Gairah Sang Ustadzah - Bab 04
Dengan halaman yang luas dan kolam renang di belakang, rumah Ustadzah Rini berdiri megah dengan dua tingkat. Hakim diberikan kamar di tengah, di antara kamar Ustadzah dan kamar pembantunya. Kamar anak-anaknya berada tepat di depan kamarnya.
Waktu menunjukkan pukul 23:00 WIB, menandakan hari telah malam. Namun, rasa kantuk tak kunjung menghampiri Hakim. Ia melangkahkan kaki untuk sekadar mencari angin di luar dan menyalakan rokok. Tujuannya adalah kolam renang.
Sedang asyik menghembuskan asap rokok hingga dua-tiga batang, Hakim melihat samar dari jauh sosok seorang wanita. Ia kembali fokus, menyipitkan mata; apakah benar sosok berambut sebahu, menggunakan tank top dan hot pants, adalah Ustadzah Rini? Pelan-pelan dia mematikan rokok dan menuju ruang dapur, tempat wanita itu berjalan. Benar saja, waaawww… Seorang Ustadzah yang biasa dia lihat berjilbab lebar dan gamis panjang, kini dihadapannya dengan pemandangan indah. Ustadzah Rini hanya menggunakan tank top tanpa bra, karena tidak ada cetakan bra di balik tank top tersebut. Putingnya terlihat jelas di balik tank top, dan dia hanya memakai hot pants tanpa celana dalam.
Keindahan alami oval wajah cantiknya, dengan tinggi 157 cm serta buah dada berukuran 36C yang tak dapat ditutupi oleh tank top, kini ada dihadapannya. Namun, sepertinya Ustadzah agak murung. Timbul niat iseng Hakim; pura-pura seperti orang tidur berjalan. Dengan deg-degan dia menjalankan aksinya.
“Intan, Intan… Kamu di mana?” Sambil meraba-raba depannya agar tidak terjatuh, Hakim menggoyangkan tangannya layaknya orang yang tidur berjalan. Dia memanggil-manggil nama pacarnya agar tidak curiga. Tiba di dekat Ustadzah, ia terkejut sambil menutupi dadanya dengan kedua tangannya.
“Iim… Ngapain ka…?” kata-kata Ustadzah terhenti, mungkin heran dengan tingkah Hakim. Sedikit senyum terlukis di bibirnya. “Oalah… Ngigau dia, sampai-sampai tidur jalan,” ucapnya.
“Intan, aku sayang kamu. Kamu di mana sayang?” Hakim tetap dalam kondisi tidur berjalan.
“Intan di sana lah, Iim… Di konter. Ngapain kamu cari di sini?” balas Ustadzah.
Dengan cekatan karena merasa Ustadzah sudah merespons dan menganggap dia ngigau, Hakim menyentuh mukanya dengan lembut. Ustadzah sedikit kaget, tangannya menggenggam tangan Hakim namun tak menahan atau menariknya.
“Iim… Ini Ustadzah, Iim… Bukan Intan!” katanya.
Tak dihiraukan oleh Hakim. Dia melingkarkan tangannya yang tadinya menyentuh pipi Ustadzah dengan mengelus-ngelus agar memberikan sensasi geli dan nikmat. Kini tangannya menggenggam kepala bagian belakang Ustadzah. Dia memajukan sedikit pelan-pelan, kemudian mereka berciuman.
“Intan, I love you!” ucap Hakim.
Ustadzah diam, kukira akan ada penolakan, namun dia hanya diam mengikuti alur yang diberikan padanya. Kini ciumannya dibalas oleh Ustadzah. Tak disangka dia akan membalasnya. Tak sampai di situ, tangan Hakim yang satu memeras pantatnya yang hanya dibalut hot pants. Dia tak ada penolakan sedikitpun. Mungkin muka mesem dan kesalnya tadi karena habis bergumul dengan Om Hardi namun tak terpuaskan. Hakim yakin dia masih dalam keadaan horny. Dan baru juga dia sadari vibrator yang ada di toko itu untuk memuaskan nafsunya yang tak terpuaskan.
Masih menggenggam bokong yang seksi itu sambil tetap berciuman. Tapi, Hakim menghentikan. Terlihat raut kesal tapi bingung oleh Ustadzah. Hakim meninggalkan Ustadzah dan kembali ke kamar di atas masih dalam keadaan tidur berjalan.
***
Hakim berbaring di tempat tidur dengan kedua tangan masih terangkat sambil menggumam dan menyebut-nyebut nama pacarnya. Sekilas dia mengintip, ternyata Ustadzah mengikutinya ke kamar dan berdiri tepat di depan pintunya. Ustadzah menyalakan lampu kamar. Hakim sudah dalam posisi tenang dan terbaring di kasur. Rasa penasaran membuatnya ingin melihat dengan jelas tubuh bugil Ustadzah yang hanya dibalut tank top dan hot pants.
“Oalah anak lajang ternyata tidur berjalan. Sempat-sempatnya cium-cium istri orang,” ucap Ustadzah sambil tersenyum dan memegang dadanya.
Kemudian Ustadzah berlalu, mematikan lampu kamar. Hakim yang dalam keadaan tegang dan deg-degan menghela nafas sejenak. Kembali dia ingat betapa indahnya tubuh itu, yang biasa dilihat dengan hijab lebar serta gamis panjang, kini dapat dilihat dalam keadaan setengah bugil yang hanya memakai tank top dan hot pants yang panjangnya 20 cm di atas lutut. Seandainya dapat mengabadikan momen itu.
Tidak ada Ustadzah marah atau teriak waktu Hakim melakukan hal yang tidak senonoh padanya. Bahkan dia menikmatinya. Ini aneh… Ini benar-benar aneh… Hakim harus segera bisa menikmati Ustadzah Rini, pikirnya.
Waktu berlalu, tak ada hal yang terjadi. Hakim pun tertidur dengan sejuta mimpi yang belum terwujud. Mendapatkan tubuh Ustadzah adalah mimpi-mimpi dia sang pemuja keindahan dibalik solehahnya Ustadzah Rini. Tapi semua butuh proses. Yang jelas, dia sudah menemukan kartu As untuk mewujudkan mimpinya.
Esoknya, Hakim mendengar mobil Om Hardi tepat pukul 5 subuh. Dia terbangun dan segera mencuci muka. Kemudian memakai kaus dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Dia melihat Om Hardi sudah dengan pakaian rapi sedang memanaskan mobil dan Ustadzah berdiri di depan pintu. Tapi tunggu, Ustadzah hanya memakai mukena dan samar-samar terlihat bra hitam di balik mukena itu. Hakim mendekati Ustadzah dan benar saja hanya bra yang ia gunakan di balik mukena itu.
“Eh, Hakim… Udah bangun. Iim abang titip Kak Rini sama anak-anak ya. Abang ada panggilan privat satu minggu di Padang, lumayan penghasilannya,” kata Om Hardi.
“Ooh gitu ya Bang… Siap, Bang, nggak masalah,” jawab Hakim.
“Makasih Iim… Maaf repotin kamu,” sahut Om Hardi.
“Gak apa-apa Bang… Anak-anak juga Hakim anggap adik sendiri, lucu-lucu lagi mereka,” balas Hakim.
“Makasih Iim, sekali lagi… Baik banget kamu,” ucap Om Hardi.
“Iya Iim… Baik banget kamu lo padahal udah sering kami repotin,” tambah Ustadzah.
“Iya Bu Ustadzah, di sini kan Hakim merantau. Ya Hakim anggap Om Hardi sama Ustadzah seperti orang tua Hakim,” jawab Hakim.
“Yaudah, Mi, Abi berangkat ya,” pamit Om Hardi.
“Iya, Bi… Hati-hati di jalan,” sahut Ustadzah.
Om Hardi berlalu meninggalkan mereka. Sementara itu, Ustadzah Rini kembali ke kamarnya. Hakim pun kembali ke kamarnya dan bergegas mandi. Pukul 08:00 ia bersiap kembali ke toko. Membuka toko dan bekerja. Sekitar pukul 10:00 Ustadzah Rini datang dan membuka tokonya.
“Loh Ustadzah, buka juga tokonya?” tanya Hakim.
“Enggak Iim. Ini pengen ambil barang-barang yang tinggal aja,” jawabnya.
“Ooh gitu,” balas Hakim.
Tak lama, Ustadzah masuk ke tokoku dan menyerahkan kunci.
“Iim, titip kunci ya. Dan juga kalau ada pelanggan nanya bilang aja tutup satu minggu ada acara. Ini nomor ibu… WA juga, kalau ada apa-apa telepon ibu aja. Nanti makan siang datang ke rumah aja, ibu masak untuk kamu. Jadi nggak usah beli-beli makan di luar ya, Iim,” pesannya.
“Iya Ustadzah… Jadi ngerepotin nih,” sahut Hakim.
“Yaudah, ibu pulang dulu ya, Iim,” pamitnya.
“Iya Ustadzah, hati-hati,” jawab Hakim.
Kini Ustadzah sudah pergi. Timbul niat Hakim untuk melihat-lihat dalam kamar toko Ustadzah. Dia membuka toko dan menutupnya, lalu berjalan menuju kamar. Memeriksa lemari baju, masih ada tumpukan baju tersusun rapi serta BH dan CD Ustadzah. Hakim mengambil BH dan CD Ustadzah sepasang, namun dia tak menemukan vibrator yang tempo hari dia lihat. Apa jangan-jangan tadi Ustadzah mengambil vibratornya,
Kini Ustadzah sudah pergi. Timbul niat dalam benaknya untuk melihat-lihat dalam kamar toko Ustadzah. Dia membuka toko dan menutupnya kembali, lalu berjalan menuju kamar. Dia memeriksa lemari baju, masih ada tumpukan baju tersusun rapi serta BH dan CD Ustadzah. Dia mengambil BH dan CD Ustadzah sepasang, namun tak menemukan vibrator yang tempo hari dia lihat. Apa jangan-jangan tadi Ustadzah mengambil vibratornya, ya? Setelah mengambil BH dan CD, dia keluar dan mengunci kembali toko.
Siangnya, tepat pukul 12, rasa lapar melanda. Segera dia memacu motornya menuju rumah Ustadzah Rini. Sesampainya di sana, dia tak melihat tanda-tanda ada Ustadzah di dalam. Dia memanggil-manggil Ustadzah, tapi tak juga keluar. Dia membuka pintu, ternyata tak terkunci. Dia melihat di sana hanya ada Arga sedang bermain. Dia bertanya pada Arga di mana ibunya, dia bilang tidur di kamar. Segera dia menuju kamarnya. Melewati kamar Ustadzah, dia melihat pintu agak terbuka sedikit dan terdengar jelas suara-suara getaran serta desahan.
Karena penasaran, dia mengintip kamar Ustadzah, dan wow! Sang Ustadzah dibalut jilbab lebar sedang bertelanjang ria dengan vibrator menusuk vaginanya.
“Nghhhh… Sstt… Ahhhh… Terusss… Ahhhh…”
Desahan-desahan sang Ustadzah membuat kontolnya tegang di balik levis yang dipakainya. Melihat seorang Ustadzah dengan jilbab lebarnya tanpa pakaian sedang meremas buah dadanya dan menusuk-nusuk vaginanya dengan vibrator, terlihat daerah itu basah akibat cairan serta membuatnya takjub terpana bulu halus yang tercukur rapi. Tak tahan, dia membuka celananya sedikit dan mengeluarkan kontolnya, kemudian mengocoknya.
“Ahhh… gg hhh… Ssttt… Nikmat, Bi… Kontolmu sangat lemah… Aku sangat nikmat… dengan… ini… Ahhhh… Tuhan… Ahh… A arghhh… aku… Ahhhh keluaarrrr… Arghh…”
Bersamaan dengan orgasme Ustadzah Rini, dia mempercepat kocokannya.
“Arghhh… Ustadzah hhhh…”
Croott… Crooottt… croott…
Dia menahan spermanya di tangan dan kemudian bergegas menuju kamar mencari tisu. Adegan demi adegan dinikmatinya. Kini terbayang-bayang di benaknya tentang sisi binal dari seorang Ustadzah yang menurutnya sangat kurang terpuaskan oleh suaminya.