Gairah Sang Ustadzah - Bab 09
Hakim masuk kembali ke dalam tokonya. Di dalam, senyum kemenangan sumringah dilepaskannya. Melompat ke atas kasur, kesenangan itu tidak lain dan tidak bukan adalah karena Sari. Bagaimana tidak? Sepertinya janda anak satu itu akan sangat mudah didapatkan. Lampu hijau berada di genggamannya. Oh ya, hampir terlupa. Tak terasa jam menunjukkan pukul 2 malam. Hakim mengambil HP-nya dan membuka WA dari Ustadzah Rini.
“Hakim, maafin ibu kalau ada salah. Kamu sejak pagi tidak ada balas WA ibu. Ibu sedih kamu seperti itu. Apa salah ibu, Im? Malam ini kamu tidak tidur di rumah, anak-anak susah ibu tidurkan karena ingin bertemu kamu. Datanglah, Im. Kita bicarakan di rumah. Tadi suami ibu telepon, dan ibu bilang kamu tidak di rumah. Jangan sampai suami ibu curiga tentang kita, Im. Pintu depan tidak ibu kunci.”
Begitulah isi pesan WA dari Ustadzah. Hakim berpikir sejenak. Benar juga, kalau dia membuat situasi ini dicurigai Om Hardi, dia akan mencari tahu tentang mereka. SHIT! Apa yang harus dilakukan? Lama Hakim berpikir dan memutuskan untuk pergi ke tempat Ustadzah saat itu juga. Dia memacu motornya dan berlalu sampai rumah Ustadzah. Sesampainya di sana, benar saja, pintunya tidak terkunci. Segera Hakim masuk dan sampai di ruang tamu dia terkejut, melihat Ustadzah Rini tertidur di sofa dengan gamis yang tersingkap sampai ke pantatnya, dan dia tidak menggunakan CD. What..? Hakim terkejut melihat pemandangan itu. Begitu indah tubuh Ustadzah. Segera dia mengambil selimut dan meletakkannya menyelimuti Ustadzah Rini, kemudian berlalu menuju kamarnya.
Sengaja Hakim menahan nafsunya saat itu karena konflik yang terjadi antara dirinya dan Ustadzah masih ada dalam benaknya. Dia merasa bahwa Ustadzah mungkin juga kurang menikmatinya nanti kalau langsung menggaulinya. Dan juga Hakim takut dia berpikir bahwa dirinya seakan mempermainkannya hanya untuk nafsunya saja. Tetap diambil jalan aman agar alurnya pada Ustadzah yang sudah dibuat-buat tidak terlalu ofensif berjalan dengan lancar. NAFSU BOLEH, sangean jangan… Hahaha pikir Hakim dalam hati. Baru saja ingin terpejam matanya, WA-nya berbunyi. Dan ternyata Sari mengirimkan pesan padanya.
“Bang Hakim jelek, makasih ya sudah nemenin curhat. Ini Sari kasih hadiah. Bidadari cantik dari kayangan ahahaahah.”
Begitulah pesan WA dari Sari yang diiringi gambar fotonya dengan senyum genit dan dua jari khas cewek-cewek berfoto. Bibir manyun dan… Oh my god, dia hanya memakai tank top hitam dan Hakim memastikan bahwa dia tidak memakai BH karena terlihat ada tonjolan pentil payudaranya. Hakim tersenyum sedikit melihat tingkah janda ini. Tanpa respon apapun, tanpa memperlihatkan bahwa dia menginginkannya, tanpa susah payah menggodanya, Sari sendiri yang agresif seakan menginginkannya. Hakim memutuskan melanjutkan tidurnya.
Esoknya nampak seperti biasa, Hakim melihat Ustadzah sedang mempersiapkan sarapan pagi. Mungkin dia mengetahui keberadaan Hakim di sana. Hakim melangkah menuju meja makan. Dia memeluk Ustadzah dari belakang.
“Pagi, Ustadzah cantik,” sapa Hakim.
Ustadzah terkejut namun tidak menghindari perbuatannya di depan anak-anaknya yang mulai berlarian menghampirinya.
“Tumben bangun pagi, Im. Lihat kan, Arga dan Salwa kangen sama kamu. Tuh lihat, om kalian ada kan. Ga pergi, om Hakim tuh masih di rumah kita, om Hakim, ya kan om?” ujar Ustadzah.
“Iya dong. Emang mau kemana om? Mamah kalian kan cantik, mana bisa om tinggalin sendirian,” balas Hakim sambil tersenyum.
Sengaja Hakim melontarkan kalimat itu kepada anak-anaknya karena dia yakin mereka belum mengerti. Ustadzah pun malah tersipu malu dengan perkataan Hakim. Setelah selesai makan, Ustadzah Rini berbicara banyak hal padanya.
“Im, aku salah apa?” tanya Ustadzah.
“Ga ada kok, Ustadzah,” jawab Hakim.
“Kalau begitu jangan panggil aku Ustadzah, Im. Panggil saja nama aku, atau aku kamu. Aku ngerasa ga pantes aja, Im, berhadapan dengan kamu. Kamu panggil Ustadzah,” kata Ustadzah.
“Yaudah deh… Kak Rini gimana?” balas Hakim.
“Terserah kamu, Im, asal jangan Ustadzah,” jawab Ustadzah.
“Ga usah deh, Ustadzah aja. Ga apa-apa lah,” ujar Hakim.
“Hmm, Im. Kamu di sini aja tidur ya. Om Hardi juga setuju kalau kamu tidur di rumah sekalian temanin anak-anak main,” kata Ustadzah.
“Iya deh. Kan sampai Om Hardi pulang aja,” balas Hakim.
“Ga, Im. Ada atau ga ada Om Hardi di sini, kamu boleh kok tinggal di sini. Anggap rumah kamu sendiri,” ujar Ustadzah.
“Asalkan kamu senang, aku ikut senang kok. Ya kan, Ustadzah?” balas Hakim sambil tersenyum.
“Mulai deh jurusnya. Ngerayu istri orang. Hahaha,” ujar Ustadzah sambil tertawa.
Banyak terlibat percakapan mereka, sampai akhirnya Hakim pamit. Tapi bukan untuk kerja, dia sudah berencana untuk libur.
“Ustadzah, aku pamit ya. Mau jalan-jalan,” kata Hakim.
“Loh, ga kerja?” tanya Ustadzah.
“Ga, Bu, sudah rencana libur,” jawab Hakim.
“Yaudah, hati-hati, Im,” balas Ustadzah.
Hakim mengambil jaket dari kamarnya. Sebelum keluar, dia menghampiri Ustadzah Rini yang sedang mencuci piring di dapur. Dengan lembut, dia mengarahkan bibirnya ke bibir Ustadzah dan mencium dengan menggunakan lidahnya. Ustadzah merespon ciuman tersebut. Setelah puas mencium, Hakim menepuk pelan tetek Ustadzah Rini, lalu berlari keluar rumah.
Hakim menuju bandara, tempat di mana Tari akan tiba. Tari biasa mengunjungi Hakim sekali setahun, biasanya tinggal selama tiga hingga tujuh hari di Pekanbaru. Setibanya di bandara, Hakim mencari-cari sosok kesayangannya. Akhirnya, dia menemukan Tari yang mengenakan jilbab dengan gamis ketatnya. Tari telah berani menerima tantangan Hakim untuk ke bandara memakai jilbab, celana jeans, dan baju ketat sepinggang tanpa bra di dalamnya. Hakim menghampiri Tari, dan Tari menyambutnya dengan antusias memeluknya.
Setelah bercanda ria, mereka berencana untuk makan di salah satu hotel. Tak ada yang spesial saat makan, hanya percakapan-percakapan biasa. Sehabis makan, mereka check-in di hotel tersebut. Di hotel, Hakim tak sabar untuk segera bersama Tari yang sudah lama tidak bercinta dengannya sejak kepergiannya dari Medan ke Pekanbaru. Tari sering datang setiap tahunnya ke Riau hanya untuk meminta jatah darinya. Tari mengatakan bisa saja dia mencari pengganti Hakim dan merasakan pria lain, namun tidak. Karena dia hanya menginginkan Hakim untuk menikah dengannya suatu saat nanti.
“Tari: Ayy, aku mau ngomong dulu.”
“Hakim: Ngomong apa, kayaknya seriusan?”
“Tari: Iya, aku mau cari kerja di sini. Aku ga bisa lama-lama jauh dari kamu. Setelah apa yang kita lakukan selama ini, aku ga bisa jauh dari kamu, Ayy.”
“Hakim: Kamu yakin? Terus orang tua kita setuju kalau kamu kerja di sini?”
“Tari: Ya, jangan sampai mereka tahu. Kalau sudah di sini kan mereka juga ga bisa nolak.”
“Hakim: Ya itu terserah kamu sih. Aku senang aja kamu kerja di sini. Jadi bisa tiap hari kita bersama.”
Sambil mencium Tari dan terbaring di tempat tidur hotel, nafsu Hakim sudah terlanjur mengalir karena hari ini Tari sangat seksi. Masih berpakaian lengkap dengan tas selempang, mereka berciuman hingga nafas mereka memburu satu sama lain. Di sela-sela ciuman, Tari menghentikan aksinya dan berkata pada Hakim.
“Tari: Hakim, aku kangen kamu.”
“Hakim: Kangen aku atau kangen ini?”
Sambil membuka celananya, terlihatlah belalai gajah yang sudah memanjang dan keras. Tari sumringah dan langsung menggenggam kontol Hakim. Mereka melanjutkan ciuman, dan Tari yang kini sudah mahir dalam bercinta menjadi lebih agresif. Tari menghentikan ciumannya dan berusaha untuk duduk. Hakim pun berdiri, dan Tari melahap dengan penuh gairah kontol Hakim.
“Ahhh shit… Nikmat banget, Ayy,” desah Hakim.
Dia mendesah kenikmatan ketika agresivitas Tari menelan penuh gairah kontolnya. Saking nikmatnya, Hakim merobek baju kaos yang dipakai Tari. Terlihatlah dua buah payudara yang siap dia nikmati. Hakim meremas payudara Tari. Dia tak mengerti mengapa Tari begitu nikmat saat mengulum kontolnya hingga beberapa kali dia mendesah. Saking tak tertahankannya, Hakim memegang kepala Tari dan mendorongnya keras agar kulumannya lebih dalam. Dia menahannya agak lama kontolnya terbenam dalam kerongkongan Tari. Tari tersedak dan banyak air liur keluar karena ulah Hakim. Namun, Tari melanjutkan kulumannya. Dia menjilat dua buah biji kontol Hakim dan sangat sensitif kurasakan ke seluruh tubuhnya.
“Ahhhhh…” Desah Hakim semakin menjadi. Kalau seperti ini terus, bisa roboh pertahanannya. Hakim menghentikan aksi Tari dan mendorongnya terbaring di atas kasur. Dia membuka celana jeansnya lalu CD-nya. Hakim mencium bibir Tari dan tangannya mengaduk-aduk vaginanya. Tari bergeming, seakan desahannya tertahan oleh bibir Hakim.
“Ooohhh, sstt,” terdengar jelas saat Hakim melepaskan ciuman dan berpindah ke lehernya. Tak henti desahan Tari membabi buta. Dia melingkarkan kedua kaki pada punggung Hakim. Puas dengan leher, ciuman Hakim berpindah ke bagian atas payudara Tari. Dia mengecup inci demi inci dada Tari dengan kelembutan untuk memunculkan sensasi geli yang berlebih agar tubuh Tari merespon perbuatannya. Terus berpindah ciuman Hakim mengelilingi payudara Tari. Dia melakukan itu agar sensasi geli yang ada terkumpul pada pentil payudara Tari sambil tetap mengocok vaginanya. Tetap menyentuh lembut keliling payudara Tari tanpa menyentuh bagian menonjol berwarna coklat miliknya.
“Ooohhh, sstt… Sayang… Jangan di situ terus… aaahhh…” Tari tak tertahankan, menandakan orgasmenya sebentar lagi akan tiba. Hakim berhenti mengocok vagina Tari agar menunda orgasme yang akan terjadi, karena dia merasakan vaginanya merespon dengan denyutan dan sedikit pijatan pada jarinya. Hakim menggenggam kedua payudara Tari dan menghisapnya dengan lembut. Gerakan pelan dilakukan untuk membiarkan rasa penasarannya akan tindakannya. Dan juga agar tubuh Tari merespon setiap sentuhan yang diberikan Hakim. Dia menghisap payudara kenyal besar nan padat itu dengan khidmat.
“Ahh, ayy.. Aku kangen ini… Iyaa.. sssttttt ahhh… Terus ayy.” Tak mau kehilangan momen, Hakim berpindah ke vaginanya sambil jarinya masuk dan mengocok vagina Tari. Dia menjilati klitorisnya. Hakim mengocok dengan tempo pelan, pelan, dan cepat. Terus memainkan tempo itu sampai akhirnya tangan Tari menjambak rambut Hakim dan menekan kepalanya lebih dalam.
“Terus ayy… Ahhh… Ini.. Aku tunggu… Ahhh.. Vaginku ayy.. Kangen…. Ahhssst.. Itu ahh iyaahhhssss.” Hakim mempercepat jilatan dan kocokan pada vagina Tari dan tak lama Tari melenguh kencang menggenjangkan pinggulnya ke atas.
“Ahhhsssstt…. Aku… Aaahh dapat…. Ahhhhhh….. Sayanggggggg.. Aaachhhhhhh.” Orgasme Tari dengan sejuta kenikmatan yang tertahankan selama dia berada di Medan. Semburan cairan orgasmenya membasahi kasur mereka.
“Ayy, nikmat banget… Kamu selalu bikin aku keluar terus,” kata Tari dengan menahan deru nafasnya yang tak teratur dan masih terbaring lemas. Hakim tidak membiarkan dia beristirahat lebih lama, dia membuka seluruh pakaiannya dan mengarahkan kontolnya ke dalam vagina Tari. Tari melenguh.
“Oouuhh… Itu dia ayy.” Merasakan kontol Hakim masuk dalam liang kewanitaannya, perlahan masuk dalam dan dihentakkan untuk memberikan kejutan dan menyapa vaginanya. “I’m coming, babe,” bisik Hakim. Tari melingkarkan tangannya memeluk Hakim, seakan ingin dia menindih tubuh bugilnya yang masih menggunakan hijab. Kakinya pun menahan pantat Hakim seakan tak ingin momen ini berlalu.
Hakim bertanya, “Gimana, enak sayang?”
Tari menjawab, “Banget.”
“Kangen gak aku entot?” lanjut Hakim.
“Banget banget, ayy,” jawab Tari.
Hakim menggerakkan perlahan kontolnya, gerakannya statis dan maju mundur menyodok memek Tari. Tari melenguh keenakan.
“Ahhstt… Ini aku… Sstt nantikan… Sst ayy… ahh… Ahhhh iyah… Lebih cepat ayy…” Hakim mempercepat gerakannya, menambah teriakan Tari yang tak terkontrol hingga akhirnya orgasmenya datang dan memuncratkan cairan hangat miliknya.
“Aahhh… Sayang,” sambil memeluk erat tubuh Hakim, Tari menggelinjang nikmat. Hakim tidak menghentikan aksinya. Dengan keadaan lemas tak berdaya, dia mengangkat dan membalikkan tubuh Tari dengan posisi nungging. Di posisi ini, sangat jelas dan sangat-sangat menjadi favorit Hakim dengan siapa pun. Hakim memasukkan rudalnya dengan posisi doggy style.
“Uhhh…” lenguh Tari yang sedikit terkejut secara cepat saat Hakim memasukkan kontolnya. Di posisi ini, kenikmatan mereka tiada tara.
“Ahh… Ya ya yaaaaaaahhhhh…”
“Anggap aja ibu kamu lagi liat kita ngentot sayang, dan kamu ngomong yang jorok,” kata Hakim.
“Iyaaaahh… Buuu… Assstt uti di entot Hakim buu… Ahhhsttt jahat Hakim bu… Enakkkkkk buuu… Ngentottt enak sama Ba…aim buu… Ahhh…”
“Bilang kalo kamu suka kontol Hakim,” perintah Hakim.
“Buu, ahhhh… Yaahh yaahh… Uti enak… Buu kontol Hakim enak nyodok… Ahhh memek anakmu buu… Uti… Lihat buu… Ahhhh.. Ga tahan bu… Aahh ahh ahh… Sstt buu… Enak bu cobain kontol Hakim bu… Uti dapat uti dapat iya ya yaahh Ahhhh… Ibuuuuuuuuhhhhh.”
Dengan penuh semangat, karena kata-kata kotor yang keluar dari mulut Tari, Hakim membayangkan benar-benar ada ibunya sedang melihat dia mengobrak-abrik memek anaknya. Bersamaan dengan orgasmenya Tari, pertahanan Hakim rapuh dan dia mencabut kontolnya keluar dan mengarahkannya langsung ke dalam mulut Tari yang terkapar. Di posisi ini pula menjadi favorit Tari yang bisa membuatnya orgasme sampai 5, 6, dan 7 kali. Hakim membuat Tari tidak bisa bangkit dari tempat bercinta mereka. Mereka beristirahat sejenak. Hari pun telah malam. Mereka tertidur pukul 7 malam. Hakim terbangun pukul 12 malam. Nampak Tari dengan tubuh bugilnya masih tertidur di sampingnya. Nafsu Hakim perlahan bangkit. Dia mengusik kenyamanan tidur Tari tanpa membangunkannya. Melihat kontolnya sudah tegak berdiri, Hakim langsung menghembuskan senjatanya dalam memek Tari yang masih kering. Tari terbelalak, matanya seakan terkejut melenguh ke atas.
Mereka mengulangi percintaan mereka lagi. Saat sedang asik menggenjot tubuh Tari, HP Hakim berdering dan dia melihat Ustadzah Rini menelponnya tengah malam begini. Hakim sedikit terkejut. Mereka menghentikan aktivitas mereka. Tari sudah diceritakan tentang Ustadzah, namun dia hanya mengetahui bahwa Hakim tinggal di sana, hanya sebatas itu. Hakim mengangkat telepon itu.
“Assalamulaikum Ustadzah, ada apa?” tanya Hakim.
“Hakim, kamu di mana? Ga pulang ke rumah?” balas Ustadzah.
“Ga, kayaknya, Bu. Lagi kumpul sama teman-teman nih, lagi ada acara,” jawab Hakim.
Sedang asik berbincang dengan Ustadzah Rini, Tari mengulum kontol Hakim membuat dia sedikit mendesah terkejut.
“Kenapa, Im?” tanya Ustadzah.
“Ohhsstt… Gak apa-apa Bu… Kepedesan… Aaahh ja…” jawab Hakim.
“Oh, jadi kamu kapan pulang?” tanya Ustadzah.
“Hmmnssstr… Belum tau Bu… Mungkin satu atau dua hari lagi,” jawab Hakim.
Hakim terkejut. Sedang terbaring di kasur, Tari jongkok di hadapannya dan mengarahkan kontol Hakim tepat dalam memeknya. Sedangkan Hakim masih berada dalam panggilan dengan Ustadzah.
“Ahh… Ustadzah belum tidur?” tanya Hakim.
“Kamu kalau kepedesan ya minum, Iim,” balas Ustadzah.
“Lagi main sama… Sttt… Ahh… Temen, Bu… Peraturannya… Ahhh, astt… Makan pedes nggak boleh… Sstt… Minum sampai permainan selesai… Stthh… Ahhh…” jawab Hakim.
“Ya sudah… Ibu tidur dulu ya… Jangan lama-lama pulang, Iim… Anak-anak nyariin nanti,” kata Ustadzah.
“Oohh iyaahh, Ustadzah. Nanti Hakim kabari,” balas Hakim.
Segera Hakim mematikan telepon dan mendorong tubuh Tari ke depan. Dia menggerakkan kontolnya dengan cepat hingga malam itu Tari mendapatkan 5 kali orgasme, sedangkan Hakim terkapar dengan 2 kali semburan sperma di wajah dan perut Tari. Malam itu mereka tertidur.
Keesokan harinya, Tari tidak ingin keluar kemana-mana dan hanya ingin di kamar hotel. Sedangkan Hakim bergegas ke toko untuk mengecek pekerjaan apakah ada yang terlupa atau tidak. Di perjalanan ke toko, Hakim mendengar dering HP-nya berbunyi, namun tak dihiraukan siapa dan apa isi pesan tersebut.