Hasrat Terpendam Ustadzah Lathifah - Bab 5
“Lihat, Ustadzah, buka matamu. Jariku berlendir dengan cairan dari kemaluanmu. Bisakah kamu mencium baunya? Aku bisa menciumnya dari sini, enak!” Ustadzah Lathifah tak mampu berkata-kata, malunya tak terkira. Berkali-kali ia bertanya dalam hati, mengapa hal ini terjadi padanya, sesuatu yang tak pernah ia inginkan. Jari Shakti berkilau karena cairan jernih yang menyelimutinya. Shakti tersenyum kemenangan.
Dengan perlahan, ia menekan bahu Ustadzah Lathifah, memaksa wanita itu menungging di hadapan meja. “Jangan, tolong, kali ini jangan lakukan ini,” Ustadzah Lathifah memohon. Namun, Shakti tak peduli, ia mengacungkan zakarnya di lubang kemaluan Ustadzah Lathifah dari belakang. Ustadzah Lathifah berusaha menghindari batang Shakti dengan menggerakkan pantatnya, sambil terus memohon. Shakti menampar pantat tegap dan putih Ustadzah Lathifah, menggeram.
“Diam, Ustadzah!” Teriakan Shakti menerobos telinga Ustadzah Lathifah saat batangnya mendorong masuk ke dalam lubang kemaluannya. Hentakan Shakti kuat dan perkasa, membuat tubuh Ustadzah Lathifah terdorong ke depan, hingga meja makan bergetar. Ustadzah Lathifah terpekik, merasakan dorongan batang Shakti yang kuat di dalam kemaluannya, kedua kakinya terangkat.
“Ahhh… sempit dan licin,” Shakti mendesah kasar saat batangnya tertanam di dalam lubang kemaluan Ustadzah Lathifah. Tangan Shakti mencengkeram rambut Ustadzah Lathifah, sementara pinggangnya mulai bergerak, menghentak lubang kemaluan wanita itu.
“Enak, tahan, Ustadzah,” Shakti mendesah, sementara Ustadzah Lathifah menggelengkan kepalanya, tak mampu berkata-kata. Hentakan Shakti kuat dan cepat, terasa sangat dalam. Ustadzah Lathifah tak berdaya, seorang pemuda asing telah memasuki rumahnya dan melakukan perbuatan terkutuk ini di dapur rumahnya sendiri.
“Enak, kan, Ustadzah… Ustadzah menikmati, kan?” Shakti terus bergumam dalam keluhan birahinya sendiri. Ustadzah Lathifah hanya menangis tersedu-sedu dan sesekali menggelengkan kepalanya. Air matanya menetes ke atas meja. Kedua tangannya menekan permukaan meja, sementara sesekali Shakti mencium leher jenjangnya dan meremas buah dadanya yang bergoyang.
“Ustadzah tidak suka, ya… santai, Ustadzah… sebentar saja… sebentar lagi.” Shakti terus menggesekkan kemaluannya dengan kuat ke kemaluan Ustadzah Lathifah, sementara lubang kemaluannya semakin licin dan basah. Setiap kali paha Shakti bergesekan dengan pantat Ustadzah Lathifah, pantat itu bergetar. Bunyi gesekan antara paha Shakti dan pantat Ustadzah Lathifah menciptakan irama tersendiri yang hanya mereka berdua yang mendengarnya di dapur itu. Ustadzah Lathifah mendesah pelan setiap kali batang kemaluan Shakti semakin dalam menerobos lubang kemaluannya.
Kemudian Shakti berhenti, dia membaringkan Ustadzah Lathifah di lantai. Kain dan celana dalam Ustadzah Lathifah ditariknya dan dilemparkannya. Kaki Ustadzah Lathifah dikangkangkannya lebar-lebar. Sebelum Ustadzah Lathifah sempat berkata apa-apa, Shakti kembali menghujamkan batang kemaluannya yang keras ke dalam kemaluan Ustadzah Lathifah.
“Arrrrrgggggghhhhhh…” Ustadzah Lathifah mendesah, menahan dorongan batang kemaluan Shakti. Baju gamisnya disingkap oleh Shakti, bra berwarna biru yang dipakainya saat itu dikuak ke atas dada. Terpampanglah sepasang buah dadanya yang putih dengan puting panjang di hadapan mata Shakti. Shakti terus menenggelamkan wajahnya ke buah dada Ustadzah Lathifah sambil terus menggerakkan pinggulnya.
“Shaktiiiii… argggghhhh.” Hanya keluhan yang keluar dari mulut Ustadzah Lathifah dengan matanya yang terpejam. Kacamata yang dipakainya dicopot oleh Shakti dan diletakkan di sisi tubuhnya yang setengah telanjang. “Dahhhh… sudahhhhh…” Tubuh Ustadzah Lathifah berguncang menerima dorongan batang kemaluan Shakti. Akhirnya, sesuatu yang di luar dugaannya terjadi, tubuh Ustadzah Lathifah bergetar, nafasnya terengah-engah. Dia mencapai puncak kenikmatannya.
“OOOoohhhhh…” Nafas Ustadzah Lathifah tersengal-sengal, tangannya terentang, lesu. Dadanya naik-turun. Dia merasa kelelahan. Shakti tersenyum. Gerakannya semakin perlahan dan akhirnya berhenti. Cairan birahi Ustadzah Lathifah keluar dengan deras. Peristiwa ini sangat memalukan bagi Ustadzah Lathifah, dia mencapai puncak tanpa keinginannya sendiri.
“Ustadzah sudah mencapai puncak, ya… jangan berbohong, Ustadzah, saya tahu.” Otot-otot kemaluan Ustadzah Lathifah mencengkeram batang kemaluan Shakti saat dia mulai menggerakkan pinggulnya.
“Giliran saya, Ustadzah…” Ustadzah Lathifah tersadar dari kelelahannya, entah mengapa dia merasa jijik. Dia meronta-ronta untuk melepaskan diri, tetapi usahanya sia-sia dan malah membuat Shakti marah. Pelukannya pada tubuh Ustadzah Lathifah semakin erat. Gerakannya pada kemaluan Ustadzah Lathifah semakin ganas. Dari desahan dan dengusan Shakti, Ustadzah Lathifah tahu bahwa Shakti juga akan mencapai puncak kenikmatan.
“Mau keluarrrr… arggggghhhhh…” Gerakan pinggul Shakti semakin kencang, wajahnya memerah, dan peluh birahi mengalir di dahinya. Buah dada Ustadzah Lathifah dicekik dan diremas-remas. Kepala Ustadzah Lathifah tergeleng-geleng ke kiri dan ke kanan, rambutnya terombang-ambing, dan mulutnya tercekat. Kedua tangannya menekan dada Shakti untuk menahan hempasan tubuh Shakti ke tubuhnya yang tinggi dan bergetar itu. Shakti terus menggerakkan pinggulnya dengan ganas.