Gairah Ustazah Rania - Bab 13
Aku melipat sejadah bersama telekungku dan meletakkannya di samping. Aku menarik napas dalam-dalam, merasa air mataku masih mengalir membasahi pipiku. Aku menggigit bibir bawahku sebelum duduk di pinggir tempat tidur. Apa yang terjadi dengan Justin tiga hari lalu menyadarkanku. Aku sudah terlalu jauh jatuh dalam dosa.
Aku seorang ustazah. Seharusnya aku tidak bersikap seperti ini.
Di kelas hari ini, aku bahkan tidak berbicara atau memandang wajah Justin. Entah mengapa aku merasa sangat menyesal. Aku sadar aku sayang Justin, tapi aku juga sadar bahwa perasaan ini telah membawaku ke dalam dosa yang terlalu dalam bagiku.
Tak kusangka, niat baikku dulu kini menjadi begini.
Aku telah memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini dengan Justin. Lagipula, Justin akan menghadapi ujian dalam lima bulan lagi. Justin perlu fokus.
Aku menarik napas dalam, tahu bahwa aku benar-benar bertekad kali ini.
******************
Aku meletakkan buku terakhir yang tadi aku tanda di meja samping. Menarik napas dalam sebelum mengambil iPhone 6 dari dalam tas. Pelan-pelan aku membuka WhatsApp Justin. Subuh tadi aku sudah mengirim pesan padanya, memintanya datang ke ruang guru Panitia Pendidikan Islam setelah sekolah selesai. Aku tahu semua guru pendidikan Islam hari ini ada kegiatan masing-masing.
Tiba-tiba pintu ruang guru diketuk pelan. Aku bangkit dan berjalan menuju pintu, lalu membukanya. Melihat Justin di luar.
“Assalamualaikum, Ustazah…” Justin memberi salam sopan.
“Wa’alaikumsalam… Masuklah…” Aku mengundangnya masuk. Justin melepaskan sepatunya dan masuk. Aku dan Justin duduk di mejaku. Seperti beberapa minggu lalu, Justin menarik kursi dari meja sebelah dan duduk di sampingku.
“Urm… Kenapa ustazah mau bertemu saya hari ini?” tanyanya. Kami berdua tahu hari konseling masih empat hari lagi.
“Saya ada sesuatu yang ingin saya sampaikan, Justin… Dan saya harap kamu mengerti…” kataku pelan, mengeluarkan kata-kata yang telah aku latih dari tadi malam.
“Er… Apa itu, ustazah?” tanyanya ingin tahu.
“Urm… Kamu tahu kan apa yang kita lakukan waktu itu salah?” tanyaku. Justin diam sebentar sebelum mengangguk.
“T… Tahu, ustazah…” jawabnya pelan.
“Saya ini… ustazah, Justin… Saya… Saya tidak seharusnya melakukan itu dengan kamu… Saya… Saya mengaku saya juga salah… Tapi… Apa yang kita lakukan waktu itu… Sudah… Urm…” Aku tidak menyelesaikan kalimatku. Tapi aku tahu dia mengerti. Dia telah mengambil daraku. Dara yang seharusnya disimpan untuk suami sahku.
Justin mengangguk paham.
“S… Saya mengerti, ustazah. Maksudnya… Ustazah tidak mau membantu saya lagi… Kan?” jawabnya pelan. Dari nadanya, aku tahu dia tidak marah, hanya kecewa. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Dan aku tahu dia tahu jawabanku dengan diamku itu.
Justin mengangguk.
“Saya mengerti… Tapi… Kalau saya… Urm… Mau minta sekali lagi… Untuk terakhir kali, boleh…? S… Saya ingin… Saya ingin mengingatnya dengan baik…” katanya pelan.
Aku menggigit bibir bawah. Merasa bersalah karena aku tahu aku juga penyebab kami akhirnya berzina. Mataku bertemu dengannya.
“B… Baiklah… Tapi… Kita tidak boleh melakukan… ‘itu’… tau…” kataku. Dan aku tahu dia paham. Dia mengangguk.
Aku seolah kaku, seperti pertama kali. Justin memulai dulu. Perlahan tangannya meraba pahaku yang tertutupi jubah itu. Di bawah jubah biru muda itu, aku memakai kain tights hitam tipis. Dan aku bisa merasakan jari-jari Justin meraba pahaku, mulai meremas lembut.
Justin mendekatkan tubuhnya sedikit sebelum tangan yang satunya lagi mengambil tanganku, lalu perlahan diletakkan di atas tonjolan di celananya yang sudah mengeras itu. Aku perlahan mengocoknya dari luar celana.
“Urm… Tapi kamu harus janji juga… Meskipun saya tidak membantu kamu lagi… Kamu tidak boleh onani atau nonton video porno lagi, tau…” kataku. Justin mengangguk pelan sebelum dia mencium leherku di luar tudung labuh biru tuaku itu.
“Umppph… Justin…” Aku mengerang lembut. Tangan Justin perlahan naik ke bawah tudung labuhku itu. Payudaraku yang membulat itu diremas pelan, jari-jarinya mulai tenggelam ke dalam daging payudaraku meskipun masih berlapis bra. Aku terus mengocok batang Justin dari luar, sebelum tanganku mencapai celananya lalu perlahan membukanya. Nafasku semakin berat dari sentuhan Justin itu.
Aku perlahan menarik keluar batang keras Justin itu. Lalu aku kocok pelan, merasakan betapa kerasnya batang panas itu di tanganku. Aku menggigit bibir bawah sebelum bibir Justin mencium telingaku di luar tudung labuhku itu. Tangannya terus-menerus meremas payudaraku yang besar dan montok itu di dalam tudung labuhku.
Nafasku dan Justin semakin berat, dan aku mengetatkan genggamanku ke batang keras panas Justin itu sambil terus mengocoknya.
Tiba-tiba, Justin bangun lalu menarikku berdiri bersamanya. Bibirku dicium lembut oleh Justin dan aku mulai membalasnya perlahan. Tak lama, lidah kami mulai bertautan penuh nafsu, melepaskan napas dan erangan ke dalam mulut masing-masing, dengan tanganku masih mengocok batangnya, dan tangannya masih meremas payudaraku rakus.
“Ummphh… Ustazah…” Justin mengerang lembut sebelum tangannya turun meremas pantatku yang terasa semakin membulat itu. Membuatku mengerang manja ke dalam mulut Justin. Jari-jarinya tenggelam ke dalam daging pantatku meskipun tertutupi jubahku itu, dengan tangan yang satunya lagi meremas payudaraku penuh nafsu, merasakan pejalnya payudaraku itu.
Aku menyadari bahwa kali ini Justin menciumku lebih lama. Dan aku membiarkannya saja. Aku menyukai rasa lidahnya bersatu dengan lidahku. Dan aku suka mendengar erangannya di dalam mulutku. Sambil tanganku terus mengocok batang Justin, muridku itu.
Tangan Justin tiba-tiba bergerak dari payudaraku naik ke leherku di luar tudung labuhku itu, lalu dipegang kepalaku sedikit. Sambil tangan yang satu lagi masih meremas pantat bulatku itu semahunya. Kemudian ciuman dilepaskan oleh Justin. Aku menggigit bibir bawahku, sedikit malu, karena aku menginginkannya lagi.
“Urm… Hisap batang saya, ustazah…?” tanyanya. Aku tersenyum nakal sedikit sebelum mengangguk. Perlahan aku berlutut di hadapan Justin, muridku itu. Batang yang sejak tadi aku genggam aku kocok perlahan sebelum bibirku mencium keliling batang Justin. Tahu bahwa ini adalah kali terakhir aku akan memuaskan muridku ini, aku sengaja mencium lebih lama.
Justin hanya melihat perilakuku itu, sesekali tangannya membelai kepalaku yang tertutupi tudung labuhku itu. Dan sesekali aku sengaja melihat ke atas sambil mencium batangnya.
Kemudian, perlahan aku letakkan bibirku ke kepala batangnya, sebelum aku dorong batangnya masuk ke dalam mulutku. Aku masukkan setiap inci batang Justin ke dalam mulutku, dan aku hisap pelan. Aku mulai menggerakkan kepalaku ke depan dan belakang pelan, menikmati benar-benar rasa batang Justin di dalam mulutku.
Rasa panas itu…
Rasa keras itu…
Rasa denyutannya itu…
Tanganku yang satu lagi mencapai kantung maninya lalu aku kocok perlahan, sambil aku mulai menggerakkan kepalaku sedikit lebih cepat. Cukup pelan untuk masih menikmati batangnya di dalam mulutku, dan cukup cepat untuk menambah kenikmatan pada batang Justin itu.
“Ahhh… Ustazah… Ummphh… Pasti saya akan merindukan rasa… Ummph… Mulut ustazah ini… Ahh…” erang Justin kesenangan. Aku hisap sedikit lebih kuat, sambil mataku bertemu dengan mata Justin, memberi isyarat bahwa aku juga akan merindukan batangnya di dalam mulutku itu.
Aku mulai melajukan gerakan wajahku. Batang Justin kubawa semakin dalam menyentuh tenggorokanku. Aku terus mengocok dasar batang Justin sambil terus menghisap dan mengulum batang muridku itu. Justin mengerang kesenangan sambil tangannya direhatkan di atas kepalaku.
Tanganku yang satunya lagi aku biarkan di paha Justin, sambil aku mempercepat gerakan kepalaku.
“Ahhh… Ustazah… Nikmatnya… Ummphh…” erang Justin penuh kenikmatan. Aku bisa merasakan batangnya berdenyut semakin kuat. Aku tidak ingin Justin mencapai klimaks terlalu cepat, maka aku keluarkan batangnya dari mulutku. Perlahan aku mencium kepala batangnya sambil menggenggam kuat pangkalnya. Aku pernah membaca bahwa melakukan itu bisa mengurangi keinginan pria untuk keluar.
“Umm… Justin sudah ingin keluar, ya?” godaku. Justin mengangguk dengan wajah malu. Aku tersenyum nakal sebelum turun dan menjilat serta mencium kantung maninya, membiarkan batang Justin sedikit lega.
Kemudian aku bangkit dan menunggingkan pantatku untuk Justin, tahu bahwa dia menyukainya. “Urm, Justin, mainkan dulu pantat ustazah…” godaku. Justin tersenyum nakal dan tanpa menunggu lama, dia berlutut. Masih tertutup jubah hitamku, kedua tangan Justin mulai meremas pantatku dengan rakus. Bibirnya mulai mencium daging pantatku yang masih tertutup jubah.
Perlahan, tangan Justin masuk ke dalam jubah labuhku, lalu menarik turun kain dalam dan pantiesku. Aku membiarkannya saja. Bibir dan tangan Justin merasakan daging pantatku sepuasnya. Jemarinya menjelajahi setiap inci daging pantatku—meremas, mengulen, dan merasakan daging pantat bulatku yang kenyal. Meskipun memakai jubah, pantatku yang bulat masih menonjol menarik perhatian mata-mata nakal.
Aku melengkungkan pantatku lebih dalam untuk Justin, membiarkan tangannya menikmati daging pantat bulatku. Aku menggigit bibir bawahku nakal, melihat muridku melahap pantatku.
“Ummphh… Justin suka pantat ustazah, ya?” godaku nakal. Justin mengangguk. Aku bisa merasakan Justin menggigit pantatku pelan sebelum dia bangkit. Tangannya terus meremas pantatku sebelum batang kerasnya ditempatkan di celah pantatku.
“Umphh… Sudah sedikit lega?” tanyaku. Justin mengangguk. Batangnya ditekan di antara daging pantatku yang hanya tertutup jubah tipis. Tubuhnya mendekat sebelum tangannya bergerak ke depan, lalu meremas payudaraku dengan rakus di atas tudung labuhku.
“Ummph… Saya hanya ingin ustazah… Saya ingin ustazah selamanya…” bisik Justin ke telingaku. Aku menggigit bibir bawahku, wajahku memerah mendengar kata-kata itu. “Urmph… Tapi Justin… Kita tidak bisa… Kamu murid saya… Kita tidak boleh… Ummphh…” Aku mengerang lembut sambil memegang meja.
pantatku kemudian digesek batang keras Justin, maju dan mundur. Membuatku mengerang manja.
“Ahhh… Justin… K… Keras sekali batangmu… Ahh…” Aku mengerang manja. Justin mulai menggesekkan hidung dan wajahnya ke leherku yang tertutup tudung labuh, sambil kedua tangannya meremas payudaraku yang tertutup tudung, jubah, dan bra.
“Ummmph… Ustazah yang membuat batang saya keras…” jawabnya.
“Ahhh… Tapi ustazah tidak ada saat kamu… Ummphh… Mulai onani… nonton video porno itu…” godaku kembali. Sengaja aku gunakan kata “onani”. Tahu bahwa ini mungkin kali terakhirku, jadi aku bisa sedikit nakal.
Aku bisa merasakan batang keras panas Justin terus digesek di antara daging pantatku, maju dan mundur. Dari betapa kuatnya dia menekan di celah daging pantatku, aku tahu Justin ingin menikmati sepuasnya juga pantat bulatku.
Aku memegang meja erat, menikmati tangan Justin yang meremas payudaraku. Aku menggigit bibir bawah, membiarkan tubuhku dinikmati Justin sepuasnya. Nafasku semakin tidak teratur, dan aku bisa merasakan cairan dari vaginaku semakin mengalir ke paha.
Belum sempat aku melakukan apa-apa, Justin menarik batangnya sebelum meremas pantatku, lalu menamparnya sedikit keras.
“Ahhh! Justinn!!” Aku mengerang sedikit sakit namun terasa nikmat. Justin tersenyum nakal sebelum memutar tubuhku. Bibirnya kembali mencium bibirku dan tangannya kembali menjelajahi tubuh ustazahnya. Aku hanya bisa memeluk lehernya, membiarkan tubuhku dirasakan muridku itu.
Lidah kami kembali bertautan penuh nafsu. Erangan bertemu erangan. Nafas bertemu nafas. Tangan Justin turun ke payudaraku, lalu meremasnya dengan rakus. Dari luar jubah itu, Justin menarik turun bra-ku, cukup untuk melimpahkan payudaraku di dalam jubah.
Tangan Justin kemudian keluar sebelum meremas payudaraku dari luar. Jemarinya sengaja menarik sedikit tudung labuhku, mengetatkan di bagian payudaraku sehingga putingku menonjol walaupun di atas tudung labuh. Justin melepaskan ciuman sebelum tersenyum nakal. Dan aku tahu apa yang dia ingin lakukan.
Wajahnya turun lalu mulutnya menangkap putingku yang menonjol di atas tudung labuh. Tubuhku melengkung kesenangan di atas mejaku. Tanganku mulai mendorong segala buku dan kertas di atas meja.