Hasrat Terpendam Ustadzah Lathifah - Bab 1
Ustadzah Lathifah, 24 tahun, baru saja menikah. Dia tinggal bersama adiknya, Imron, yang dititipkan oleh orang tua mereka dari kampung agar menjaga Lathifah dan memberinya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di kota. Seperti biasa, Ustadzah Lathifah pergi dan pulang mengajar di sekolah yang berdekatan dengan rumahnya.
Suatu sore, setelah pulang dari sekolah, Ustadzah Lathifah mandi seperti biasa. Setelah berpakaian, dia menuju dapur dan mencium aroma kopi segar yang mengejutkannya. Sebelumnya, dia memang telah merebus air untuk minum sore, namun aroma kopi itu tidak disangka. Dia juga mendengar suara pintu kulkas ditutup. Dengan setengah berlari, Ustadzah Lathifah menuju dapur.
“Imron… Imron…” panggilnya pelan, mengira adiknya telah pulang. Saat sampai di pintu dapur, dia terperangah. Seorang pemuda yang tidak dikenalnya sedang duduk di meja, menyeruput kopi.
“Siapa kamu?” tanyanya. Pemuda itu tampak seperti preman. Berusia awal dua puluhan, tubuhnya sedang, kulitnya cerah, dan berpakaian serba hitam. Rambutnya pendek dan berduri ala komando, dan ia mengenakan kacamata hitam. Ustadzah Lathifah merasa gemetar, namun berusaha mengendalikan diri agar pemuda itu tidak menyadari ketakutannya. Pemuda itu tidak menjawab pertanyaannya.
Dengan perlahan, dia meletakkan tangannya di atas meja dan terus menyeruput kopi panasnya. Ustadzah Lathifah berusaha mengancam sambil membetulkan kacamatanya untuk melihat pemuda itu dengan lebih jelas.
“Lebih baik kamu keluar… kalau tidak!” Ustadzah Lathifah mencoba menunjuk dengan tegas, meskipun butiran keringat dingin mulai terlihat di dahinya karena ketakutan.
“Ustadzah Lathifah, benar?” tanya pemuda itu.
“Siapa kamu?” balas Ustadzah Lathifah, rasa takutnya semakin menjadi ketika namanya disebut.
“Siapa saya? Itu tidak penting, Ustadzah. Yang penting adalah bahwa adikmu, Imron, berhutang kepada saya.”
“‘Imron? Berhutang? Apa yang telah kau lakukan padanya? Di mana dia sekarang?”
“Dia baik-baik saja, Ustadzah. Jangan khawatir.”
Ustadzah Lathifah melirik telepon di dinding dapurnya. Dia bergegas dan mengangkat gagang telepon, namun tak ada nada sambung. Saat itulah, pemuda itu mulai tertawa.
“Tidak perlu menelepon siapa pun, Ustadzah. Saya sudah memutus sambungan telepon saat kamu mandi tadi.” Ustadzah Lathifah kebingungan harus berbuat apa. Seorang pemuda yang tak dikenal berada di rumahnya. Ia berusaha tenang, namun rasa takut telah menguasainya, hingga air matanya mulai mengalir.
Pemuda itu bangkit dan melangkah mendekati Ustadzah Lathifah. “Ustadzah, saya tidak ingin membuat keributan. Saya hanya ingin barang saya kembali. Berikan pil-pil itu, dan saya berjanji akan pergi serta beri tahu teman-teman saya untuk membebaskan Imron.”
“Pil-pil itu… saya sudah membuangnya… semuanya sudah saya buang. Tidak ada lagi. Saya buang ke dalam selokan besar di belakang rumah!” Pemuda itu tidak berkata apa-apa, hanya menundukkan kepala menahan amarah. Lalu, dengan wajah memerah, dia melompat ke arah Ustadzah Lathifah, mencekiknya dengan kuat.
“Celaka! Imron memberitahu saya bahwa kamu membuang barang itu di selokan. Saya tidak percaya, saya pikir dia berbohong!” ujar pemuda itu dengan kasar, mulai menunjukkan sifat aslinya. Tangan lelaki itu masih mencengkeram leher Ustadzah Lathifah, tubuhnya yang tinggi mendesak ke dinding dapur. Ustadzah Lathifah teringat kejadian dua hari lalu ketika Imron berulang kali berkata, ‘…matilah Imron kak… matilah Imron…’ Saat itu, Ustadzah Lathifah tidak memahami maksud adiknya hingga dia mendapati dirinya dalam situasi yang menegangkan ini.
“Lepaskan saya… lepaskan… pil-pil itu tidak ada pada saya, saya sudah membuangnya!” Pemuda itu mundur selangkah lalu menampar wajah Ustadzah Lathifah dengan keras. Tamparan itu mengguncang seluruh tubuhnya. Kacamata Ustadzah Lathifah miring, dan dia segera merapikannya kembali. Seumur hidupnya, Ustadzah Lathifah belum pernah ditampar. Rasa sakitnya sangat luar biasa. Dia berusaha menolak pemuda itu untuk membebaskan diri, namun tangan pemuda itu mencengkeram tangannya dengan kuat.
“Ustadzah, jangan membuat saya marah. Saya mencoba bersikap baik dengan kamu. Beri saja barang saya itu. Jangan berbohong. Ingat, Ustadzah, Imron ada bersama kami.”
“Apa lagi yang kamu inginkan? Saya sudah bilang, barang-barang itu sudah saya buang ke selokan. Tidak ada yang tersisa!” Pemuda itu kembali mengancam, dan Ustadzah Lathifah dapat melihat ancamannya dari tatapan matanya dan gerakan menggeretakkan gigi.