Hasrat Terpendam Ustadzah Lathifah - Bab 4
Gerakan pinggul Shakti semakin cepat, membuat Ustadzah Lathifah merasakan sesuatu yang aneh. Tubuhnya dingin, menyadari bahwa Shakti akan mencapai puncaknya, memancarkan kenikmatan sementara batangnya masih di dalam mulutnya.
Sudah… sudah… Ustadzah… saya tidak tahan…” Shakti berguling-guling sambil menarik batangnya dengan cepat keluar dari mulut Ustadzah Lathifah. Kepala batang Shakti berkilau dengan air liur Ustadzah dan lendir nikmatnya sendiri.
Ustadzah Lathifah tersedak dan terasa mual; tenggorokannya terasa asam. Dia menyeka mulutnya dengan tangan. Ketakutan mulai menyelubunginya saat merasakan kedua tangan Shakti memeluk tubuhnya agar berdiri. Setelah berdiri, tubuh tinggi Ustadzah Lathifah dipeluk erat oleh Shakti.
“Saya sudah… sudah melakukan apa yang kamu suruh, tolong pergi dari sini… tolonglah.”
Shakti dengan cepat memutar tubuh Ustadzah Lathifah menghadap meja. Dia memeluk tubuh Ustadzah dari belakang, memeluk pinggangnya erat. Ustadzah Lathifah dapat merasakan batang keras Shakti menekan pantatnya yang besar.
“Jangan begitu, Ustadzah… Kamu pandai sekali menghisap batang. Sulit untuk percaya bahwa kamu belum pernah melakukannya sebelumnya. Hmm… Hampir saja aku bucat di mulutmu.”
Ustadzah Lathifah merasa dirinya teraniaya, pujian-pujian yang diberikan Shakti terhadap perbuatannya sangat menjijikkan. Tiba-tiba, Shakti menyelusupkan tangannya ke bawah baju gamis Ustadzah Lathifah, meremas payudara wanita itu yang masih terbungkus bra. Perlakuan Shakti begitu cepat, membuat Ustadzah Lathifah terengah-engah. Tak cukup sampai di situ, Shakti meremas buah dada Ustadzah Lathifah yang besar, bahkan menggelitik putingnya yang kecil dan panjang.
“Tolong, Shakti, berhentilah… aku sudah melakukan yang kamu minta. Pergilah,” Ustadzah Lathifah berbisik, memohon agar Shakti berhenti. Wajahnya berkerut menahan perlakuan jari-jemari Shakti pada buah dadanya. Shakti mengecup dan menjilat lehernya, sementara tangannya terus meremas buah dada Ustadzah Lathifah. Wanita itu menggelengkan kepalanya, berusaha melepaskan diri dari sentuhan Shakti.
Dengan gerakan cepat, Shakti menarik resleting dan membuka celah kain Ustadzah Lathifah. Perlahan, ia menyingkap baju gamis wanita itu, memamerkan pantat tegap dan putih yang dibalut celana dalam berwarna pink. Celana dalam itu pun ditariknya, membuat Ustadzah Lathifah terpekik pelan, merasakan batang keras Shakti menyentuh alur pantatnya.
“Jangan, tolong, jangan lakukan ini…” mohon Ustadzah Lathifah dengan nafas terputus-putus.
“Ustadzah tidak suka? Oh, hanya sedikit saja, kenapa tidak… saya jadi terangsang…”
“Sudahlah…” rayunya.
“Baik, Ustadzah, saya akan berhenti di sini. Saya akan pergi dan tidak akan mengganggumu serta adikmu lagi… namun dengan satu syarat,” lanjut Shakti.
“Aku akan pergi jika kemaluanmu kering, tapi jika basah… kamu mengerti, kan?” Ustadzah Lathifah terkejut mendengar perkataan Shakti. Tangan pria itu meluncur ke perutnya, membuat Ustadzah Lathifah memohon agar Shakti berhenti saat jari-jemarinya merayap ke celah pahanya.
“Mengapa kamu melakukan ini padaku, Shakti? Tolong, ini tidak benar!” Shakti tak menjawab, Ustadzah Lathifah hanya merasakan nafas Shakti yang terengah di telinganya.
“Baik atau tidak, aku tak peduli, Ustadzah,” bisik Shakti.
Takdir telah menentukan segalanya. Apa yang terjadi di dapur rumah Ustadzah Lathifah bukanlah kehendaknya. Ia menahan nafas saat jari-jemari Shakti bermain di area sensitifnya, mengusap bulu kemaluannya yang halus. Ustadzah Lathifah tak mampu melawan nafsu Shakti, ia tahu pria itu akan mengikuti keinginan serakahnya. Tubuhnya mulai merespons, kemaluannya mengeluarkan cairan saat jari Shakti mencolok lubang kemaluannya. Kaki Ustadzah Lathifah terasa lemah, tubuhnya terguncang. Shakti merasakan kelemahan Ustadzah Lathifah, ia memeluk wanita itu erat, tangannya mencekup celah paha Ustadzah Lathifah yang mulai basah.
“Kemaluanmu basah…” Jari Shakti keluar masuk berulang kali ke dalam lubang kemaluan Ustadzah Lathifah yang licin. Ustadzah Lathifah merasa malu, apalagi dengan reaksi kemaluannya yang tak terduga. Wajah Ustadzah Lathifah berkerut, seolah terkhayal sejenak. Ia menunduk, memandang permukaan meja makan yang ditutupi kain berwarna kuning bermotif bunga. Meja itu telah ribuan kali menjadi tempat berkumpulnya bersama keluarga, namun tak pernah ia berdiri di sana dengan jari seorang pemuda asing di dalam lubang kemaluannya. Shakti terus mencolokkan jarinya, lalu menariknya keluar dan mendekatkannya ke wajah Ustadzah Lathifah. Bau cairan dari kemaluannya sendiri menyadarkan Ustadzah Lathifah.