Hasrat Terpendam Ustadzah Lathifah - Bab 3
“Shakti, dengarkan saya… saya tidak pernah melakukan hal seperti ini,” ujarnya penuh kepasrahan. Sambil berbicara, Shakti memegang pinggang Ustadzah Lathifah. Ia mengangkat dagu Ustadzah Lathifah dan menyeka air matanya. Ustadzah Lathifah tak percaya dengan apa yang sedang terjadi padanya di dapur rumahnya. Ingin rasanya ia berkata-kata, tapi Shakti dengan lembut meletakkan jarinya di atas bibir Ustadzah Lathifah.
“Jangan banyak bicara, Ustadzah… Anda cantik, tahu, membuat saya terangsang…” Shakti menurunkan tangannya ke pantat yang tegap, meremas kain yang menutupi pantat Ustadzah Lathifah. Ustadzah semakin ketakutan, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Rasakan, Ustadzah, rasakan betapa kerasnya batang saya.” Shakti menggesekkan batangnya di paha Ustadzah, memeluk tubuhnya erat-erat. Ia menjauhkan tubuhnya sebentar, membuka jaket kulit hitamnya, memperlihatkan tubuh atletisnya yang hanya mengenakan t-shirt merah. Kemudian, ia kembali memeluk Ustadzah Lathifah.
Ustadzah Lathifah merasa bingung dan tak berdaya, ingin berteriak namun takut Shakti akan menjadi lebih kasar. Shakti meminta Ustadzah untuk menghisap batangnya jika ia ingin dilepaskan. Ustadzah merasakan tangan Shakti di bahunya.
Ustadzah Lathifah terdiam, air matanya menetes perlahan, memohon agar perlakuan ini berhenti. Ia melihat wajahnya sendiri yang penuh ketakutan dalam pantulan kacamata hitam Shakti. Shakti, tanpa berkata-kata lagi, menekan bahu Ustadzah Lathifah dengan tangannya, memaksa wanita itu berlutut di hadapannya.
Dengan perlahan, Ustadzah Lathifah menuruti perintah itu, berlutut di depan Shakti. Ia kini berhadapan dengan sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya—batang Shakti yang tegang, keras, dan memancarkan kilau merah. Lathifah tak mampu menatapnya lama, ia segera menunduk, memandang lantai, sementara Shakti tersenyum puas melihatnya. Rasa malu membanjiri hati Lathifah, ia tak pernah menyangka akan dipaksa melakukan hal semacam ini.
“Tolong, jangan paksa saya,” bisiknya lirih, suara permohonannya hampir tak terdengar. Namun, Shakti seolah tak peduli, ia tetap berdiri dengan angkuh, menikmati kepatuhan Ustadzah Lathifah.
“Tidak perlu malu, Ustadzah,” bisik Shakti, suaranya lembut namun penuh perintah. “Kamu melakukan ini untuk adikmu, Imron, bukan?” Ustadzah Lathifah tak berani menatap wajah Shakti, ia hanya mengangguk pelan, tak berani menolak.
“Tenang saja, rahasia kita berdua. Buka mulutmu, dan aku janji Imron akan aman,” lanjut Shakti, tangannya bergerak ke arah batangnya, seolah meyakinkan Ustadzah Lathifah. Ustadzah Lathifah tak memiliki pilihan, ia mengangkat wajahnya, menatap batang Shakti yang tegak di hadapannya.
Shakti menggesekkan batangnya pada bibir Ustadzah Lathifah, membuat wanita itu terkejut. Ia mengira Shakti akan langsung mendorong batangnya, namun alih-alih, Shakti mengusap kepala Ustadzah Lathifah dengan lembut, seolah menenangkannya. Ustadzah Lathifah merasakan gesekan batang itu pada bibirnya, keras dan tegas. Perlahan, Shakti menekan kepala Ustadzah Lathifah, mendorongnya ke arah batangnya.
Ustadzah Lathifah tak bisa menolak lagi, ia menutup matanya, membuka bibirnya, dan menerima batang Shakti. Ia mencoba menyeimbangkan diri dengan memegang paha Shakti, sementara Shakti mendesah puas saat batangnya masuk ke dalam mulut Ustadzah Lathifah.
Arrrggghhhhh, Ustadzah… mmmmmm… hisap batang saya, Ustadzah.” desah Shakti, tubuhnya mulai mengejang. Dengan gerakan lambat, ia menarik batangnya hingga ujung bibir Ustadzah Lathifah, lalu mendorongnya kembali, berulang kali, perlahan namun pasti. Batang Shakti semakin dalam menerobos mulut Ustadzah Lathifah, membuat wanita itu merasakan denyutan dan gerakan batang itu di dalam mulutnya.
“Oh, Ustadzah… hisap lagi,” erang Shakti, tubuhnya mengejang menikmati sentuhan Ustadzah Lathifah. “Hisap dan genggam batangku, Ustadzah.” Ustadzah Lathifah, dalam pengalaman pertamanya, menurut saja pada perintah Shakti. Ia menggenggam batang Shakti, merasakan keras dan licinnya di tangannya, sementara mulutnya terus menghisap dan mengocok batang itu. Shakti tak melepaskan kepala Ustadzah Lathifah, justru mengusapnya dengan lembut, menikmati setiap sentuhan yang diberikan wanita itu.
Ustadzah Lathifah merasa malu tak terkira, dipaksa melakukan hal semacam ini. Ia hanya bisa berpikir tentang keselamatan adiknya, Imron, yang menjadi alasan ia melakukan perbuatan hina ini. Seperti perempuan murahan, pikirnya, ia melayani nafsu pria di hadapannya.
“Enak, Ustadzah, terus hisap,” Shakti mendesah, mengarahkan Ustadzah Lathifah bagaimana memuaskannya. Ustadzah Lathifah terus menghisap dan mengocok batang Shakti, peluh dingin mengumpul di keningnya. Ia membuka matanya, melihat pemuda di hadapannya dengan gerakan pinggul yang teratur, sementara tangannya memegang kepala Ustadzah Lathifah. Mata Shakti terpejam, menikmati sensasi yang diberikan Ustadzah Lathifah, desahannya semakin kasar.