Gairah Sang Ustadzah - Bab 03
Hakim membuka HP-nya, melihat-lihat isi galeri di dalam kamar. Ia menyandarkan bantal ke punggung, bersandar pada tembok. Matanya tak henti menatap layar HP hasil jepretannya tadi. Terengah-engah seraya menahan nafas, Hakim tak percaya bahwa sosok ustadzah cantik, alim, dan sholehah yang selama ini ia kagumi kini tubuhnya sedikit terbuka dalam layar HP-nya. Payudara yang menyembul keluar serta puting kuning kecoklatan dengan kacangnya yang besar, tanda sedang dalam masa menyusui, ada dalam layar HP-nya.
Sejenak Hakim termenung. Gejolak terasa memenuhi seluruh getar tubuhnya. Bisa saja ia mengancam Ustadzah Rini dengan foto-foto itu, namun ia tahu itu tindakan bodoh. Ustadzah bisa saja melaporkannya ke polisi. Ia urungkan niatnya dan memutuskan untuk menyimpan foto tersebut, bersabar dan memikirkan strategi berikutnya.
“Why me? It’s wrong. Arghh…,” desah batinnya. Ya, gejolak yang terasa begitu setelah semua terjadi. Ustadzah yang lama dia kagumi kini terlihat berbeda di matanya. Baginya, sisi lain dari sang ustadzah hanyalah manusia yang dibalut jilbab lebar serta gamis panjang yang menutupi aib dan sisi binal kemanisannya. Namun, dia tetaplah seorang ibu yang baik bagi anak-anaknya dan istri yang setia, sangat setia.
Hari demi hari Hakim lewati tanpa ada tanda-tanda bahwa ustadzah curiga dengan apa yang dia lakukan tempo hari. Sengaja dia kurangi kontak fisik dengan Ustadzah Rini. Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Ia semakin intens dengan Ustadzah, tetapi nalurinya belum berani, walau hanya sekedar meminta nomor WA ustadzah.
Hingga akhirnya keberuntungan datang padanya. Keluarga Ustadzah berencana pergi berlibur. Dua mobil tiba, satu dikendarai oleh Om Hardi, satu lagi oleh Ustadzah Rini. Mobil Om Hardi penuh dengan orang tua dan adik-adiknya, sedangkan Ustadzah Rini hanya bersama Salwa, anaknya, yang digendong di depannya dan Arga, anaknya yang masih SD.
“Wuih, Bang, acara apa ini rame-rame?” tanya Hakim.
“Oh iya, Iim. Kamu bisa ikut kami mau liburan ke Sungai Hijau. Sekalian anak-anak minta om Iim ikut katanya. Bisa, Iim?” jawab Om Hardi.
“Oh boleh, Bang. Kebetulan kerjaan juga lagi kosong. Tapi mobil abang penuh,” jawab Hakim.
“Itu sama kak Rini aja, Iim, sekalian pegangin Salwa. Gak apa-apa, kan?” kata Om Hardi.
“Oke, Bang. Siap,” jawab Hakim.
Hakim mengganti baju dan menuju mobil yang ditempati Ustadzah Rini. Dia mengambil Salwa dari pangkuan Ustadzah. Entah sengaja atau tidak, rencana Hakim untuk menyentuh sedikit gundukan tetek ustadzah berhasil ketika ia sedikit menggenggam tetek ustadzah sebelah kanan. Ustadzah sedikit kaget, namun tak marah ataupun kesal.
Perjalanan panjang mereka lalui hingga Arga tertidur di jok belakang dan Salwa tertidur di pangkuan Hakim. Sedangkan Hakim dan ustadzah tetap berbicara tentang berbagai hal.
“Iim, kamu udah punya pacar?” tanya Ustadzah.
“Ah, nggak ada, Bu Ustadzah. Belum punya pacar Hakim, Bu,” jawab Hakim.
“Halah, masa anak kampus nggak punya pacar. Kamu kan ganteng, Iim, punya usaha sendiri, biaya kuliah sendiri, mandiri banget. Tipe ibu banget lah kamu mah. Cuma sholatnya aja yang bolong-bolong. Hihihihi,” canda Ustadzah.
“Ah, Ustadzah bisa aja. Mana ada cewek yang mau sama orang super sibuk kaya aku, Bu Ustadzah. Cewek jaman sekarang kan maunya ditelepon terus, selalu ngabarin. Harus ini, harus itu. Ribet deh,” jawab Hakim.
“Oloh-oloh kamu nih merendah aja. Emang tipe cewek idaman kamu kayak apa sih? Masa anak muda seganteng kamu nggak punya pacar?” tanya Ustadzah lagi.
Hakim sedikit malu, “Lebih suka yang keibuan, karena kalau cewek jaman sekarang nggak ada yang keibuan. Rata-rata HP, HP, HP aja diurusin. Ya aku akuin kan aku kagum sama Bu Ustadzah. Selain ibu yang baik, juga istri yang solehah. Eaaa Aaaaa.”
Ustadzah hanya senyum-senyum mendengar pujian Hakim. Tak terasa, mereka sampai di tempat tujuan. Anak-anak mengganti pakaian dan segera bermain di sungai. Ustadzah Rini membuka gamis dan jilbabnya, menggantikannya dengan pakaian ketat yang menutupi seluruh tubuhnya dan jilbab kurung sebahu. Pandangan Hakim terpana melihat keindahan tubuh Ustadzah yang tidak tertutup jilbab lebar sehari-harinya.
“Iim, kamu nggak ikut mandi di sana?” tanya Ustadzah.
“Nanti deh, Bu Ustadzah. Hakim pegang Salwa dulu. Segan juga kumpul di sana. Nggak apa-apa kok, Hakim di sini,” jawab Hakim.
“Oke, makasih ya, Iim. Baik banget kamu,” kata Ustadzah sambil berjalan ke tepi sungai.
Hakim terus mengamati setiap gerak-gerik Ustadzah. “Oh Tuhan, nikmat mana lagi yang ku dustakan,” batinnya berkata. Ia melihat Ustadzah melompat ke sungai, tubuhnya diselimuti air jernih sungai. Cetakan BH dan CD semakin jelas terlihat. Hakim berusaha mengalihkan pikirannya dengan berjalan keliling sambil menggendong Salwa.
Setelah lama, Hakim memutuskan untuk berenang. Dia memberikan Salwa pada pembantu Ustadzah dan segera masuk ke sungai. Mereka bercengkrama satu sama lain. Saat bermain, Hakim menabrak Ustadzah, membuat mereka kehilangan keseimbangan dan tercebur ke dalam sungai.
“Maaf, Bu Ustadzah… Gak lihat, Hakim… Bu Ustadzah gak apa-apa kan?” tanya Hakim.
“Iya, gak apa-apa, Iim,” jawab Ustadzah sambil ngos-ngosan menarik napas. Hakim tak tahu apakah Ustadzah sadar bahwa badannya sangat erat dipeluk di dalam air.
Waktu semakin sore, mereka bergegas merapikan dan pulang. Ustadzah masuk ke ruang ganti yang hanya bertutupkan papan-papan kotak. Ketika kembali, dia masih menggunakan baju renang yang dipakai di sungai. Hakim melihat bahwa cetakan BH atau CD tidak terlihat, namun pentil Ustadzah tercetak jelas. Hakim yakin Ustadzah menanggalkan BH dan CD di ruang ganti.
Dalam perjalanan pulang, Hakim disuruh mengendarai mobil karena Ustadzah terlihat lelah dan tertidur di jok depan sambil mendekap Salwa. Raut wajah kelelahan nampak jelas. Timbul niat jahat Hakim untuk merasakan apa yang ada di balik gamis Ustadzah. Dengan gugup, ia menyentuh sedikit dengan jarinya gundukan buah dada Ustadzah. Hakim terkejut saat menyadari bahwa Ustadzah tidak memakai BH di balik gamisnya, ia hanya merasakan empuknya payudara Ustadzah. Hakim menghentikan mobil sejenak, memainkan tetek Ustadzah sambil sesekali meremas, menikmati momen yang penuh godaan itu.
Saat semua sudah siap, mereka bergegas pulang. Ustadzah terlihat lelah, dan ia meminta Hakim untuk mengendarai mobil sementara dia duduk di jok depan sambil mendekap Salwa. Dalam perjalanan, Ustadzah dan kedua anaknya tertidur. Raut wajah kelelahan nampak jelas di mukanya. Timbul niat jahat Hakim untuk merasakan apa yang ada di balik gamis Ustadzah. Dengan gugup, ia menyentuh sedikit dengan jarinya gundukan buah dada Ustadzah.
Dengan memberanikan diri, Hakim menyentuh tetek Ustadzah yang masih dibalut gamis. Terkejut, ia tidak merasakan BH di dalamnya. Jemarinya langsung menyentuh empuknya payudara Ustadzah. Kuseser sedikit kepala Salwa yang menghalangi, Hakim membuka sedikit resleting baju gamisnya dan benar, Ustadzah tidak memakai apapun di balik gamisnya. Kulihat putingnya mencuat, mungkin karena cuaca dingin. Hakim menghentikan mobil sejenak, memainkan tetek Ustadzah sambil sesekali meremas.
“OOHHH.. BU USTADZAH…” bisiknya dalam hati.
Sambil terus memainkan payudara Ustadzah, Hakim menikmati momen itu. Namun tiba-tiba, Ustadzah sedikit bergerak. Hakim panik, segera menghentikan permainannya dan menutupinya dengan jilbab Ustadzah. Ia melanjutkan perjalanan dengan jantung yang masih berdebar kencang.
Tak lama kemudian, mereka sampai di rumah Ustadzah. Dengan wajah yang masih terlihat lelah, Ustadzah dan suaminya meminta Hakim untuk menginap hari ini. Hakim setuju, sambil terus memikirkan kejadian yang baru saja dialaminya dan apa yang mungkin terjadi selanjutnya.