Jeratan Cinta Teman Kakak: Hasrat Terlarang - Bab 01
Raefal udah beberapa kali pencet bel rumah Jovan, tapi nggak ada yang buka. Kesel juga sih, akhirnya dia pencet lagi dengan agak keras. Bentar kemudian, pintu terbuka, dan muncullah Ivanka, adiknya Jovan. Cewek berambut hitam legam dengan mata abu-abu itu cuma pake tank top sama hot pants doang.
“Oh, Kak Raefal?” sapa Ivanka dengan bibir merah merona. “Kak Jovan lagi boker. Kakak masuk aja dulu.”
Raefal berdehem, agak canggung gitu, terus masuk ke rumah. Ivanka ngajak dia duduk di ruang tamu.
“Kak Raefal mau minum apa?” tanya Ivanka.
“Nggak usah,” jawab Raefal.
“Kalo haus, ambil aja sendiri di dapur ya. Kak Jovan kayaknya masih lama nih, dari tadi perutnya mules banget,” kata Ivanka sebelum ninggalin Raefal sendirian di ruang tamu.
Mata Raefal nggak bisa lepas ngeliatin Ivanka yang naik ke tangga. Udah beberapa bulan ini dia naksir sama si Ivanka. Tapi, pas ngeliat gunung kembarnya yang nyembul dari balik tank top tipis itu, aduh, nafsu Raefal langsung membuncah.
“Dari tadi perut gue mulas banget sih,” keluh Jovan pas nyamperin Raefal dan duduk di depannya.
“Kebanyakan makan kemaren kali,” jawab Raefal santai.
Jovan nepuk-nepuk perutnya yang agak buncit. “Kan, kita nggak boleh nolak makanan, hahaha. Eh, ayo ke kamar gue. Ada yang mau gue tunjukin.”
Raefal ikutin Jovan naik tangga, pas lagi naek, mereka papasan sama Ivanka yang lagi turun. Ivanka kaget gitu, hampir nabrak Raefal.
“Mau pergi?” tanya Jovan.
“Ehm, iya. Mau ketemu temen,” jawab Ivanka.
Jovan natap adiknya dengan curiga. Ivanka udah dandan menor banget, pake dress, makeup tebal, rambutnya juga rapi banget. Hmm…
“Temen atau pacar?” tanya Jovan lagi.
“Ish, nggak punya pacar,” kata Ivanka sambil ngelirik Raefal yang sedari tadi natap dia. “Gue pergi dulu ya.” Ivanka buru-buru turun tangga, ninggalin dua cowok itu masih berdiri di tangga.
“Adik lu single ya?” tanya Raefal pas mulai jalan lagi.
“Dia nggak laku,” jawab Jovan bercanda. “Kenapa? Tertarik?”
Sebelum Raefal jawab, Jovan langsung nyela, “Gue nggak bakal kasih dia buat lo. Cari yang lain aja deh.”
“Gue nggak bilang tertarik juga,” gumam Raefal.
Mereka masuk ke kamar Jovan, dan Jovan langsung ambil laptopnya.
“Gue punya film bokep baru,” katanya sambil senyum mesum.
“Lo ngajak gue ke sini cuma buat nonton bokep bareng?” Raefal heran sama kelakuan temannya. Nonton bokep berdua sama cowok di kamar? Lebih baik dia nggak datang.
“Bukan gitu. Gue mau ajak lo pergi ke suatu tempat weekend ini,” jelas Jovan.
Raefal jadi agak curiga.
“Ke mana?”
“Glory hole.”
Raefal kerutan kening. Dia belum pernah denger nama tempat itu. “Tempat apaan tuh?”
“Di sana lo bisa nikmatin lubang cewek tanpa liat muka mereka,” jelas Jovan.
Raefal mengernyitkan keningnya, merasa bingung dan penasaran. “Lubang cewek? Maksud lo apa?”
Jovan terkekeh, matanya berkilat nakal. “Itu tempat di mana lo bisa berhubungan seks dengan cewek tanpa harus melihat wajah mereka. Cuma lewat sebuah lubang aja.”
Raefal merasa semakin bingung. “Kenapa harus begitu? Kan lebih enak kalau bisa melihat wajah ceweknya.”
“Itulah yang asyiknya, justru karena nggak bisa lihat muka, jadinya lebih menantang,” ujar Jovan, wajahnya memerah karena membayangkan kesenangan yang akan mereka alami nanti. “Lagipula, cewek-cewek di sana cantik-cantik dan tahu betul cara memuaskan cowok.”
Raefal mulai tergoda oleh ajakan Jovan. Meskipun agak ragu pada awalnya, rasa penasaran dan hasrat seksualnya yang menggebu-gebu membuatnya tak kuasa menolak. “Oke, gue ikut.”
Ivanka & Olin:
“Setengah badan kita bakal di balik bilik, dan siapa aja bebas masukin penis mereka ke lubang kita,” jelas Olin ke Ivanka, yang lagi duduk di depannya, tatapannya tak lepas dari bibir Ivanka yang tampak menggoda dalam balutan lipstik merah menyala. “Tau nggak? Minggu lalu gue ke sana dan beneran luar biasa!” Suaranya berdesir, penuh semangat, seakan-akan mencoba membakar hasrat yang terpendam dalam diri Ivanka.
Ivanka ragu-ragu. Dia liatin minumannya dan nyruput pelan-pelan, bibirnya sedikit terbuka, memperlihatkan giginya yang putih bersih. “Takutnya Kakak gue marah.” Nada suaranya sedikit tertahan, namun matanya berkaca-kaca, seolah menahan sesuatu.
“Ya elah, weekend ini pasti Kakak lo juga lagi keluar sama temennya,” kata Olin, dengan nada yang lebih santai dan menggoda. Jari-jarinya memainkan sedotan minuman Ivanka, sentuhannya yang ringan membuat Ivanka sedikit merinding.
Ivanka mikir bentar. Ada sesuatu yang masih bikin dia ragu, sebuah gejolak di dalam hatinya yang belum terurai. Ia memikirkan kata-kata Olin, membayangkan sensasi yang dijanjikan, dan rasa penasaran yang mulai menggerogoti pikirannya.
“Lo harus cobain yang nakal-nakal, deh. Dijamin puas,” bujuk Olin sambil nyenggol tangan Ivanka, sentuhannya kali ini lebih lama, lebih intens. Jari-jarinya seakan menari di kulit halus Ivanka, mengirimkan sinyal-sinyal yang membuat Ivanka berdesir.
“Ya udah deh, gue ikut,” jawab Ivanka akhirnya, suaranya hampir tak terdengar, namun matanya kini berkilauan dengan hasrat yang baru saja terbangun.
Olin senyum puas, sebuah senyum yang penuh kemenangan. “Ngomong-ngomong, kenapa lo dandan menor gini sih? Kirain mau ketemu pacar lo?” Olin ketawa, tawa yang sedikit mengejek, namun penuh dengan ketertarikan. Ivanka terlihat begitu cantik, bagai bunga yang siap mekar untuknya.
“Bukan gitu. Gue punya alasan sendiri,” jawab Ivanka, pipinya memerah, sedikit malu namun tetap dengan keyakinan yang baru terbentuk.