Gairah Ustazah Rania - Bab 01
Aku menarik napas dalam-dalam. Langkah kaki ku melangkah memasuki area sekolah yang masih sepi. Aku datang terlalu awal. Mungkin karena terlalu bersemangat dan gugup untuk hari pertamaku mengajar di salah satu SMA di Jakarta, sejak resmi menjadi guru.
Bangunan sekolah yang terbilang tua itu terlihat rapi, meskipun sesekali terlihat noda jamur dan bekas sepatu di sana sini. Dan kalau diperhatikan lebih seksama, ada banyak “karya seni” yang ditinggalkan di sana sini oleh para siswa.
Aku mulai mencari jalan ke kantor sekolah, dan bertemu dengan seorang kerani di sana, Bu Endah. Kami ngobrol sebentar dan saling berkenalan sambil Bu Endah menyiapkan kopi untuk dirinya dan aku. Karena masih pagi, aku duduk di sana.
“Ustazah harus hati-hati sedikit di sini…” Kata Bu Endah, sambil menyodorkan secangkir kopi yang mengepul.
“Kenapa Bu…?”
“Sekolah ini terkenal di daerah sekitar sebagai sekolah anak nakal… Jadi anak-anak di sini bandel-bandel… Semoga mereka tidak mengganggu ustazah ya… hehehe.” Kata Bu Endah. Aku mengangguk mengerti.
Memang biasa ada banyak sekolah yang dijuluki ‘sekolah nakal’ hanya karena satu atau dua orang. Aku tidak mengatakannya, tapi menurutku itu dibesar-besarkan. Mungkin tidak semua begitu.
“Kalau ada apa-apa… Ustazah beri tahu saja saya…” Katanya. Aku mengangguk. Saat itu, seorang wanita yang tampak berumur, berkerudung panjang, masuk ke kantor, mencatat kehadiran lalu menyapa kami.
“Assalamualaikum Bu Endah…” Sapa wanita tadi. Bu Endah membalas salam sebelum memperkenalkan aku.
“Ohhh~ Jadi kamu Ustazah Rania… Saya Ustazah Fara, umur saya baru 27… Ketua panitia… Setelah upacara nanti, ikut saya ya? Saya akan beri briefing, dan saya akan berikan jadwal dan kelas kamu nanti.” Aku mengangguk mengerti. “Oke Kak…”
Ustazah Fara mengangguk sebelum meninggalkan kami berdua. Dan kami melanjutkan obrolan, kali ini tentang kue lebaran yang akan dijualnya nanti. Aku melihat para guru perempuan di sekolah ini semuanya muda-muda.
Aku menarik napas lagi. Tahu kelasku berada di tepi tangga tempatku berdiri sekarang. Suara ramai dan riuh dari dalam kelas terdengar. Rasanya sedikit deg-degan. Aku membaca ayat-ayat yang diajarkan ayahku ketika gugup, sebelum aku melangkah. Aku tersenyum sambil melangkah masuk ke kelas.
Kelas yang tadinya ramai, mulai hening. Semua siswa seperti bertanya-tanya siapa yang masuk itu, sebelum mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, dan terdengar gesekan kursi di sana sini.
“Selamat pagi… Ustazah!” Seorang siswi memimpin ucapan selamat, diikuti seluruh kelas.
“Selamat pagi semua…” Aku tersenyum. Meskipun hatiku masih gugup, aku berusaha menjalankan kelas itu sebaik mungkin. Sebenarnya aku sangat khawatir karena guru baru tidak seharusnya mendapat kelas Tingkatan 5. Tapi karena guru Pendidikan Islam kurang, aku dipilih untuk menangani kelas Tingkatan 5, untungnya kelas 5 ini adalah kelas yang paling depan.
Kelas hari itu berjalan lancar, sesi perkenalan memakan waktu satu jam dari dua jam pelajaran Pendidikan Islam hari itu. Semuanya karena mereka kebanyakan banyak ngobrol, dan anak laki-laki suka bercanda. Meskipun aku memperhatikan ada seorang siswa laki-laki yang tidak banyak bicara, tapi aku perhatikan dia selalu melihatku.
Mungkin dia hanya malu atau memang tipe yang pendiam.
Beberapa minggu kemudian, aku dipanggil ke ruang disiplin dan konseling. Pak Darto, kepala Biro Konseling, ingin bertemu denganku. Aku yang bisa dibilang sudah terbiasa dengan lingkungan sekolah itu, datang ke ruang Pak Darto. Ruangannya sangat rapi, dan aku disambut aroma lembut Lavender yang berasal dari pengharum ruangan di samping lemari.
“Ustazah Rania… Terima kasih sudah mau datang… Silakan duduk…” Ajak Pak Darto. Aku tersenyum menerima ajakannya lalu duduk.
“Bagaimana sekolah ini…? Semoga Ustazah tidak ada masalah?” Tanya Pak Darto yang menurutku agak gagah. Namun sebagai seorang Ustazah, aku harus menyingkirkan semua anggapan itu. Tidak terlalu menanggapi.
Aku menggeleng kepala. “Alhamdulillah, semuanya baik-baik saja Pak…” Jawabku.
“Baguslah… Sebenarnya ada keperluan saya memanggil Ustazah ke sini hari ini…” Kata Pak Darto.
“Kenapa Pak?” Tanyaku, mendengar nadanya serius.
“Ustazah yang kamu gantikan, yang kelas 5 itu… Sebenarnya salah satu guru konseling dan disiplin kami juga…” Jawab Pak Darto, dan aku seperti tahu ke mana arah percakapan ini akan berujung.
“Oke…” Kataku pelan, sebagai tanda aku mendengarkan.
“Jadi… Kami berharap agar Ustazah dapat mengisi tempat kosong itu untuk… Boleh?” Sudah kuduga…
Aku memasang wajah khawatir. “Tapi Pak… Saya tidak punya latar belakang psikologi atau… Konseling… Yang saya punya hanya yang dasar-dasar saja…” Kataku. Hanya satu mata kuliah tentang itu yang diajarkan di fakultas dulu. Yang lainnya fokus tentang Aqidah, Tajwid, Tauhid dan berbagai macam lainnya.
“Saya tahu… Tapi Ustazah jangan khawatir… Lagipula masalah siswa sekolah ini yang biasa-biasa saja… Putus cinta… Keluarga sedikit… Kalau kamu menemukan kasus yang berat atau kamu merasa tidak bisa menangani kasus itu, beri tahu saya, saya akan berikan ke guru lain…” Jawab Pak Darto.
Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melihat wajah Pak Darto yang sedikit berumur itu. Berharap. Aku sadar aku adalah tenaga pengajar baru, maka aku diberi tugas yang tidak ingin dilakukan orang lain. Jika aku menolak, pasti mereka akan mengatakan aku aneh atau lemah.
Tidak apa-apa Rania.. Anggap saja ini pengalaman. Aku berpikir. Pelan-pelan aku mengangguk.
“Baiklah, Pak…”
Seminggu setelah percakapan ku menjadi guru konseling dan disiplin di sana, tidak ada yang datang menemui ku. Baru aku tahu bahwa di sekolah itu, meskipun dianggap sekolah nakal, tidak banyak yang rela hati datang konseling. Yang ada pun hanya beberapa orang, itupun sudah biasa menceritakan masalah mereka kepada guru lain. Maka pekerjaan kami kebanyakan adalah mengadakan sesi motivasi, kegiatan membangun karakter, dan sebagainya.
Hari itu adalah hari aku bertugas bersama Bu Kamala. Bu Kamala adalah guru Matematika yang baru mendapatkan Diploma tambahan di bidang konseling. Rajin sekali, sudah jadi guru pun ingin menambah ilmu. Aku sedikit iri padanya, dan ingin juga melanjutkan belajar nanti. Tapi saat ini biarkan aku belajar menjadi Ustazah yang baik dulu.
Aku sedang memeriksa buku latihan siswa kelas 5 ku ketika mendengar suara Bu Kamala di pintu.
“Ustazah… Ada siswa ingin bertemu…” Katanya. Hatiku berbunga dan sedikit deg-degan. Akhirnya ada seseorang yang membutuhkan bantuan. Aku mengangguk. “Sebentar…!”
Aku segera menutup buku yang sedang ku periksa dan mengambil alas bantalan yang telah ku siapkan, yang dilengkapi dengan beberapa lembar kertas. Setelah itu, aku mengambil sebuah pena hitam sebelum melangkah keluar. Bu Kamala tersenyum padaku.
“Doakan saya!” Bisikku padanya.
Aku sedikit terkejut melihat siapa yang menunggu di ruang tungguku. Justin. Siswa pendiam yang tidak banyak bicara di kelas ku. Mungkin akhirnya dia ingin berbagi masalahnya denganku? Penyebab dia tidak banyak bicara?
“Oh, Justin… Sudah siap… Ayo?” Ajakku. Justin mengangkat kepalanya sebelum pelan-pelan bangkit, mengikutiku masuk ke ruang privasi yang khusus digunakan untuk sesi konseling. Kursi yang disusun berbentuk L. Aku duduk di sebelah kiri dan pelan-pelan Justin duduk di kursi yang satunya lagi.
Dan aku perhatikan bahwa dia berusaha untuk tidak menatapku.
“Ini… Pertama kalinya kamu datang ke sini kan…?” Tanyaku. Maafkan aku jika aku sedikit canggung, seperti yang kukatakan, aku tidak punya latar belakang di bidang ini.
Justin mengangguk pelan. Aku sedikit menunduk.
“Kenapa Justin…? Apa yang membuat kamu datang ke sini…?” Tanyaku lembut.
Justin menarik napas dalam-dalam. Dan aku tahu dari wajahnya bahwa dia sedang berpikir apakah dia harus memberitahuku atau tidak tentang hal itu.
“Jangan khawatir… Apapun yang kamu katakan, saya tidak akan membocorkannya.”Kataku berusaha seprofesional mungkin.
Justin kemudian mengangkat matanya melihat wajahku. Pipiku terasa sedikit hangat menerima tatapan itu.
“Urm… Ustazah… Saya sebenarnya memiliki masalah… Dan… Saya belum pernah membagikannya kepada siapa pun… Dan… Entahlah, saya merasa bisa mempercayai Ustazah…” kata Justin dengan lembut, suaranya cukup jelas untuk ditangkap oleh telingaku yang terbalut kerudung panjang ini.
“Oke… Ceritakan padaku…” jawabku, sedikit menunduk sebagai tanda bahwa aku mendengarkan.
Justin menarik napas dalam-dalam sekali lagi.
===
“Urm… Saya sangat kecanduan dengan… Urm… Cerita porno… Dan… Masturbasi…” Kata Justin pelan. Dan kata-kata yang terakhir itu diucapkan lebih pelan dari yang lainnya. Membuat mataku sedikit terangkat mendengarnya.
“C…Cerita porno dan… masturbasi…? Maksud kamu… Onani…?” Tanyaku. Pernah mendengar kata itu, dan tahu apa itu. Hanya saja selama ini tidak pernah kuperhatikan kata porno itu.
Justin mengangguk.
Aku menarik napas ku dalam-dalam. Wajahku sedikit memerah. Tidak menyangka ini kasus pertamaku. Di dalam kepalaku sibuk mencari apa yang harus kukatakan.
“Bagaimana kamu bisa… urm… Mulai hal ini…?” Tanyaku. Ingat bahwa aku harus mengetahui penyebabnya terlebih dahulu.
Justin kembali memandang ke bawah.
“Saya… Saya menemukan cerita porno di laptop… Kakak saya…” Jawab Justin. Mataku sedikit membulat, mendengarnya.
“Kakak kamu…? Kakak kamu di mana sekarang?” Tanyaku ingin tahu.
“Urm… Kakak saya sekarang kuliah di Singapore…” Aku mengangguk mendengarnya. Sejujurnya, aku tidak pernah nonton cerita porno. Maka aku tidak tahu apa sebenarnya yang Justin lihat di dalam video itu. Maka aku berusaha untuk tidak terlalu spesifik dengan apa yang dilihatnya.
“Oke… Bisakah kamu beri tahu Ustazah… Seberapa sering kamu nonton video porno dan… Seberapa sering kamu… Me… Onani…?” Tanyaku. Berusaha untuk menghindari kata masturbasi. Karena kata itu menurutku terlalu porno untuk dikatakan oleh Ustazah sepertiku.
Justin kembali menunduk, dan aku perhatikan sesekali matanya mengintipku.
“Urm… Cerita porno… Pagi… Sebelum pergi sekolah… Atau… Malam… Sebelum tidur… Kalau mas… Er… Onani lagi… Hari-hari… Sekali sehari paling sedikit… Kalau lagi… Kalau lebih sering terangsang… Lebih sering…” Jawabnya pelan. Aku mengangguk mengerti.
“Apa yang terjadi kalau kamu tidak… Tidak onani…?” Tanyaku.