Gairah Sang Ustadzah - Bab 02
Sedang asyik menghembuskan asap rokok di tangannya, Hakim melihat Ustadzah Rini keluar dari rumahnya. Ia menggendong anaknya sambil membawa sapu dan pengki untuk menyapu teras tokonya. Pandangan Hakim tak henti-hentinya menatap Ustadzah pujaannya yang menunduk membelakanginya. Terlihat jelas ceplakan CD-nya di balik gamis dan hijab yang ia kenakan. Pikirannya melayang tajam, mencari cara agar bisa menikmati apa yang ada di balik jilbab lebar dan gamis panjang itu. Namun, segera ia alihkan pikirannya dan menawarkan bantuan.
“Bu Ustadzah, sini Salwa Hakim gendong, Ustadzah kan lagi bersih-bersih,” kata Hakim.
“Eh, nggak enak, Hakim, merepotkan kamu,” jawab Ustadzah Rini.
“Ah, nggak kok. Sekalian main-main sama bidadari cantik yang satu ini…” Hakim memaksa sambil menyodorkan tangannya untuk mengambil Salwa. Sengaja kedua jarinya agak ke depan agar dapat menyentuh tetek Ustadzah. Rencananya berhasil, jarinya terasa menyentuh gundukan tetek yang empuk walau masih terhalang hijab dan BH Ustadzah Rini. Ustadzah pun merasakannya, dia agak mundur sedikit badannya, namun tak ada raut wajah marah ataupun kesal padanya.
“Maaf ya, Hakim… merepotkan kamu jadinya. Adek main sama Om Hakim dulu ya. Ibu mau beres-beres toko dulu, jangan nakal ya sayang,” kata Ustadzah Rini.
Kugendong anaknya sambil terus mengamati sang Ustadzah cantik itu menari-nari dengan sapu dan pengki di tangannya. Tak jarang dia menungging membelakangiku. Semakin terpedaya akal bulusku, semakin tenggelam dalam bisikan setan untuk segera melampiaskan apa yang mimpiku semalam. Sambil terus menggendong anaknya, aku masuk ke dalam toko Ustadzah karena anaknya ingin minum.
“Bu Ustadzah, Salwa pengen minum kayaknya,” kata Hakim.
“Iya, Hakim, tolong ambil aja di dalam, ada botol susu asinya, sudah ibu siapin dalam kulkas ya, Hakim, botol kecil,” jawab Ustadzah Rini.
“Iya, Bu Ustadzah, permisi.”
Hakim masuk ke dalam toko Ustadzah hingga ke dalam kamarnya untuk mengambil susu ASI Salwa. Sampai di dalam kamar, ia terpana melihat tumpukan baju yang tersusun rapi dan juga BH serta CD berenda milik Ustadzah di dalam lemari tanpa pintu. Sepertinya itu dibuat hanya untuk meletakkan baju saja. Iseng, ia memutuskan untuk melihat lebih dekat. Ia meletakkan Salwa di kasur kecil lalu mengambil botol ASI dalam kulkas. Segera ia berjalan ke arah pojok kamar dan mendapatkan BH dan CD milik Ustadzah. Sejenak ia melihat ukuran BH-nya yang ternyata 36B. Diciumnya aroma pakaian dalam itu, mmmhhhffftttttt… Ahhhh… ia semakin terbang membayangkan mimpi yang indah.
Di sana juga ada baju-baju Om Hardi dan gamis jilbab Ustadzah serta BH dan CD Ustadzah dengan berbagai warna: PINK, CREAM, HITAM, KUNING, PUTIH. Dan yang membuatnya terkejut, ternyata ada BH dan CD yang transparan. Oh my god, pikirnya. “Inikah Ustadzah? Apa yang kamu sembunyikan di balik jilbab lebar dan gamis panjangmu, Ustadzah?” Pertanyaan-pertanyaan itu mengacaukan pikirannya. Kulihat terus banyak lingerie seksi, tanktop. Tersadar ia tak bisa berlama-lama menikmati dalaman sang Ustadzah. Segera ia kembali menghampiri Salwa dan bercengkrama seakan-akan tak terjadi apa-apa.
Tak lama kemudian Ustadzah Rini datang menuju kamar tempat Hakim dan Salwa bermain.
“Ehh, anak ibu main sama Om, anteng sekali,” kata Ustadzah Rini.
“Iya nih, Ustadzah. Pintar sekali lah Salwa ini. Tahu ibunya lagi sibuk, tenang-tenang dia sama Om,” jawab Hakim.
“Pintar anak ibu. Makasih ya, Hakim, sudah jagain Salwa. Merepotkan jadinya,” kata Ustadzah Rini.
“Ah, nggak apa-apa kok, Bu Ustadzah. Hakim juga anggap Salwa ini adik Hakim sendiri.” Hakim mengambil Salwa dan mengembalikannya pada ibunya. Sengaja tangannya agak dijulurkan, dan lagi-lagi ia bisa merasakan empuknya tetek sang Ustadzah. Namun kali ini Ustadzah cuek dan tak menghindari tangannya. Hakim kembali ke toko dengan senyum penuh tanda tanya tentang Ustadzah Rini. Serba-serbi tentangnya membuat cabuk pikirnya semakin melayang tinggi. Hayalannya tak henti membayangkan apa yang ada di balik jilbab lebar dan gamis itu. Ditambah pakaian dalam yang baginya sangat mengundang selera dan biasa dipakai oleh wanita-wanita dengan kehidupan bebas, bukan alat-alat yang dimiliki seorang yang dianggap Ustadzah.
“What… man! Are you kidding me? Seorang Ustadzah mempunyai koleksi BH sama kancut yang seksi. Ditambah satu benda yang kurasa mirip vibrator. Really? Apa yang si cantik Ustadzah Rini sembunyikan? Shit… aku jadi makin beringas mikirin dia. Pokoknya aku harus dapetin dia. Ustadzah harus tunduk dan takluk sama aku.”
Hakim berbicara sendiri, seakan tak percaya apa yang barusan ia lihat di dalam kamar milik Ustadzah Rini. Sambil berlalu menuju kamar mandi segera. Di kamar mandi dengan selang yang sudah dimodifikasi layaknya shower di kamar mandi hotel, ia menyalakan keran air, keluarlah air mengguyur seluruh tubuhnya. Kedua tangannya memegang tembok yang ada di depan dan kepalanya ia tundukkan, seakan ingin menghilangkan pikiran-pikiran yang sangat mengganggunya tentang Ustadzah Rini. Tak dapat sedikit pun lenyap bayangan Ustadzah Rini dalam pikirannya. Hakim memutuskan untuk beronani, dan jelas Ustadzah-lah yang menjadi objek fantasinya. BH, CD, lingerie, tank top, serta vibrator, dan mimpinya semalam membuatnya lenyap dalam hayalan tentang Ustadzah dengan sejuta tanda tanya dalam benaknya.
“Oh, Ustadzah Rini… kau milikku… aaaahrrghhhh…!”
Hakim menikmati setiap detik spermanya mengalir, setiap kedutan yang ada pada kontolnya diimbangi dengan sesaknya nafas menahan nikmatnya onani kali ini. Selesai mandi, ia segera membuka toko jahitnya dan menjalankan aktivitas seperti biasa.
Siangnya, rasa bosan menghantuinya. Hakim menyeduh teh es manis dan membakar sebatang rokok, lalu duduk di depan teras toko. Ia melihat Ustadzah tidak ada di luar. “Kemana Ustadzah ya?” batinnya. Ia menghabiskan rokoknya segera dan lalu menghampiri toko Ustadzah. Dari luar jendela tokonya, tak ada tanda keberadaan Ustadzah di dalam toko, dan suara rewel Salwa pun tak terdengar. Apa mungkin Ustadzah keluar, tapi mobilnya ada di depan toko. Karena penasaran, Hakim melangkah ke depan pintu tokonya, membuka pintu yang ternyata tidak dikunci, berarti Ustadzah ada di dalam. Tapi kenapa tidak ada suara Salwa?
Hakim memanggil-manggil Ustadzah, namun tak ada jawaban dari dalam. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk dan menuju kamar. Pelan-pelan ia melangkah, dan sesampainya di kamar, ia mengetuk pintu, namun tak ada jawaban. Ia membuka pintu kamar dan benar, Ustadzah dan Salwa sedang tertidur. Berbaring tenang, Ustadzah tidur dengan posisi miring, gamisnya tersingkap sampai sepaha. “Ohhhh myyyy god… that’s my dream…” pikir Hakim. Kulitnya benar-benar mulus tanpa gores sedikit pun. Tak henti matanya memandang ke arah sana. Ia terkejut melihat sebelah tetek Ustadzah menyembul keluar. Ia menyimpulkan bahwa Ustadzah tertidur ketika sedang menyusui anaknya.
“Oh god… ingin rasanya ku remas payudara Ustadzah itu,” pikir Hakim. Namun, itu sangat berisiko. Ia mengambil HP-nya, lalu memotret sebanyak-banyaknya. Nekad, ia menyibakkan gamis Ustadzah lebih ke atas hingga nampak pantat putih, mulus, emok, dan bersisi dengan CD warna hitam yang ia gunakan.
Akal pikir Hakim mengalahkan segalanya, nafsunya sudah di ujung. Tiba-tiba, Ustadzah bergerak, membuat Hakim terkejut. Ia kira Ustadzah terbangun, namun ternyata Ustadzah hanya berubah posisi menjadi telentang dengan kedua kaki terbuka lebar, menambah panas suasana saat itu. Dengan hati-hati, Hakim menyibakkan CD Ustadzah agak ke pinggir, terlihat memeknya yang mulus dan tidak hitam, dengan bulu yang tercukur rapi.
Hakim tak berani menyentuhnya, menyadari betapa berisikonya tindakan itu. Ia hanya mengambil gambar dari kamera HP-nya, mengabadikan momen-momen penuh godaan itu. Suasana semakin hening, dan ia berkeringat dingin dengan jantung yang terus berdetak kencang. Ini adalah hal terbodoh yang pernah ia lakukan—diam-diam masuk ke dalam toko orang lain saat pemiliknya tidur dengan keadaan buah dada yang terbuka dan gamis yang tersingkap.
Menyadari risiko besar dari tindakannya, Hakim memutuskan untuk menyudahi aksinya. Ia kembali berjalan perlahan menuju tokonya, dengan perasaan campur aduk. Pikiran tentang Ustadzah Rini terus menghantui benaknya, membingungkan antara rasa bersalah dan keinginan yang tak tertahankan.