Gairah Sang Ustadzah - Bab 06
Ustadzah Ika terbaring lemas merasakan sisa-sisa orgasmenya. Nafasnya mulai teratur meskipun tenaganya sudah melemah. Isak tangisnya pun mulai berkurang, terlihat dari raut wajahnya yang malu karena orgasme yang ia dapatkan. Pandangannya tak luput memandangi kontol Hakim yang tegang keras. Hakim tetap tersenyum, sedikit menggerakkan alisnya ke atas. Yang ada dalam pikirannya, ustadzah alim dan sholehah kini takluk dihadapannya. Bahkan saat Hakim mengocok kontolnya, Ustadzah hanya terperangah melihat tindakannya. Entah apa yang dia pikirkan. Sengaja Hakim biarkan Ustadzah mengembalikan tenaganya sambil terus mengocok kontolnya. Ustadzah pun tak henti-henti melihat kontol Hakim yang mengeras. Kurasa baru kali ini dia melihat kontol panjang dan keras selain milik suaminya.
Saat Hakim merasa cukup memberinya jeda, dia menjulurkan kejantanan ke hadapan wajah Ustadzah, tepat di depan mulutnya. Ustadzah tetap termenung, menatap tajam kontol Hakim.
“Hakim: Kenapa Ustadzah ku? Kenapa hanya dilihat, Ustadzah Ika?”
“Ustadzah: Punya Om Hardi tak sepanjang ini, Iim. Kamu masih muda dan masih bertumbuh. Tapi kelaminmu sudah sebesar ini.”
“Hakim: Nikmatilah, Ustadzah. Gapai apa yang selama ini tak ada dari suamimu.”
“Ustadzah: Hakim, ini tidak baik. Kita salah, Iim.”
“Hakim: Baiklah. Hakim minta maaf, apa yang Hakim lakukan ke Ustadzah sudah terlampau batas. Hakim pamit.”
Hakim segera membalikkan badan dan mengambil pakaiannya. Dia sengaja mengulur waktu. Ketika selesai berbicara, nampak raut wajah Ustadzah kecewa. Berharap Hakim memaksanya dan menggumuli lubang vaginanya saat itu juga. Dengan telanjang bulat, Hakim segera melangkahkan kaki keluar kamar Ustadzah. Ustadzah memanggilnya, namun tak dihiraukannya. Hakim menuju kamar dan membaringkan tubuh telanjangnya di sana. Tak lupa mematikan lampu dan menyalakan lampu tidur. Hakim yakin Ustadzah akan menghampirinya saat itu juga, karena merasa dia tahu semua perbuatannya sejak awal memijatnya hingga sekarang. Bahkan ketika Hakim berubah menjadi kasar dan memperkosanya dengan jari hingga orgasme dirinya dapatkan. Serta Hakim yang sudah melihat tubuh bugilnya. Ditambah suaminya yang tak bisa memberinya kepuasan, vibrator yang sering dia gunakan, pakaian dalam yang seksi. Tak ada alasan lain untuk menolak kontolnya selain dia menjaga imagenya sebagai ustadzah.
Sekitar 15 menit berlalu, tak terlihat tanda-tanda Ustadzah akan menghampirinya. Hakim mengantuk dan tertidur dengan bertelanjang ria. Esoknya, sekitar pukul 4 subuh, dia terbangun mendengar deritan pintu kamar Ustadzah terbuka. Hakim melihat keluar pintu, ternyata dia lupa menutup pintunya semalam dan tidur dalam keadaan bugil.
Dia melihat kontolnya menegang karena hawa dingin yang terasa. Sedikit dilihatnya bayang-bayang seseorang di dekat pintu kamar. Hakim berpikir mungkin itu Ustadzah. Mengapa dia berdiri di sana? Hakim pura-pura tertidur. Dia menyiapkan cermin kecil untuk melihat ke belakang. Terlihat sosok wanita masuk ke kamarnya, lalu menyalakan lampu. Nampaklah Ustadzah yang hanya memakai CD dan hijab sebatas bahu. Hakim terperangah melihatnya di balik cermin kecil yang dipersiapkan. Ustadzah semakin mendekat.
Dengan ragu dan semakin mendekat, gugup dia ketika sudah berada di tepi kasur tempat Hakim tertidur. Dengan gemetar dia menyentuh tubuh bugil Hakim, mengelusnya dan menekan perlahan tubuhnya dalam keadaan tidur miring dengan pelukan guling. Kontol Hakim menegang di balik guling. Ustadzah tiba-tiba mendorong badannya dan terbaringlah Hakim dengan kontolnya menjulang ke atas. Ustadzah menahan desahnya dengan tangan karena terkejut. Ragu, gugup, bimbang, takut akan dosa bercampur menjadi satu saat tangannya perlahan menyentuh kontol Hakim dan menggenggamnya. Terdengar Ustadzah sedikit berbisik dan menyebut namanya,
“Hakim, besar sekali.” Dengan perlahan dia menggerakkan tangannya mengocok kontol Hakim. Masih ragu gerakannya mengocok kejantanannya, namun makin lama Ustadzah makin menguasai situasi. Terasa kocokannya mulai dinikmati tiap gesekannya. Semakin lama Ustadzah mengocok kontol Hakim. Mungkin dia tak tahan. Dia majukan wajahnya tepat di hadapan kontol Hakim. Sedikit bersuara Ustadzah mengatakan,
“Hakim, ibu menginginkannya, jangan terbangun.” Dilahapnya kontol Hakim yang memang sudah menunggu untuk merasakan lembut bibir Ustadzah tanpa pemaksaan. Sangat bernafsu sekali Ustadzah menghisap kontol Hakim. Terkadang dijilatnya butiran telur kejantanannya membuat Hakim sedikit mendesis. Ustadzah terkejut. Dia menghentikan aksinya. Dirasa Hakim tak merespon lagi. Ustadzah melanjutkan menghisap kontol Hakim hingga penuh dengan air liurnya. Satu tangannya kemudian meremas payudaranya sendiri. Terdengar desahannya, saking menikmatinya dia menutup mata sambil tetap menghisap kontol Hakim dan meremas payudaranya.
Momen ini digunakan Hakim untuk membuka mata dan melihat lebih jelas. Pertahanannya terasa ingin jebol oleh hisapan Ustadzah yang sangat nikmat. Namun Hakim tahan. Tak sengaja dia bersuara, mendesah karena tak sadar nikmatnya hisapan Ustadzah ketika lidahnya menjilat-jilat ujung kontol Hakim. Ustadzah terkejut dan segera berdiri dari kasur. Namun, tangannya segera didekap Hakim. Dia tersentak lalu memandang Hakim.
Hakim menatap tajam mata Ustadzah Rini. “Ustadzah Ika…” ucapnya.
“Hakim!” jawab Ustadzah dengan nada terkejut.
“Ustadzah, kemarilah. Puaskan apa yang selama ini belum terpuaskan,” ajak Hakim.
“Tidak, Iim. Ini salah. Maafkan ibu,” jawab Ustadzah dengan suara bergetar.
“Hakim tahu. Ustadzah menginginkannya juga. Hakim merasakan saat Ustadzah menghisap kejantanan Hakim.”
“Tidak, Iim. Ibu baru ingin ke kamar mandi dan melihat kamu tidur telanjang. Dan ibu… hmm… ibu ingin menutup badan kamu dengan selimut,” bantah Ustadzah.
“Jangan berbohong, Ustadzah. Hakim hanya pura-pura tertidur. Hakim melihat semuanya. Bahkan ketika saat itu makan siang Ustadzah sedang di kamar menikmati vibrator mengaduk-aduk vagina Ustadzah.”
“Tapi, Iim. Ibu bersuami. Dan… dan kita tidak bisa melakukannya,” Ustadzah berusaha menghindar.
“Sudahlah, Ustadzah ku. Ustadzah membutuhkan kasih sayang dan kepuasan batin yang bahkan suami ibu sendiri tak dapat memberikannya. Dan Hakim, sudah sejak lama menjadi pemuja dirimu, Ika,” Hakim mendekati Ustadzah.
Hakim bangkit, merangkul Ustadzah, dan mencium bibirnya. Ustadzah setengah menolak, hanya mengecup pinggiran bibirnya. Hakim teruskan aksinya, tangannya yang bebas bergerilya menekan leher belakangnya. Ustadzah membalas ciuman Hakim, lidah mereka bermain di antara kecupan dan dera nafas yang menggebu-gebu. Tangannya yang satu lagi melingkar di pinggang Ustadzah, sesekali meremas bokong seksinya.
Mereka berjalan menuju tembok, memojokkan Ustadzah agar dapat bersandar. Kini Hakim lebih agresif, kedua tangannya meremas payudara Ustadzah. Ustadzah mendesis karena kerasnya remasan Hakim. Puas berciuman, Hakim mengalihkan ciumannya ke leher jenjang Ustadzah. Ustadzah memeluk erat tubuh Hakim, terdengar desahannya yang menggelora.
“Hmm… Hakim…” desah Ustadzah.
Hakim menghisap tetek Ustadzah, terkadang menggigit kecil pentilnya yang menjulang keras. “Aww… sst… argh… Hakim…” Ustadzah tetap pasif, menikmati jilatan, hisapan, dan gigitan Hakim. Tangannya menggenggam kepala Hakim seakan tak ingin menghentikan aksi itu.
Hakim memindahkan ciumannya agak ke bawah, menjilati perut mulus Ustadzah setiap incinya. Sampai di pusatnya, Hakim mencium, menghisap, dan memainkan lidahnya membuat sensasi geli mengalir ke seluruh tubuh Ustadzah.
“Ahhh… Ssttt… Hakim, cukup…”
“Ohh… Sssttt…”
Hakim memperhatikan wajahnya, matanya menjenjang ke atas dan bola mata hitamnya hampir tak terlihat. Hakim mengarahkan wajahnya tepat di vaginanya, menjilati klitorinya yang memanjang keluar. Hakim menghisapnya, dan memasukkan dua jarinya ke dalam lubang vaginanya. Becek, licin, dan basah, Hakim menggerakkan perlahan jarinya sambil tetap memainkan klitoris Ustadzah Rini.
“Cloppp… Clookcxk… Cckk… Ckk… Ckk…” bunyi banjirnya vagina Ustadzah yang sedang dimainkan dengan jemari Hakim.
“Ohhh, Hakim… Sssttt… Nikmaaaattt, iim… Ahhhh…”
“Achhhhh… Iim, jangan siksa ibu… Aaaahhhh…”
Hakim tak pedulikan Ustadzah Rini. Desahan demi desahan semakin keras terdengar dari mulut binal sang Ustadzah. Hakim mempercepat tempo kocokan jarinya. Ustadzah tak henti semakin kencang menjerit nikmat tak tertahankan.
“Ooohhh… Iihh… Iyah… Iyah… Ahh…”
“Iyah… Itu, iim… Terusss…”
“Aduuhh… Aduuhhh… Aahhh…”
“Hakim… Hakim… Hakim… Aaaahhh… Iyah… Iyah… Aaaahhh… Aaaahhh…”
“Aaaahhh… Mmmm… I-II… Buuu… Aaachhhh… Keluarrrrr…”
“Niik… Maaaatt… Aaaa… Aaachhhhh…”
Semburan orgasme Ustadzah membanjiri wajah Hakim. Kini Ustadzah terbaring lemah tak berdaya di lantai kamar Hakim. Hakim memperhatikan tubuh bugil berjilbab Ustadzah Rini. Jilbabnya basah penuh keringat karena aksinya. Dengan nafas tersengal-sengal, Ustadzah berusaha bicara pada Hakim.
“Iim, hah… Hah… Hah…” Ustadzah menghela nafasnya, mencoba berbicara.
“Iya, Ustadzah Rini. Kenapa?” tanya Hakim.
“Ibu belum pernah merasakan seks senikmat ini, Iim.”
“Seks? Hakim belum pernah merasakan nikmatnya kejantanan Hakim ada di dalam memek Ustadzah,” jawab Hakim.