Gairah Ustazah Rania - Bab 02
“Saya… Saya tidak tahu… Saya hanya menjadi tidak tahan… Dan terkadang… Saya terpaksa onani untuk… Mengurangi gairah saya… Karena kalau semakin saya terangsang… Semakin saya tidak bisa fokus…” Jawabnya.
“Seperti sekarang…” Katanya.
Mataku membulat mendengarnya.
“Ustazah… Saya… Saya ingin masturbasi di depan Ustazah boleh?” Tanyanya.
Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Dan aku yakin aku tidak pernah belajar dahulu apa yang harus kulakukan dalam posisi ini. Justin bukannya ingin melakukan apa-apa padaku, dia hanya ingin… Er… Melegakan dirinya?
“Boleh Ustazah…? Urm… Kalau tidak, alat kelamin saya… Sakit…” Jawabnya. Dan aku tidak tahu apakah itu benar atau bohong untuk meminta simpatiku. Wajahku yang putih bersih itu memerah. Rasa bersalah, takut, dan malu melanda diriku.
Tapi jauh di lubuk hatiku, setan telah berbisik padaku. Urm… Aku juga ingin tahu bagaimana onani itu…
“Er… Saya… Urm… B… Baiklah…” Jawabku. Aku memegang alas bantalan tadi sedikit erat, menjadi gugup dan gemetar.
Pelan-pelan Justin membuka ikat pinggangnya, lalu celananya yang berwarna biru tua itu ditarik turun. Aku berusaha untuk melihat, tapi mataku tetap kembali ke Justin. Bagian kemaluan Justin tertutup dengan seragam kemejanya yang panjang itu. Tangan Justin pelan-pelan menarik celana dalamnya ke betis, sebelum menarik seragamnya ke atas, memperlihatkan alat onaninya selama ini.
Nafasku terhenti sedikit dan mataku sedikit membulat. Jujur, ini pertama kalinya aku melihat penis. Benar, aku tidak pernah nonton bokep. Bahkan film-film di TV atau yang kutonton di laptop pun akan ku-skip. Yang pernah kulihat pun yang bergambar seperti di dalam buku teks sekolah sains dulu.
Tidak pernah kusangka bahwa itu bisa sekeras itu. Menjulang ke atas. Dan aku tidak pernah tahu bahwa penis bisa berotot seperti itu. Wajahku memerah. Pelan-pelan jari Justin menggenggam alat kelaminnya yang keras itu, lalu dikocoknya ke atas dan ke bawah, membuat napasnya semakin berat.
Mata Justin perlahan menangkap pandanganku saat dia bangkit dari lantai. Segera, aku mengalihkan pandangan, merasa canggung. Perhatianku teralih ke sebuah cermin tinggi di sampingku yang belum sempat kusadari sebelumnya, mencerminkan sosokku yang berkerudung panjang dengan anggun, tanpa perlunya tambahan apapun. Aku mengenakan jubah biru tua yang dihiasi manik-manik kecil, membentuk motif elegan di lengan. Handsock yang kukenakan sedikit menjulur melebihi pergelangan tangan, menambah kesan anggun pada penampilanku.
Aku tahu biasanya cermin ini digunakan untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa. Ada beberapa langkah yang harus ku pelajari agar aku bisa menggunakan teknik cermin ini.
Namun masalah hari ini aku tidak yakin apa yang harus kulakukan.
Dari pantulan cermin, aku dapat melihat Justin tengah memandangku. Namun, pandangannya bukan sekedar ke arahku, melainkan lebih tepatnya ke dada. Melalui cermin, aku mencoba memeriksa dada sendiri, yakin bahwa tidak ada yang mencolok dibandingkan dengan para pengajar lainnya, berkat kerudung panjang yang kukenakan. Namun, apakah aku keliru?
“Erm… Justin lihat apa itu…?” Tanyaku. Justin sedikit terkejut, tapi dia terus mengocok alat kelaminnya.
“M… Maafkan Justin, Ustazah… Justin… Justin melihat buah dada Ustazah…” Jawab Justin jujur.
Aku memutar kembali pandangan menghadapnya sedikit terkejut.
“Apakah… Apakah itu terlihat?” tanyaku. Justin menggeleng, memberikan rasa lega kepadaku.
“Tidak, tidak terlihat. Namun… eh… Kadang-kadang, saat Ustazah bergerak, kerudung panjangnya ikut bergerak… Ah, menarik… eh… Menjadi agak ketat… Pada saat itu… Sedikit terlihat…” jawab Justin.
Mungkin ini alasan mengapa pria diinstruksikan untuk menundukan pandangan mereka; karena seberapa baikpun seorang wanita menutupi auratnya, ada momen-momen yang tak terduga. Dan mata pria memang cenderung cepat menangkap hal seperti itu. Aku perlahan menggigit bibir bawahku.
Aku menyadari tatapan Justin yang tertuju pada pahaku. Saat itu, aku memperhatikan lebih jelas. Jubah yang aku kenakan terbuat dari kain yang agak licin, sehingga saat aku duduk, kain itu mengikuti arah gravitasi, erat memeluk kontur pahaku dan memperlihatkan bentuknya. Ditambah dengan warnanya, kain itu memantulkan cahaya, menciptakan efek yang menonjolkan lekukan pahaku. Dengan perlahan, aku menyesuaikan jubahku, memberikan sedikit kelonggaran.
“Ummph… Maaf Ustazah… Ahh… Biasanya kalau saya onani… Saya… Saya harus melihat cerita porno… Umphh…” Jawab Justin.
“Jadi… Karena cerita porno tidak ada… Kamu melihat saya ya…?” Tanyaku mencoba untuk bersikap sedikit lebih tegas. Justin menanggapi dengan anggukan.
“Kalau tidak…?” Tanyaku.
“Kalau tidak… Lebih lama saya… Ejakulasi…” Jawabnya. Maksudnya, kalau dia melihat cerita porno, dia akan ejakulasi cepat? Dan hal ini akan cepat selesai? Dan aku bisa memberikan kasus ini kepada guru lain? Mungkin Pak Darto?
Dengan gerakan yang tenang, aku meraih ponselku yang tergeletak di atas meja. Segera setelah membuka kuncinya, aku mengulurkannya ke Justin.
“Silakan, lihat ini dan mari kita selesaikan segera agar kita dapat mencari solusi bersama,” ucapku dengan suara yang sedikit bergetar.
Wajah Justin berubah menjadi merah saat dia menerima iPhone 6 dariku dan mulai mengetik sesuatu dalam pencarian Google.Tidak lama, terdengar suara-suara birahi dari Iphone ku itu. Dan aku perhatikan kocokannya semakin cepat ke alat kelaminnya.
Nafasnya juga seperti semakin cepat.
Tanpa sadar wajahku memerah dan perhatianku semakin lama semakin kubiarkan jatuh ke alat kelaminnya yang padat dan keras itu. Tangannya menggenggam dan mengocok alat kelaminnya itu erat, dari dasar alat kelamin ke kepalanya. Baru aku perhatikan bahwa kepala alat kelaminnya sudah basah dengan air. Air apa itu?
“Ummphh… Ustazah Rania…” Justin mengerang memanggil namaku. Menarikku dari pesona alat kelaminnya itu. Aku perhatikan bahwa dia sudah berhenti melihat Iphone ku itu.
“Maaf Ustazah… Ahh… Saya tidak bisa melihat… cerita porno kalau… Ustazah ada… ahhh… Maafkan saya Ustazah…” erang Justin pelan. Iphone 6 ku diletakkan di atas meja. Kepalaku menyuruhku lari karena sebagian dari diriku mengira bahwa aku akan disergap.
Namun, hanya mata Justin yang memandangku dengan intens. Pandangannya bergerak liar dari wajahku, ke dada, lengan, hingga ke pahaku… Wajahku memerah merasakan tatapan penuh nafsu tersebut.
Aku merasa sangat malu. Cepatlah selesai! Pikirku.
Dengan itu, Justin mengerang kuat.
“Ahhh Ustazahh!! Ustazahh!” Justin mengerang memanggil namaku lagi dan kali ini kocokannya semakin cepat. Dan dengan itu, tiba-tiba kepala alat kelaminnya memancarkan air mani kentalnya ke mana-mana.
“Justin!!” Aku menjadi terkejut dan aku cepat-cepat menarik kakiku, untungnya alat kelamin Justin saat itu mengarah ke atas, maka sebagian besar air maninya jatuh dan menetes ke alat kelaminnya atau tubuhnya saja. Dan aku merasa terkejut melihat untuk pertama kalinya apa itu “air mancur”. Dan melihat untuk pertama kalinya bagaimana lelaki orgasme.
Tangan Justin masih mengocok alat kelaminnya, dan aku bisa melihat air maninya menetes dari kepala alat kelaminnya, seperti gunung berapi yang baru meletus. Aku menggigit bibir bawahku ketika bau aneh seperti bau clorox mulai memenuhi ruang konseling kecil itu.
Nafas Justin kembali pelan sebelum dia bersandar. Wajahnya sedikit terkejut dengan apa yang baru saja terjadi.
“S… Saya minta maaf Ustazah… Saya tidak tahu bagaimana bisa seperti ini…” Katanya. Aku pelan-pelan kembali membetulkan dudukku setelah yakin bahwa tidak ada air maninya di karpet yang ada di dekatku.
“Tidak apa-apa… Kamu… Kamu sudah lega kan…?” Tanyaku. Justin mengangguk.
“Terima kasih, Ustazah…” Katanya. Aku berusaha tersenyum sebelum aku mengambil kotak tisu di sebelahku lalu aku letakkan di atas meja.
“Kamu yang menyebabkan kekacauan ini… Kamu harus bertanggung jawab membersihkannya. Setelah kamu selesai dengan bagianmu, kita akan diskusikan solusi untuk masalah ini… Setuju?” tanyaku. Untuk pertama kalinya, Justin tersenyum.
“Setuju Ustazah”
Pada malam itu, saya tengah melakukan riset untuk persiapan mengajar esok hari. Meskipun topik yang akan saya sampaikan sudah familiar, saya ingin memastikan beberapa detail sebelum berbagi pengetahuan dengan para siswa saya besok.
“Ah… Wifi ini benar-benar lambat…” Saya merasa bersyukur karena kamar sewa yang saya pilih dilengkapi dengan wifi. Namun, kadang-kadang kecepatannya mengecewakan, seperti saat ini. Beruntung, hal ini tidak terjadi terus-menerus.
Chrome di layar laptop masih loading sebelum menampilkan gambar dinosaurus pixel itu.
Tidak ada internet.
“Hmm… Pakai ponsel saja lah…” Untungnya aku bukan tipe yang selalu menggunakan media sosial, jadi aku masih menggunakan kartu prabayar dan internet yang ku-langgan pun masih banyak. Aku mengambil Iphone 6 ku lalu cepat-cepat mencari Google Chrome.
Icon merah biru hijau itu kusentuh pelan, sebelum muncul sesuatu yang kulupakan.
Website porno yang Justin tonton siang tadi!
Karena video tersebut sedang dipause, gambar yang muncul menjadi kabur. Namun, saya masih dapat mengenali siluet seorang pria dan wanita di balik kaburnya layar tersebut.
Aku ingin tahu apa yang membuat Justin begitu sekali. Dan apa yang membuat sebagian besar remaja zaman sekarang begitu terobsesi dengan seks.
Aku yang awalnya hanya ingin “tahu”, menekan tombol play.