Hasrat Terpendam Ustadzah Lathifah - Bab 6
“‘Yeeeahhhhhhhhhhhh…” Shakti menekan batang kemaluannya sedalam-dalamnya di dalam lubang kemaluan Ustadzah Lathifah, pancutan demi pancutan cairan panas menerpa dinding dalam lubang kemaluannya. Bibirnya terkunci rapat, dan dia tersembam ke atas buah dada Ustadzah Lathifah sambil melepaskan keluhan kasar. Ustadzah Lathifah sendiri terkulai lemas sambil melepaskan nafas perlahan-lahan. Kedua tubuh mereka bersatu dan terkaku sejenak.
“Enak, kan, Ustadzah… Ustadzah hebat!” bisik Shakti ke telinga Ustadzah Lathifah. Dengan lemah, Shakti terbaring di samping tubuh Ustadzah Lathifah. Batang kemaluannya masih terpancang dan berkilau. Ustadzah Lathifah tercekat, dadanya naik-turun selaras dengan napasnya. Ustadzah Lathifah mengira bahwa semuanya telah berakhir setelah kemaluannya tercemar, tetapi ternyata anggapannya salah karena tiba-tiba Shakti berdiri dengan batang kemaluannya yang masih tertancap. Dia menarik tangan Ustadzah Lathifah hingga terbangun dan berlutut di depannya.
“Ustadzah, sebelum saya pergi, saya ingin memberikanmu sebuah kenang-kenangan. Telan sperma saya.”
“Haah???” Shakti tidak menunggu jawaban lagi. Dia memegang kepala Ustadzah Lathifah yang berlutut di depannya itu dan menariknya ke batang kemaluannya yang keras dan berlendir. Ustadzah Lathifah membuka mulutnya, mengulum batang Shakti. Dia hanya ingin semuanya segera berakhir.
“Hisap, Ustadzah… saya ingin memancarkan sperma di dalam mulutmu…” Hentakan Shakti ganas. Ustadzah Lathifah mengerutkan muka dan menutup matanya rapat saat batang Shakti keluar masuk mulutnya.
“Ustadzah, telan semua sperma saya, ya…” Shakti menarik batangnya keluar dan tergopoh-gopoh melancakkan batangnya di depan muka Ustadzah Lathifah. Sebelah tangannya meremas rambut Ustadzah Lathifah agar wajahnya terdongak di hadapan batangnya.
“Argggghhh… telan, Ustadzah… telan… buka mulutmu.” Dia mendesah dengan suara yang tertahan-tahan saat spermanya muncrat ke muka Ustadzah Lathifah.
“Hisap, Ustadzah… hisap batang saya.” Shakti mengeluh dan mendesah saat satu lagi pancutan spermanya terpancut mengenai pipi Ustadzah Lathifah yang putih mulus itu. Ustadzah Lathifah mengulum kembali batang berlendir Shakti yang memuncratkan sperma. Dia hanya ingin semuanya segera berakhir dan Shakti akan meninggalkannya. Shakti memegang kepala Ustadzah Lathifah dan menekan batangnya ke kerongkongan Ustadzah Lathifah. Seluruh tubuh Shakti mengejang, gemetar dengan kakinya terangkat-angkat saat spermanya terus memasuki kerongkongan Ustadzah Lathifah.
“Telan, Ustadzah… aaahhhh… telan semuanya… aaaahhhh… hisap, Ustadzah..” Ustadzah Lathifah menelan sperma Shakti, tetapi kemudian dia merasa geli dan jijik dan memuntahkannya. Namun, dia dapat merasakan sperma Shakti yang kental mengalir di kerongkongannya. Sisa sperma Shakti mengalir lemah keluar dari tepi bibir Ustadzah Lathifah dan turun ke dagunya. Genangan sperma Shakti di pipi dan wajahnya mulai mengalir perlahan ke baju gamisnya. Ketika Ustadzah Lathifah merasa semuanya telah berakhir, tiba-tiba dia mendengar suara di pintu dapur. Dia berpaling ke arah suara itu, dengan batang kemaluan Shakti masih dikulum di dalam mulutnya. Dia melihat adiknya, Imron, berdiri di pintu dapur dengan dua orang pemuda yang terlihat seperti preman memegang lengannya.
“Kakak!!!!!!” Mulut Imron ternganga, matanya terbelalak.
“Apa yang telah kamu lakukan pada kakakku?” Imron tertegun melihat kakaknya, Ustadzah Lathifah, dalam keadaan berlutut dengan sperma kental di wajahnya dan batang Shakti berada di dalam mulutnya. Shakti mendorong kepala Ustadzah Lathifah dari batangnya dan mulai tertawa.
“Kakakmu hebat, Imron… kamu sendiri lihat, kakakmu pandai menghisap batang.” Imron menunduk melihat kakaknya, Ustadzah Lathifah, yang menangis terisak-isak. Dia meronta dan melepaskan diri dari dua orang preman yang memegangnya dan berlari ke arah Shakti.
“Aku akan membunuhmu, Shakti!!!” Imron menerjang bagaikan harimau lapar dengan tangan tergenggam. Ustadzah Lathifah memang mengharapkan Imron menyerang Shakti yang telah mengaibkan dirinya, tetapi dia juga tahu bahwa Shakti bukanlah lawannya. Imron kurus tinggi, seperti dirinya, sedangkan Shakti jauh lebih tua dan berbadan tegap. Shakti melepaskan satu pukulan kuat ke muka Imron saat Imron menerjang ke arahnya sehingga Imron terguncang dan tersungkur di lantai. Ustadzah Lathifah bangun dan memeluk adiknya.
“Sudah… sudah!!!! Ambillah semua uang itu, tinggalkan kami… tolonglah pergi dari sini.” Ustadzah Lathifah memohon. Shakti menatap kedua adik beradik itu. Imron menangis di dalam pelukan kakaknya, darah pekat mengalir keluar melalui hidungnya.
Dengan perlahan, Shakti mengenakan pakaiannya kembali. Setelah selesai, dia mengambil sisa uang di dalam amplop di atas meja dan memberikannya kepada kedua temannya. Mereka bertiga tersenyum, berpelukan, dan tertawa. Salah satu teman Shakti berkata, “Imron, jangan lupa berterima kasih kepada kakakmu. Shakti bilang kakakmu hebat… kalau bukan karena kakakmu, kamu sudah celaka hari ini.”
Mereka bertiga keluar dari dapur, meninggalkan kedua saudara itu. Ustadzah Lathifah memeluk adiknya. Imron menatap wajah kakaknya. Wajah yang masih berlumuran air mata. “Kak… maafkan Imron, Kak…” Ustadzah Lathifah terdiam, air matanya mengalir. Ustadzah Lathifah merasa lega karena semuanya telah berlalu.
Sebagian dari dirinya bersyukur karena Imron selamat, namun sebagian lainnya membenci adiknya karena menyebabkan semua ini terjadi. Kasih seorang kakak rela berkorban apa saja demi adiknya; dia berharap Imron akan sadar dengan apa yang telah menimpa mereka berdua.