Gairah Ustazah Rania - Bab 14
“Ahhhh Justinnnn… Ummphhh… Nikmatnya… Ahhh…” Aku mengerang kesenangan. Meskipun tertutup helai jubah dan tudung labuh, aku masih bisa merasakan hangat dan basah mulut dan lidah Justin di putingku yang semakin keras. Nafasku semakin tidak teratur.
“Ummphh… Ustazzahhh… Srrppp!” Justin mengisap penuh nafsu, dan sesekali menggigit manja payudaraku, sebelum mulutnya bergerak ke puting yang satunya lagi. Memberi kenikmatan yang sama ke payudaraku.
“Ahhh… Justinnn… Ummphh!! Ummphh!!” Aku mengerang kesenangan. Satu tangan Justin meremas payudaraku dan satu lagi memeluk pinggangku erat, memastikan tubuhku rapat dengannya. Dan aku juga menginginkannya.
Aku menggigit bibir bawah penuh nafsu sambil mulai mengusap kepala Justin, membiarkan Justin menikmati payudara besarku meskipun tertutup tudung labuh dan jubah. Tanganku seolah bergerak sendiri, turun mencapai batang keras Justin lalu aku kocok perlahan. Ingin dia merasakan kenikmatan yang sama.
Aku tidak tahu berapa lama Justin menikmati payudaraku, dan aku tidak peduli. Aku membiarkan saja Justin menikmati payudaraku. Sambil terus mengocok batangnya perlahan. Kemudian, Justin menarik wajahnya sebelum kembali mencium bibirku. Lidah kami kembali bertautan penuh nafsu.
Aku bisa merasakan ciuman Justin lebih ganas kali ini. Lidahnya sedikit rakus di dalam mulutku, dan tangannya mulai bergerak ke celah pahaku. Jubahku ditarik sedikit sebelum jemarinya menangkap vagina montokku. Membuatku mengerang sedikit terkejut namun nikmat ke dalam mulut Justin.
“Ummphh!!” Aku mengerang. Justin tidak melepaskan ciuman. Bibirnya dibiarkan bertaut dengan bibirku sambil jemarinya terus menggesek bibir vaginaku di luar jubah. Seperti yang dilakukan di dalam mobil beberapa minggu lalu.
Nafasku semakin cepat dan berombak, mulai membiarkan mulutku dirasakan Justin sepuasnya. Tanganku memeluk leher Justin dengan tubuhku yang melengkung-lengkung dengan vagina yang digesek Justin. Aku sangat kagum dengan Justin, karena meskipun baru sekali dia bermain dengan vaginaku, dia seolah sudah tahu bagaimana menyentuhku supaya aku merasa begitu nikmat.
“Ahhh Justinn! Ummphhh!!!” Justin terus menciumku penuh nafsu. Tangannya tidak henti-henti menggesek bibir vaginaku dan juga klitoris. Membuat tubuhku melengkung dan terangkat kesenangan. Nafasku semakin tidak keruan.
Meskipun masih tertutup jubah, aku tahu cairan dari vaginaku semakin meresap ke kain jubah. Pahaku mulai mengepit tangan Justin yang tidak berhenti itu. Jemarinya mulai menggesek-gesek vagina montokku semakin rakus. Dengan lidahnya terus menguli lidahku penuh nafsu.
“Ummphh!! Ir…!! Justin!! Ummph!! Ahhh!” Aku mengerang di tengah ciuman kami, merasakan diriku semakin mendekati puncak. Tubuhku melengkung nikmat dan aku mulai memegang lengan Justin erat. Nafasku semakin cepat, dan aku tahu Justin juga menyadari bahwa aku sudah hampir mencapai klimaks.
“Ummmphh ustazah… Ahh…” erang Justin di antara ciuman kami. Aku mengangguk cepat. Aku memegang lengan Justin erat sebelum pahaku mengepit lengan Justin kuat. Tubuhku melengkung nikmat dan dengan itu, vaginaku mengencang, memancarkan cairan kenikmatan ke jari-jari Justin yang masih terlapisi tudung panjangku.
Nafas kami semakin berat. Justin berhenti menggesek, namun jemarinya masih berada di antara pahaku. Tubuhku bergetar dari klimaks yang baru saja terjadi. Perlahan-lahan, Justin melepaskan ciumannya dari bibirku. Mata kami bertemu.
“Ummph… Justin ini… Nakal…” godaku. Justin tersenyum nakal sebelum mencium pipiku. Sesuatu yang belum pernah dia lakukan sebelumnya. Pipiku berubah merah.
Belum sempat aku berbuat apa-apa, Justin menarik kursinya lalu duduk. Aku merasa sedikit bingung.
“Urm… Boleh nggak… Untuk yang terakhir ini… Ustazah… Urm… kocok batang saya pakai tudung panjang ustazah…? Seperti pertama kali dulu…?” tanyanya. Wajahku memerah, teringat apa yang aku lakukan dengannya dulu. Aku mengangguk sebelum turun berlutut di antara pahanya.
Perlahan aku membawa tanganku ke bawah tudung panjangku, lalu membalut batang Justin dengan tudung panjangku itu, sebelum aku mulai mengocok batangnya ke atas dan ke bawah.
“Ummphh… Ustazah…” erangnya manja. Aku tersenyum nakal sebelum menundukkan kepalaku sedikit, lalu menjilat kepala batangnya yang berdenyut itu. Aku tahu Justin tidak akan bisa menahan lama kali ini.
“Ummph… Justin mau keluar di mana…?” tanyaku. Justin tersenyum, wajahnya sedikit ragu-ragu.
“Urmm… Jawablah, Justin…” bujukku sambil tanganku yang terlapisi tudung panjangku masih mengocok batangnya ke atas dan ke bawah. Justin melihat ke dalam mataku. Bibirnya terbuka sedikit sebelum menjawab.
“D… Dalam pantat ustazah…” jawabnya. Mataku sedikit membulat. Aku tahu Justin juga tahu bahwa aku melarangnya untuk masuk ke dalamku. Maka untuk keluar di dalamku adalah hal yang mustahil. Aku tidak menjawabnya. Aku menggigit bibir bawah sebelum terus mengocok batang Justin ke atas dan ke bawah semakin cepat.
“Ummphh… Ustazah…” Justin mengerang kenikmatan dan dari denyut batangnya, aku tahu dia semakin dekat lagi. Aku tidak tahu apa yang kupikirkan. Aku menggenggam batangnya erat, tidak ingin dia keluar lagi. Justin sedikit terkejut dengan apa yang kulakukan.
Aku bangkit berdiri, dan jujur saja aku merasa seolah kehilangan kontrol diri.
Aku mulai memanjat tubuh Justin yang sedang duduk itu, jubahku kutarik sedikit cukup untuk naik ke atas Justin. Batang Justin yang tidak kulepaskan dari tadi kubawa ke bibir vaginaku. Mataku bertemu dengan mata Justin.
“Umm… Begini… keluar dalam ustazah… Oke…?” kataku manja, ingin mewujudkan permintaan terakhir Justin. Justin sedikit terkejut sebelum mengangguk.
Aku kemudian menurunkan tubuhku, lalu membawa batang Justin masuk ke dalam vaginaku. Inci demi inci. Meskipun vaginaku sudah tidak perawan, masih terasa ketat, sedikit pedih saat dibuka dan disumbat batang Justin.
“Ummphhh!! Ahhh Justinnn…!! keluar dalam ustazah, Justin!!” Aku mengerang kenikmatan. Vaginaku yang masih basah dari klimaks tadi mengencang batang Justin erat.
“Ahhh ustazahhh!!” Justin mengerang nikmat sebelum meremas pantatku. Batangnya berdenyut kuat di dalam vaginaku lalu Justin mendorong batangnya dalam-dalam. Memenuhi vaginaku dan dengan itu, batangnya memancarkan limpahan demi limpahan air mani panasnya ke dalam vaginaku yang dahaga.
“Ahhh Justinn!! Justinn!!” Aku mengerang kenikmatan merasakan vaginaku dipenuhi air mani Justin. Vaginaku terus-menerus mengencang batang Justin yang masih memuncrat. Nafasku berombak mengikuti denyutan batang Justin. Sambil tubuhku bertemu tubuhnya. Aku merebahkan kepalaku ke bahunya sambil vaginaku dipenuhi air maninya.
“Ummph… Ahhh… Justin… Panasnya air mani kamu…” kataku. Justin hanya tersenyum sebelum bibirnya mencium kepalaku, membuat wajahku merah lagi.
“Ummm… Terima kasih, ustazah…” bisiknya pelan. “Untuk semuanya…”
Aku diam sebentar. Entah mengapa, air mataku mulai berlinang sedikit. Mengetahui ini kali terakhir aku akan ‘bersamanya’. Dan meskipun setelah ini kami masih akan bertemu di kelas, itu tidak akan sama seperti sekarang.
“T… Terima kasih juga, Justin…” jawabku. Merebahkan kepalaku di bahunya, menyembunyikan mataku yang berlinang.
**************
2 TAHUN KEMUDIAN
iPhone6 berbunyi dari kursi penumpang di sebelah. Mobil yang aku kendarai kuperlambat sedikit sebelum meraih iPhone tersebut. Nama di layar terlihat.
Mama
Aku menarik napas sebelum menekan simbol hijau. iPhone kubawa ke telinga.
“Assalamualaikum, Mama…” aku memulai percakapan.
“Wa’alaikumsalam… Kamu di mana sekarang? Rombongan sudah hampir sampai…” kata Mama.
“Mama… On the way ini… Saya baru selesai meeting… Ah… Kalau sampai pun, Mama mulai saja… Bukannya saya harus ada di sana…” kataku bercanda.
“Hah, memangnya mau disarungkan cincin di jari Mama pun! Ish kamu ini… Yah, cepat sedikit… Mengemudinya hati-hati…” pesan Mama. Aku tertawa kecil sebelum mematikan telepon.
Dua tahun sejak kejadian itu. Sekarang umurku 26 tahun. Dan sepanjang setahun ini, Mama tidak berhenti ngomel soal menikah. Hampir semua anak teman-temannya dikenalkan padaku. Namun semua kutolak mentah-mentah.
Aku bilang pada Mama bahwa aku belum siap. Padahal hatiku masih terpaut pada Justin. Meskipun aku tahu setelah SMA, pasti dia melanjutkan kuliah, dan akan bertemu perempuan yang lebih baik dan sebayanya.
Namun, entah mengapa, untuk calon yang kali ini, aku setuju saja. Mungkin karena aku sudah bosan dengan ceramah Mama yang ingin aku cepat menikah. Dan berdasarkan testimoni, kebanyakan lelaki pilihan Mama adalah pilihan yang tepat. Jadi aku relakan saja.
Mungkin aku akan termasuk dengan mereka yang jatuh cinta setelah menikah? Harapannya begitu.
Mobil kuparkir di tempat biasa. Terlihat dua mobil yang aku tidak kenali. Sudah sampai, ya…?
Aku membetulkan tudung panjangku di cermin sebelum keluar dari mobil. Perlahan aku melangkah menuju pintu dengan hati yang sangat berdebar. Aku juga tidak tahu kenapa.
“Assalamualaikum…” aku memberi salam pelan. Namun cukup keras untuk semua yang duduk bersila itu mendengarnya. Semua kepala berpaling melihatku. Aku tersenyum sopan sebelum mataku tertuju pada seorang pria yang duduk di sebelah pria yang lebih tua, mungkin ayahnya.
Pria yang aku kenal benar…
Pria yang mengambil keperawananku…
Pria yang mengambil hatiku…
Justin!!!
~END~