Gairah Ustazah Rania - Bab 07
Ujian tengah semester telah berlalu. Dan selama tiga minggu, setiap kali aku bertemu dengan Justin di ruang BP, aku selalu ‘membantunya’ melepaskan air mani-nya. Dan dengan setiap kali itu, aku semakin merasa ingin lebih. Sejak aku belajar apa itu masturbasi, aku berusaha menahan diri untuk tidak menyentuh diriku sendiri ketika Justin ada di sampingku. Menahannya sampai aku sampai di rumah.
Hari ini aku terlalu sibuk dengan rapat dan pekerjaan kantor, semua ini karena Program Ujian Nasional yang akan diselenggarakan dalam satu atau dua bulan ke depan. Kami perlu mencari sponsor, tempat, dan lain-lain. Rapat itu berlangsung lama sampai sore hari.
Aku menghela nafas perlahan, sedikit lelah ketika aku sampai di mobil Honda ku. Tas yang berisi dokumen kerja dan contoh soal ujian lama ku letakkan di belakang, sebelum aku masuk ke kursi pengemudi.
Aku melihat ke jendela, ada titik-titik air halus yang mulai turun. Hujan ya? Aku berpikir.
Aku cepat menutup pintu mobil lalu menghidupkan mesinnya. Satu per satu mobil guru-guru yang hadir di rapat tadi mulai meninggalkan area sekolah. Aku membiarkan AC mendinginkan mobil sedikit dan menyalakan mesin mobil, sebelum aku menekan rem tangan lalu menekan pedal gas.
Perlahan membawa mobilku keluar dari area sekolah, dan mataku melihat seseorang yang aku kenal, Justin? Dia berjalan sendirian di luar area sekolah. Dan titik-titik halus tadi semakin deras.
Aku perlahan menghentikan mobil di pinggir jalan di dekat Justin lalu aku membuka jendela.
“Justin! Masuk saja! Aku antar.” Aku katakan. Justin sedikit terkejut, sebelum dia tersenyum lalu masuk ke dalam mobilku. Tasnya dibuka lalu diletakkan di bawah.
“Terima kasih Bu…” katanya. Aku mengangguk.
“Kenapa kamu pulang terlambat hari ini Justin?” Aku tanya, melihat Justin masih memakai seragam sekolahnya.
“Oh… Ada pertemuan Klub Seni tadi, Bu…” jawabnya. Aku mengangguk lagi.
“Eh, rumahmu dekat mana ya?” Aku tanya. Justin kemudian memberitahuku arah untuk pergi ke rumahnya.
Hujan semakin deras, dan aku semakin sulit melihat jalan. Mobilku perlahan memasuki area perumahan dua lantai.
“Tidak jauh lagi Bu…” katanya. Aku pun terus mengemudi mobilku sampai masuk ke tempat parkir beratap di samping rumah ujung itu.
“Ini rumahmu kan?” Aku tanya, menunjuk ke rumah di samping. Dia mengangguk.
“Habis… kenapa kamu mau aku berhenti di sini?” aku tanya. Dan aku tahu alasannya.
“Erm… Bu… Bolehkah kamu membantuku…?” dia bertanya sedikit takut. Aku menggigit bibirku, wajahku terasa panas mendengar permintaan Justin itu.
“Kamu punya sarung tangan hari ini?” Aku tanya, melihat kita tidak memiliki janji pertemuan hari ini.
“Ehm… Tidak ada, Bu…” jawabnya dengan sedikit kecewa. Aku tidak tahu mengapa, tapi hatiku benar-benar tergerak oleh Justin ini. Meskipun dia sering berkelakar, sikap lembutnya membuatku ingin membantunya. Aku menghela napas dalam-dalam.
“Erm… Kalau begitu, tak apa… Keluarkan saja…” aku perlahan bilang. Kurang yakin dengan apa yang aku mau lakukan. Justin tersenyum nakal sebelum membuka ikat pinggangnya, lalu batang kerasnya ditarik keluar, mencuat ke atas dan keras.
“Erm… Batangmu ini… Kalau tidak keras, aku tidak akan melakukan ini…” aku bilang sebelum tanganku perlahan mencapai batangnya, tidak berlapis. Kali ini, kulit telapak tanganku bertemu dengan kulit batang Justin yang keras itu, lalu aku genggam perlahan. Aku bisa merasakan panas batangnya di tanganku, membuat darahku semakin bergairah.
“Ummm… Bu…” erang Justin perlahan. Suara hujan deras turun menghantam bumi, dan juga atap tempat parkir milik ayah Justin itu. Aku mulai mengocoknya ke atas dan ke bawah, tanpa sadar yang kali ini tangan kananku mulai bergerak ke celah vaginaku.
Dan Justin menyadarinya.
“Erm… Bu… Bu maukah aku membantumu juga…?” Dia bertanya. Mataku membulat sedikit mendengarnya.
“Maksudmu… Kamu mau membantuku… Erm… Masturbasi…?” aku tanya. Justin mengangguk. Aku menggigit bibirku sambil terus mengocok batang Justin itu. Sebagian dariku menginginkannya, ingin merasakan bagaimana rasanya sentuhan pria pada vaginaku. Namun aku masih harus menetapkan batas.
“Erm… Baiklah… Tapi sebentar… Jangan lihat dulu… Lihat ke luar…” aku arahkan sambil aku menarik tanganku dari batang keras Justin. Justin sedikit bingung sebelum dia melihat ke luar jendela, patuh dengan arahanku.
Aku ingat pertama kali menyentuh diriku sendiri, yang tidak terlalu saya rasakan karena berlapis beberapa lapis pakaian. Maka, jika aku ingin Justin membantuku, aku perlu mengurangi lapisan antaraku dan Justin.
Tanganku menarik gaunku sedikit ke atas, cukup untuk aku memasukkan tanganku ke dalam, lalu perlahan aku menarik kain dalamku, dan celanaku turun hingga bawah lutut. Sekarang, vaginaku yang mulai basah itu mulai berdenyut hanya berlapis gaunku yang longgar itu.
“Sudah…” aku perlahan bilang. Justin memutar kembali wajahnya, pada awalnya wajahnya heran tidak melihat perubahan padaku, kemudian dia melihat kain dalamku dan celanaku yang bergulung di betisku. Lalu dia tersenyum nakal.