Gairah Sang Ustadzah - Bab 08
Hakim tidak berharap lagi kehadiran Ustadzah setelah pertempuran panas yang mereka lakukan. Sedikit rasa kesal muncul ketika mengingat kata-kata Ustadzah yang menginginkan hal itu adalah pertama dan terakhir. Hari ke-6 Om Hardi berada di Sumbar. Berarti 2 hari lagi dia akan sampai di rumah. Waktu berlalu, tidak ada kejadian istimewa. Bahkan sekarang pikiran Hakim tetap tertuju pada Ustadzah Rini dengan semua perlakuannya. Seorang alim Ustadzah bergumul mesra dan penuh nafsu dengan anak muda tanggung sepertinya. Betapa jahatnya dia, akal sehatnya bicara.
Malam pun tiba. Hakim tidak lagi tidur di rumah Ustadzah. Entah bagaimana keadaan Ustadzah Rini sekarang. Di sela lamunannya, dering hp-nya berbunyi. Ternyata Om Hardi menelponnya. Hakim sedikit gugup. Apa Ustadzah Rini mengatakan semuanya pada Om Hardi? Kurasa tak mungkin. Hakim mengangkat telepon Om Hardi.
“Halo, assalamualaikum, Om Hardi,” sapa Hakim.
“Walaikumsalam, Hakim. Kata Ustadzah kamu nggak tidur di rumah lagi. Kenapa, Hakim?” tanya Om Hardi.
“Gak apa-apa, Bang. Segan aja rasanya. Lagi pula kangen juga tidur di toko pakai kipas angin. Hahaha,” jawab Hakim.
“Ehh kamu ni. Gak apa-apa tidur aja di sana temani istri abang ya. Sekalian main-main sama anak-anak. Mereka nyariin kamu dari kemarin tu,” kata Om Hardi.
“Iya, Bang. Hakim tidur sana,” ujar Hakim.
“Oya, Hakim. Abang dapat tambahan hari di sini. Jadi mungkin 5 hari lagi baru bisa pulang karena pelanggan ini minta tambah. Jadi tolong ya, Hakim, jagain anak-anak sama istri abang. Maaf ni repotin kamu,” pinta Om Hardi.
“Iya, Bang. Nggak merasa repot kok,” jawab Hakim.
“Yaudah, Hakim. Udah malem. Assalamualaikum,” kata Om Hardi.
“Waalaikumsalam,” balas Hakim.
Sepertinya Hakim sudah dianggap seperti saudara oleh keluarga Ustadzah, bahkan ketika dia tidak berada di rumah Ustadzah, mereka mencarinya. Kembali kegundahan Hakim semakin mendalam. Apa yang harus dia lakukan? Sementara Ustadzah Rini tidak lagi menghubunginya. Bahkan Hakim merasa tidak seperti dibutuhkan olehnya. Untuk malam ini, Hakim memutuskan untuk tidur di toko saja. Seperti biasa, jam 11 malam dia bermain Mobile Legends. Hingga pukul 3 pagi, dia pun memutuskan untuk tidur.
Belum lama Hakim tertidur, WA-nya berdering. Kupikir siapa pagi-pagi buta seperti ini. Dengan malas, dia melihat layar hp-nya. Ternyata Ustadzah Rini mengirim pesan WA.
“Hakim, kamu di mana? Sudah tidur?” tanya Ustadzah melalui WA.
Hakim terheran. Ustadzah mencarinya. Sekarang pukul 3:15. Kenapa dia belum tertidur? Atau kah Ustadzah Rini terbangun.
“Aku di toko. Baru mau tidur, Bu Ustadzah. Ada apa?” balas Hakim.
Pesan WA-nya cepat dibalasnya.
“Hmm. Gak apa-apa, Hakim. Ibu heran kamu tidak ada di rumah lagi semenjak hari itu. Salwa dan Arga cari-cari kamu,” jawab Ustadzah.
Hakim tidak membalasnya. Dia terdiam sejenak. Tidak tahu apa yang mesti dia balas. Hakim memutuskan untuk tidak membalasnya. Tak lama, Ustadzah kembali mengirim pesan.
“Hakim, kenapa nggak kamu balas? Ibu ada salah ya sama kamu?” tanya Ustadzah.
Hakim tidak menghiraukannya. Dia memutuskan untuk melanjutkan tidurnya karena benar-benar lelah pada malam itu. Esok siangnya, Hakim terbangun pukul 10:00. Dia beranjak membuka toko. Dia mengambil hp-nya dan di layar hp-nya terpampang WA dari Ustadzah Rini.
“Hakim, nanti siang makan di sini ya. Ibu masak banyak, dan juga malam tidur di rumah ibu. Om Hardi nggak jadi pulang besok. Ditambah 5 hari lagi kerjanya,” tulis Ustadzah.
Hakim tidak menghiraukan WA dari Ustadzah. Dia berlalu membuka tokonya. Baru saja dia membuka toko, Sari menghampirinya.
Sari adalah janda anak satu. Menikah karena MBA. Pertama kali dia dan mantan suaminya bercinta langsung hamil kemudian menikah. Baru 4 bulan menikah, suaminya hilang entah ke mana. Hingga lahir anaknya yang sekarang berusia 1 tahun, Sari tidak pernah melakukan hubungan seks atau masturbasi. Wanita berhijab berusia 21 tahun dengan wajah manis dan bibir tebal, tubuh tidak terlalu kurus dengan payudara yang Hakim taksir ukurannya 32B. Yang membuat Hakim berniat untuk memilikinya adalah kesehariannya berjilbab namun pakaiannya ketat, hingga menampakkan lekuk tubuhnya.
“Bang Hakim, ini ada makanan dari Ustadzah Rini,” kata Sari.
“Haa, dari Ustadzah? Tumben dia kasih aku makanan,” jawab Hakim.
“Iya, nggak tau nih, Bang. Kami juga dikasih kok,” balas Sari.
“Ooo kalian juga dapat. Kirain spesial buat abang,” ujar Hakim.
“Yeee, pede banget abang ni,” jawab Sari sambil tertawa.
Hakim menerima makanan dari Ustadzah dan menyantapnya dengan lahap. Tak lama, Sari menghampirinya lagi.
“Bang Hakim, minta nomor WA-nya dong. Susah kali kalau mau minta tolong sama abang nggak ada nomor teleponnya,” pinta Sari.
“Halah, bilang aja mau WA-WA-an sama aku kan,” jawab Hakim dengan nada menggoda.
“Iihh pede kali abang ni,” balas Sari sambil mencubit pipinya.
Hakim pun memberikan nomor WA-nya pada Sari.
Setelah makanannya habis, Hakim melanjutkan bekerja. Hingga malam tiba, pukul 8, Hakim termenung merasa bimbang. Haruskah dia datang dan tidur di rumah Ustadzah Rini? Masih terbaring dalam kamar toko, sedikit dirindukannya senyum manis Ustadzah di hari-harinya. Hakim menatap layar hp dengan membuka WA Ustadzah Rini, namun enggan rasanya memulai chat. Tiba-tiba WA masuk, namun kali ini dari Sari.
“Bang, udah tidur?” tanya Sari.
“Belum, Dek. Ada apa?” balas Hakim.
“Sari nggak bisa tidur, Bang.”
“Loh, kenapa tumben?”
“Entah lah, Bang. Nggak tahu kenapa, kangen aja lihat abang.”
“Loh, loh. Kok jadi gombal gini? Jujur kenapa, cerita aja.”
“Panjang, Bang. Males ngetik.”
“Yaudah kita ngobrol di teras biar kamu bisa cerita.”
“Yaudah boleh, Bang, kalau nggak ganggu istirahat abang.”
Hakim membuka rolling tokonya, dan Sari membuka rolling tokonya. Mereka berdua duduk di teras toko Hakim. Sari berada tepat di sampingnya, menceritakan kisahnya sebagai janda anak satu. Hakim sedikit terkejut.
“Loh, jadi Sari udah menikah dan punya anak?” tanya Hakim.
“Iya, Bang,” jawab Sari.
Sedikit iba Hakim melihatnya. Kejujuran Sari membuat air matanya mulai mengalir. Orang-orang di sekitar tidak ada yang mengetahuinya. Hanya Hakim yang baru saja diceritakan Sari tentangnya. Sari menambahkan ceritanya dengan isak tangis yang menderai. Tiba-tiba hp Hakim berdering. Ada pesan WA masuk. Ternyata dari Ustadzah Rini. Hakim berpikir sekarang sudah jam 1 malam, Ustadzah belum tertidur.
“Siapa, Bang? Kok nggak dibalas?” tanya Sari.
“Palingan pelanggan doang, gpp,” jawab Hakim.
Semakin lama Sari bercerita, dia seakan mencurahkan semua isi hatinya yang menjadi beban selama ini. Sari bersandar di bahu Hakim, meratapi apa yang selama ini dia hadapi. Hakim pun membelai kepalanya. Sari seakan menikmatinya. Di ujung cerita, Sari mengatakan hal yang sama sekali tidak Hakim duga. Dia mengatakan kalau Hakim adalah satu-satunya orang yang paling dekat dengannya, mengerti dia, dan dia nyaman ketika berada dekat dengannya. Dan sudah sejak lama mengaguminya. Namun enggan menunjukkannya karena dia merasa siapa yang mau dengan janda anak satu yang hamil karena MBA. Hakim menghadap wajahnya tepat di hadapannya. Sesekali jarinya mengusap air mata Sari yang mengalir.
“Sari, kenapa nggak coba untuk buka hati ke yang lain? Nggak mungkin nggak ada yang mau sama kamu. Kamu masih muda dan cantik,” ujar Hakim.
“Aku masih trauma, Bang, dengan mantan suamiku. Di mataku, lelaki yang dekat denganku sama saja. Mereka gak seperti Bang Hakim. Kasar, kurang perhatian, gak ngerti perasaan wanita. Beda dengan Abang yang menurut Sari layak menjadi contoh semua laki-laki,” balas Sari.
“Sari, dengar Abang. Teruslah berusaha, bukan untuk Sari sendiri, tapi untuk anak Sari yang seharusnya mendapat kasih sayang lebih dari Sari. Dia harus berjuang merasakan ibunya jauh. Itu harus jadi motivasi Sari ke depannya. Kalau perlu cerita atau apapun, hubungi Abang. Abang akan bantu sebisa Abang dan juga akan selalu ada untuk Sari,” ujar Hakim.
Sari terharu dan memeluk Hakim erat. Hakim merasakan kenyal payudaranya yang saat itu hanya mengenakan kaus ketat tanpa jilbab. Sari berterima kasih sudah mau mendengarkan ceritanya. Mereka pun berpisah dan kembali.