5 menit penuh. Akhirnya, aku tak kuasa lagi. Aku mengigit bibir untuk meredam suara. Napas tertahan, sensasi tak terbendung. Getaran vaginaku semakin kuat. Dan di saat-saat terakhir, aku merasakan puncak kenikmatan, menikmati setiap sentuhan yang diberikan.
Aku merasa lega saat napas terhela. Dorongan seksualku kian mereda. Napasku kembali terkendali. Aku merasa sungkan menatap orang di sebelahku.
“Good girl,” bisiknya di telingaku sambil melepaskan pelukannya. Aku memandang keluar jendela, menatap jalanan, berharap agar segera tiba. Aku bingung, tak tahu bagaimana seharusnya bertindak selanjutnya.
====
Ketika aku menatap keluar jendela dan berharap bahwa peristiwa tadi hanyalah sekadar mimpi, seseorang di sisiku mulai meraba lembut lengan dan pahaku. Aku berusaha menarik tangannya, ingin menolak, tetapi justru merasakan sentuhan itu semakin dekat. Saat aku mencoba melepaskan diri, tanganku terjepit erat.
Dia meraba tangan dan pahaku dengan lembut. Kemudian perlahan, dia menuntun tanganku ke bawah jaket yang diletakkan di pangkuannya. Aku hanya pasrah. Tanpa diduga, tanganku menyentuh kulit lain dan merasakan otot yang tegang.
Kemudian, aku memandang wajah orang yang duduk di sampingku, meminta penjelasan. Dengan senyum, dia menuntun tanganku agar terus berada dalam genggamanya.
Aku harus mempertimbangkan semuanya dengan cermat, meskipun prosesnya memakan waktu. Keputusan yang sulit membuatku bimbang. Akhirnya, aku memilih untuk membiarkan tangan ini menjelajahi yang tak dikenal bagiku.
Dia menelan ludah, memejamkan matanya, menikmati sentuhan tangan yang merangsangnya. Saya menganggap hal ini sebagai balasan atas tindakannya sebelumnya. Meski tanganku mulai lelah, dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan ejakulasi. Dia tampak menahan kenikmatan ketika saya merangsang batangnya.
Aku menelan ludah, gairahku kembali. Aku menekan kakiku menahan nafsu yang memuncak. Tanganku semakin cepat mengocok batang yang semakin tegang.
Ketika aku sibuk dengan tangan yang mengocok, tiba-tiba jarinya menyentuh baju yang kukenakan. Tanpa kuhalangi. Gairah telah menguasai diriku. Perlahan dia mulai meraba dadaku, mengangkat baju dalamku, dan meremas putingku.
Kemudian, aku mencapai puncak orgasme. Tubuhku gemetar dalam klimaks kedua. Aku merasa lemas. Pada saat itu, bis berhenti di Rest Area. Aku malas untuk turun. Dia keluar terlebih dahulu. Supir memberikan waktu 30 menit untuk istirahat di Rest Area.
Hanya aku yang memperhatikan seseorang di sebelahku. Orang itu masuk ke toilet dan tak lama kemudian keluar. Sambil mengawasinya, kusaksikan dia membeli dua botol air mineral sebelum kembali naik ke dalam bas.
Ketika dia kembali ke tempat duduknya yang berdekatan denganku, aku pura-pura tertidur. Dia mendekat, membangunkanku dengan menepuk pipiku. Aku berpura-pura terkejut dari tidurku. Senyum terukir di wajahnya, sambil memberikan botol air padaku. Dengan senang hati, aku menerimanya. Dia duduk di sampingku dengan tenang. Kami berdua minum bersama-sama.
‘Terima kasih’ tidak semena-mena ucapan itu terpancar dari mulutnya. Aku hanya mengangguk. Dia terus memperbaiki tempat duduknya dan menutup matanya. Sementara aku agak tercengang di sisinya.
Sepanjang perjalanan hingga ke Garut dari Jakarta, aku hanya tertidur beberapa kali dan orang di sebelahku terus tidur tanpa ada interaksi lagi.