Gairah Sang Ustadzah - Bab 05
Di kamar, Hakim termenung, terdiam, dan terpaku. Hanya dapat terbaring lemah sehabis kejadian yang dialaminya barusan. Sisa-sisa tenaga digunakannya untuk mengatur napas sedemikian rupa. Sosok Ustadzah muncul dalam benaknya…
Sosok nan anggun menyerupai bidadari langit ketujuh, indah dipandang, elok rupa, berbalut hijab nan lebar dan gamis panjang yang menutupi seluruh tubuh indahnya. Bagai sang bulan yang ditemani ribuan bintang, sunyinya malam nan gelap menjadi terang hanya karena senyumnya seorang. Alim perangainya, solehah kebaikannya, setia prinsipnya… kini dihadapannya, dia tak lebih dari seorang wanita yang butuh kepuasan batin yang tinggi. Vibra itu, teriakan itu, desahan, serta raut wajah yang disuguhkan sungguh menunjukkan bahwa dia membutuhkan seseorang yang mengerti keinginannya. Dan suaminya, suami lemah itu, tak tahu apa yang sesungguhnya dia butuhkan. Tinggalkanlah dia… dan dekaplah aku. Biarkan mimpi-mimpi sang pemujamu ini terwujud bersamamu, Ustadzah.
Hakim masih tertahan karena dia anggap Ustadzah adalah wanita baik yang terlalu kejam jika dia nodai. Bibir tebal dilapis warna lipstick merah merona selalu tercetak jelas dalam dinding-dinding kaca mimpinya. Buah dadanya yang indah membulat dan membusung tepat di hadapan mimpinya, vagina tebalnya, bulu halus yang mengelilingi lubang surganya selalu tertata rapi dan menggairahkan. Bokong besarnya laksana angsa menari berjalan mengelilingi tepi-tepi alam mimpinya. Ustadzah, kumohon… lepaskan jeratan godaanmu… seluruh indahmu… meski kutahu tak ada niatmu untuk menggoda aku. Aku hanyalah pemuda yang mengagumi sosok di balik gamis dan hijabmu.
Praaankkkkkk…!
Lamunan Hakim terhenti saat dia mendengar suara pecahan gelas di lantai bawah. Segera dia melangkahkan kaki menuju dapur. Di dapur, dia melihat Ustadzah memungut serpihan beling yang terserak di lantai.
“Ada apa, Ustadzah?” tanyanya.
“Ini, Iim, tadi lagi bawa gelas tersenggol ujung lemari jadi lepas deh gelasnya,” jawabnya.
“Sini, Bu, Hakim bantu,” katanya sambil mendekat.
Hakim membantu Ustadzah merapikan pecahan beling di lantai, tiba-tiba tangan Ustadzah terkena pecahan beling.
“Aww… aduhhh!” serunya.
Segera dengan respon cepat Hakim menggapai jari telunjuk Ustadzah dan menghisapnya dengan mulutnya. Ustadzah menatapnya, dia pun sebaliknya. Dia tersipu. Hakim melepas hisapannya.
“Eh, maaf Ustadzah,” katanya gugup.
“Iya, Hakim… gpp,” jawabnya.
“Maaf, Bu, tadi refleks banget Hakim… bener-bener minta maaf,” ujarnya seraya mengambil handsaplast dan membalut jemari Ustadzah yang terkena pecahan gelas. Segera dia menyelesaikan membersihkan beling di lantai.
Setelah itu, Hakim segera menuju meja makan dan menghampiri Ustadzah yang sedang memberikan makanan pada anak-anaknya. Sedangkan Salwa sedang tertidur pulas di sofa. Di meja makan, mereka terdiam. Suasana hening. Sepertinya Ustadzah masih memikirkan kejadian lancang tadi yang dilakukan Hakim.
“Ustadzah, nanti ngajar ngaji?” tanyanya untuk memecah keheningan.
“Enggak kayaknya, Iim, badan Ibu masih capek, mungkin karena jalan-jalan kemarin,” jawabnya.
“Yaudah, Ibu istirahat aja dulu,” katanya.
Padahal dia tahu, kenapa Ustadzah terlihat lelah dan lesu. Sungguh yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana menikmati kemolekan di balik gamis Ustadzah Rini. Selesai makan, segera Hakim kembali ke toko dan bekerja. Hari semakin sore dan jam menunjukkan pukul 17:00. Dia mengirim WA kepada Ustadzah Rini sekadar menanyakan kabarnya.
“Ustadzah, gimana keadaannya? Udah baikan?”
Agak lama belum juga ada balasan. Sekitar 20 menit kemudian HP-nya berbunyi. Dia membuka dan ternyata Ustadzah membalas WA-nya.
“Udah, Iim, Ibu baru bangun… kamu masih kerja, Iim? Jam berapa tutup toko?”
“Masih Ustadzah, mungkin nanti jam 8 baru tutup.”
“Nanti kamu tidur sini ya, Iim, temenin Ibu, Ibu takut kalau tidur sendiri.”
“Iya Ustadzah, nanti Hakim kesana.”
“Yaudah, Iim, Ibu mau mandi dulu ya.”
“Iya Bu, kalau udah selesai mandi kirim foto, Bu, hehehehe.”
“Kamu ini, untuk apa foto Ibu, orangnya kan bisa dilihat.”
“Gpp Bu, kangen aja sekarang pengen lihat Ibu biar semangat kerja.”
“Yaudah nanti ya.”
Begitulah isi percakapan Hakim dengan Ustadzah Rini. Dia pun tak menyangka beliau akan merespon semudah itu. Dia mengira dia akan menolaknya. Selang 30 menit kemudian WA-nya berbunyi. Ternyata ada panggilan video dari Ustadzah Rini. Dia menjawab panggilan tersebut, terpampanglah Ustadzah Rini sedang berbaring di kasurnya. Ustadzah menggunakan jilbab dan gamis warna biru muda, dilengkapi dengan riasan yang sepertinya agak berantakan.
“Halo, Hakim, masih kerja ya anak bujang,” sapa Ustadzah.
“Hehe, Ustadzah cantik, masih dong. Mumpung ada kerjaan.”
“Yeee… cantik-cantik bilangnya, orang udah anak tiga nih… masih dibilang cantik.”
“Iya Bu, beneran. Walau anak tiga, empat, lima, Ibu masih cantik kok, ahahahah.”
“Gombal kamu ya, masa gombalin Ustadzah sih… pacar kamu sana gombalin biar makin cinta.”
“Abisnya Ustadzah lebih cantik sih, udah cantik, baik, setia, idaman Hakim banget deh.”
Hakim mengamati video call sekitar Ustadzah, nampak sedikit vibra dibalik bantal tempat Ustadzah bersandar. Dia senyum-senyum sedikit. Namun Ustadzah tak menyadarinya.
“Kenapa kamu senyum-senyum gitu?”
“Gpp Ustadzah, seneng aja bisa video call sama Ustadzah. Pengen cepet-cepet pulang rasanya.”
“Yaudah, pulanglah. Toh kerjaan untuk hari ini sudah selesai. Lagian disana malam kan sepi Iim. Betah kali kamu lama-lama disana.”
“Yaudah, Hakim tutup toko dulu ya, Ustadzah. Eet, mana janjinya, kirim foto.”
“Iya, iya nanti Ibu kirim deh dasar kamu ini.”
Hakim menyudahi video call dengan Ustadzah dan segera bergegas menutup tokonya. Tak lama kemudian, HP-nya berdering. Dia melihat WA dari Ustadzah dengan tiga gambar yang ia kirim. Anggun, cantik, manis. Setelah diperhatikan lebih lama, ternyata dia tidak menggunakan BH dan jilbab lebarnya. Hanya mengenakan jilbab langsung sebahu. Gamisnya pun tidak terlihat cetakan BH Ustadzah. Segera Hakim memacu motornya menuju rumah Ustadzah. Sesampainya di sana, dia mengetuk pintu dan Ustadzah membukanya sambil menggendong Salwa. Salwa girang dengan kedatangannya, langsung bergoyang-goyang di pelukan sang ibu. Kemudian Hakim mengambil Salwa dari gendongan Ustadzah sambil tangannya mencoba merasakan buah dada Ustadzah. Benar saja, dia tak memakai BH di balik gamisnya. Sambil masuk, mereka bermain-main dengan Salwa dan sang ibu dihadapannya. Mereka bersenda gurau di hadapan ibunya.
Lama mereka bermain, waktu menunjukkan pukul 20:00. Anak-anak Ustadzah pun sudah tertidur, begitu pun Salwa tertidur di pelukan Hakim. Segera Hakim dan Ustadzah membawanya ke kamar dan meletakkan Salwa di tempat tidurnya. Ustadzah menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Tangannya mengurut-urut bahunya.
“Kenapa, Ustadzah?” tanyanya.
“Pegal-pegal badan Ibu, Iim, gak tau kenapa akhir-akhir ini sering pegal-pegal.”
“Kalau boleh, Hakim pijitin, Bu. Hakim sering kok mijitin ayah ibu Hakim.”
“Kamu kan capek, Iim, habis kerja.”
“Gak apa-apa, Bu. Hakim gak capek kok. Sini, Ibu duduk aja, nanti Hakim urut di belakang.”
“Oke deh, Iim. Pegal sekali badan Ibu.”
Hakim memposisikan dirinya di belakang Ustadzah yang duduk di bangku, dan mulai mengurut bahu Ustadzah perlahan. Terkadang urutannya berubah seperti mengelus leher belakang Ustadzah. Ustadzah terlihat menikmati urutannya. Lama dia berada dalam posisi itu. Terkadang Ustadzah menghembuskan nafas menahan geli ketika urutannya berubah menjadi elusan lembut pada lehernya. Hakim sedikit tersenyum. Sang Ustadzah menikmati setiap gerakan jari yang diberikan padanya.
“Kalau mau, punggungnya sekalian, Ustadzah, biar merata sampai bawah. Karena pangkalnya ada di punggung, biar Ibu enakan sekaligus nanti.”
“Boleh, Iim. Emang kamu gak capek? Enak sih pijitanmu.”
“Gak, Bu. Ibu tengkurap aja di kasur.”
Ustadzah segera merubah posisinya menjadi tengkurap di kasur. Kini Hakim leluasa melihat bokong indah milik Ustadzah walau masih terbungkus CD dan gamisnya. Dia mulai mengelus punggung Ustadzah yang masih memakai gamis. Mengurut perlahan sampai merata di sekitar punggungnya. Sesekali jemarinya mengelus-elus dan menjalar ke samping tetek Ustadzah yang terhimpit badannya. Dia tak merasakan ada BH yang menghalangi pijatannya. Dia berlama-lama di daerah tersebut. Terkadang Ustadzah sedikit bersuara mendesah. Hakim berpikir dia juga menikmati tindakannya.
Kemudian, dia mengubah alur urutannya ke bagian bawah. Sejenak dia hentikan dan melihat Ustadzah. Ternyata saking menikmatinya, dia tertidur. Segera Hakim menggerakan tangannya ke bawah bagian pantat Ustadzah yang membusung di balik gamis. Dia sedikit takut khawatir Ustadzah merasakan perbuatannya. Semula dia hanya mengelus-elus pantat Ustadzah. Karena tak ada respons dan gerakan dari Ustadzah, dia mengganti elusannya dengan lebih menekan pantat Ustadzah. Kenyal, lembut, besar, dan menggairahkan. Lama dia memeras bokong Ustadzah. Sejenak ada gerakan pada Ustadzah. Hakim terkejut dan menghentikan aksinya, lalu kembali mengubah pijatannya ke arah punggung. Setelah lama dan jantungnya berdebar kencang, dia menyudahi aksinya dan pergi berlalu meninggalkan Ustadzah.
Hakim kembali ke kamar dan melepas pakaiannya, hanya mengenakan boxer. Dia berharap esok pagi Ustadzah menghampiri kamarnya dan melihat kontolnya menyembul di balik boxer. Namun, keesokan paginya, tidak ada hal yang terjadi. Hakim pun berniat untuk mengurangi offensive body terhadap Ustadzah. Tarik ulur seperti ini sangat dibutuhkan agar Ustadzah tidak merasa dia sedang dibutuhkan.
Hari berjalan cepat. Tak terasa sudah hari keempat semenjak kepergian Om Hardi, suami Ustadzah, ke Sumbar. Pada hari kelima, getar-getar surga mulai datang padanya. Keberuntungan datang menghampirinya. Seperti biasa, Hakim bekerja di toko sedangkan Ustadzah ada di rumahnya. Pukul 20:00, Hakim pulang dan menuju rumah Ustadzah. Sesampainya di sana, dia disambut oleh Ustadzah dengan gamis tidur yang tipis dan jilbab hitam yang hanya sebatas bahu. Percakapan terjadi di antara mereka, hingga akhirnya Ustadzah meminta Hakim untuk memijitnya kembali.
“Iim, bisa minta tolong pijitin Ibu, Iim? Badan Ibu rasa kurang sehat hari ini,” kata Ustadzah.
“Oke, Bu. Langsung baring aja ya,” jawab Hakim.
Ustadzah dan Hakim menuju kamar Ustadzah. Kemudian Ustadzah langsung berbaring. Hakim memposisikan diri untuk memijat Ustadzah, dimulai dari pundak dan leher bagian belakang. Dia menggerakkan perlahan jemarinya menari di tubuh sang Ustadzah. Dia menikmatinya, bahkan elusan-elusannya semakin intens di leher belakang Ustadzah. Terkadang terdengar desahan kecil dari Ustadzah Rini. Jemarinya pindah ke bagian punggung dan pinggir punggung, di mana dia mengelus serta menekan daerah payudara Ustadzah yang ternyata sudah tidak memakai BH. Terasa empuk dan kenyal, dia menyentuh bagian itu. Terkadang dia sedikit menekan bagian itu diiringi desahan kecil dari Ustadzah, tapi tak sedikitpun dia menahan gerakannya. Bahkan, dia membiarkannya menjamah tubuhnya.
Hakim menurunkan pijatannya menuju pantat Ustadzah yang seksi itu. Sedikit dia mengelus dan meremas pelan. Ustadzah tidak ada penolakan, dia menikmati setiap inci tubuhnya yang disentuh Hakim. Ingin rasanya segera dia jinakkan binalnya Ustadzah ini. Puas dengan bokongnya, Hakim meminta Ustadzah berbaring. Ustadzah mengikuti instruksinya tanpa perlawanan. Mata Ustadzah sengaja dipenjami, mungkin malu dengan Hakim. Dia memijat bagian tangan dan menariknya perlahan. Ustadzah mendesis agak kesakitan. Kemudian bagian samping leher dia elus-elus halus bersamaan dengan desahan kecil Ustadzah Rini. Tak ingin aksinya dicurigai, Hakim memindahkan pijatannya ke bagian samping kepala dan mengurutnya perlahan.
Tak dia hiraukan bagian kepala itu. Sibuknya jemarinya memijat kepala Ustadzah, matanya tak henti melihat busungnya tetek Ustadzah yang tak dibalut BH dengan pentil yang tercetak jelas di balik gamisnya. Nafsu semakin di ujung. Melihat getaran tetek Ustadzah Rini seiring dengan nafasnya, kontol di balik celananya semakin menyesak. Hakim memindahkan pijatannya ke bagian kaki. Tak berlama-lama dia menyibakkan gamis Ustadzah sampai di atas paha. Sedikit dilihatnya CD biru muda yang dipakainya. Dia perhatikan, kenapa tak ada penolakan dari Ustadzah. Ternyata dia tertidur.
Hakim melanjutkan aksinya, memijat paha putih mulus milik sang Ustadzah. Dengan geram terkadang dia meremasnya. Tak ada reaksi dari Ustadzah. Nafsu semakin tinggi. Gerakan tangannya sengaja dia percepat hingga menyentuh pinggiran memek Ustadzah. Dia pastikan dia tertidur, nafsu semakin menggelembung. Tak tahan, Hakim membuka seluruh pakaiannya hingga nampaklah kontol besar panjangnya. Lalu, dia naik ke atas kasur dan menindih Ustadzah. Pikiran kacau dan tak menentu. Apapun yang terjadi nanti akan dia terima. Dia menahan tangan Ustadzah dan menciumi lehernya. Karena kerasnya gerakannya dan dengusan nafasnya yang menggebu-gebu, Ustadzah terkejut dan membuka matanya.
“Hakim, ngapain kamu? Lepaskan Ibu.”
“Hakim gak tahan, Ustadzah. Ustadzah cantik sekali. Hakim udah lama menginginkan Ustadzah, dan Ustadzah pun membuat nafsu Hakim meningkat.”
Ustadzah meronta-ronta, tapi tenaganya tak mampu melepaskannya dari jeratan Hakim. Dia mencium dan merasakan leher Ustadzah yang masih mencoba berontak dari genggamannya.
“Hakim, lepaskan. Ini gak baik. Dosa, Hakim. Lepaskan Ibu. Kamu mau apakan Ibu? Lepaskan, argh…”
Tak dia hiraukan teriakan Ustadzah. Tak tahan ingin melihat isi dalam gamis, dia merobek sekuat tenaga resleting gamis Ustadzah sehingga menyembul keluar tetek bulat padat Ustadzah dengan pentil yang kuning kecoklatan. Dia menghisap tetek Ustadzah dengan penuh nafsu.
“Lepaskan, Hakim. Ah, jangan. Jangan di situ, ah. Hakim, lepaskan Ibu.”
Hakim lengah. Kaki Ustadzah Rini yang bebas mendorongnya terpental. Ustadzah Rini lari keluar kamar, namun dengan cepat Hakim menarik kaki dan gamisnya hingga dia terjatuh. Gamisnya pun robek hingga melebar ke atas, memperlihatkan CD yang dikenakan Ustadzah. Pertahanan Ustadzah lemah akibat jatuh tadi. Hakim memeluk tubuhnya dan melemparnya kembali ke kasur.
“Hentikan, Hakim, cukup. Jangan kurang ajar kamu, Hakim. Lepaskan Ibu,” Ustadzah menangis mengeluarkan air matanya. Namun, nafsu Hakim yang sudah tak terbendung berkata lain. Dia segera menindih Ustadzah dan menahan tangannya. Ketika Hakim mendekatinya, Ustadzah menoleh dan terkejut dengan tubuh bugil Hakim, memandang kejantannya yang sudah tegang mengacung dan siap untuk menikmati lubang surga miliknya.
Hakim menjambak jilbab dan rambut Ustadzah. Dia mendekatkan kontolnya ke dalam mulutnya, namun Ustadzah menolak dengan menutup mulutnya rapat-rapat. Hakim menggenggam pipinya hingga mulutnya terbuka dan mengarahkan kontolnya masuk dalam mulut Ustadzah. Dalam kondisi menangis dan mengiba, bahkan tersedak ketika kontol Hakim keluar masuk dalam mulutnya.
“Ogglllookkk…cloooookk…cloooggg… ahhhh.. cukup, Hakim, hentikan…”
Tak dihiraukannya permohonan itu. Kembali Hakim memasukkan kontolnya dalam mulut Ustadzah. Air mata semakin berderai di wajah Ustadzah. Tak ingin berlama-lama di sana, segera Hakim mendorong tubuh Ustadzah dan merobek seluruh gamis yang tersisa. Kini, di hadapannya, Ustadzah yang alim berada dalam keadaan bugil. Hakim membuka lebar kaki Ustadzah dan menjilat lubang memeknya. Ustadzah menjerit.
“Arrghhhh, stop, Hakim.. ja,..ngaaaaggghhhhh… jangan, Im.. ampuni ibu .. arghhhhh…”
Antara menolak dan mengharapkan tidak jelas dari Ustadzah. Tangannya yang bebas menggenggam rambut Hakim justru menekan, seakan menyuruhnya untuk tetap menjilati memeknya. Hakim menjilat itil Ustadzah secepat mungkin. Desahan dan jeritan sang Ustadzah bercampur menjadi satu. Hakim memasukkan dua jarinya dalam memek Ustadzah Rini sambil tetap menjilati itilnya.
“Arghh,,, Hakim.. hentii……. aggrrhhh.. please.. baa..iimm.. arghh jang…..aann diiiisiittuuuu iyaaaahh…”
“Hakim.. oohhh janggggaaaan……….. aarghh,,, Hakimmm….. kamuuu kuurrr…aaaghhh…”
Perlawanan Ustadzah semakin mengurang. Kini Ustadzah Rini sedikit menikmati jilatan dan kocokan jari Hakim dalam memeknya.
“Arghhhh, Baiiimmmmm… stttt…jannnngggaaaaann……. arghhhhh, niiiikkkmaaatttttt…”
“Oohhhhhh… ibu.. ga tahaaaaaaa…aaaannn .. baiiiiiiiiiiiiiiiimmmmmmmmmmmmmm.”
“Ibuuu keluaarrr……. arrrghhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh,……”
Seluruh badan Ustadzah menggenjang. Ustadzah mengalami orgasmenya dengan napas tersengal-sengal dan cairan yang keluar membasahi wajah Hakim. Dia membiarkan Ustadzah mengembalikan tenaganya dengan napas yang ngos-ngosan dan derai air mata yang sedikit mengering namun masih mengalir. Hakim mempersiapkan rudalnya untuk tempur.
Manusia
min bab 5 dan 6 sama isinya
admin
siapp, udah di update sampe 9