Gairah Sang Ustadzah - Bab 01
Hakim adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas di kota PLAT G. Saat ini, ia berusia 24 tahun.dan ia memiliki toko di Kudus. Tokonya terletak di antara dua toko lainnya; di sebelah kanan ada penjahit, dan di sebelah kiri adalah tempat Ustadzah Rini dan suaminya bekerja. Kesehariannya bisa dibilang biasa saja. Bahkan, orang-orang di sekitar tokonya menganggapnya sebagai pemuda bujang yang memiliki masa depan cerah berkat kuliah dan jualan ponsel dan pulsa. Mereka berpikir bahwa Hakim adalah orang baik yang tidak mungkin melakukan hal buruk. Ia memang berusaha untuk selalu tampil baik dan sopan kepada orang-orang di sekitarnya.
Setahun yang lalu, Hakim memulai usahanya di sebuah toko kecil. Di sebelah kanan tokonya, ada penjahit yang dijaga oleh dua wanita ramah bernama Intan dan Sari. Di sebelah kiri, ada usaha stir mobil bernama Bintang Terang Stir Mobil, yang dimiliki oleh Om Hardi dan Ustadzah Rini.
Ustadzah Rini adalah sosok wanita solehah yang sering mengajar mengaji di mushola terdekat. Hakim selalu menganggapnya sebagai istri yang baik dan ibu yang penuh cinta bagi ketiga anaknya, termasuk anak bungsunya, Salwa Tari, yang masih batita. Hari demi hari, Hakim semakin akrab dengan Ustadzah Rini dan keluarganya. Dia bahkan sering mengajak Salwa berjalan-jalan dengan motornya dan menggendongnya sampai tertidur.
Tanpa disadari, Hakim mulai mengagumi Ustadzah Rini. Perasaannya semakin hari semakin dalam, dan dia sering berkhayal tentang wanita yang dianggapnya sangat cantik dan menarik ini. Pikiran-pikiran tentang tubuh molek yang tersembunyi di balik gamis panjang dan hijab syari nan lebar Ustadzah Rini sering mengganggu tidur malamnya.
Suatu malam, Hakim tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, Ustadzah Rini datang menghampirinya, lengkap dengan gamis dan jilbab lebarnya. Suara lembutnya membangunkan Hakim, memintanya untuk membuka gamis karena kepanasan. Hakim terkejut namun tak bisa berkata-kata ketika Ustadzah Rini mulai membuka gamisnya, memperlihatkan BH dan CD hitam yang dikenakannya. Ketika BH-nya terlepas, Hakim takjub melihat gundukan tetek yang tetap kencang meski sudah menyusui tiga anak.
Namun, sebelum mimpinya berlanjut lebih jauh, suara klakson mobil membuyarkan segalanya. Terdengar bunyi klakson yang mengganggu dari luar tokonya. Hakim terbangun, menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Ketika ia melihat jam, sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Kontolnya tegang maksimal di balik boxernya, tanda bahwa mimpi barusan sangat nyata baginya.
Hakim segera mencuci muka di kamar mandi, mencoba menenangkan diri. Setelah itu, ia memakai kaos dan membuka toko sedikit untuk melihat mobil yang membuat mimpinya hilang begitu saja. Di luar, ia melihat Ustadzah Rini keluar dari mobilnya, sambil menggendong Salwa. Pemandangan itu membuatnya tersenyum kecil, meski bayangan mimpinya masih menghantui pikirannya.
Tiiiiinnn, tiiin… Tiiiinnnnnn…
Suara klakson mobil di luar toko membuyarkan mimpi indah Hakim. Jam menunjukkan pukul 7 pagi, dan ia masih tak percaya dengan apa yang baru saja dimimpikannya. Kontolnya tegang maksimal di balik boxernya, mengingatkan betapa nyata mimpi itu. Dengan cepat, ia ke kamar mandi untuk mencuci muka, berharap bisa menenangkan pikiran. Setelah itu, ia mengenakan kaos dan melangkah keluar untuk membuka toko sedikit, penasaran dengan mobil yang membuat mimpinya hilang begitu saja.
Di luar, Hakim melihat Ustadzah Rini keluar dari dalam mobilnya sambil menggendong Salwa. “Oh my… Ini orang yang masuk dalam mimpiku,” batinnya bergumam. Pandangannya tak henti menatap setiap gerak-gerik Ustadzah Rini, mengingatkan kembali pada mimpi yang masih segar di pikirannya.
“Tumben anak lajang sudah bangun jam segini, biasanya jam 10 baru buka toko,” ucap Ustadzah Rini, mengalihkan lamunannya.
“Iya nih Bu, lagi pengen aja,” jawab Hakim, mencoba menghilangkan rasa gugup.
“Om Hardi mana Bu, kok nggak kelihatan?” tanyanya lagi, berusaha melanjutkan percakapan.
“Ibu antar anak-anak sekolah, Om Hardi kalau pagi kan di cabang 1 lagi. Siang nanti kalau anggota sudah kumpul semua baru Om Hardi di sini, ibu ngajar ngaji deh. Gitu, Hakim,” jawab Ustadzah Rini dengan senyum manis.
“Oooo… Gitu ya Bu Ustadzah…” celoteh Hakim, berusaha terdengar biasa saja.
“Ya sudah, ibu masuk dulu ya, Hakim,” kata Ustadzah Rini sambil melangkah masuk ke rumahnya.
“Oke Bu,” jawab Hakim, masih tak bisa menghilangkan bayangan mimpi itu dari pikirannya.
Hakim kembali masuk ke dalam tokonya, menyeduh secangkir kopi untuk menenangkan pikiran. Duduk di teras toko, ia menyalakan sebatang rokok dan kembali melamun, pikirannya masih terus berputar tentang Ustadzah Rini. Obsesinya semakin menjadi untuk melihat isi di balik gamis panjang dan jilbab lebar yang selalu dikenakan oleh Ustadzah Rini. Bayangan mimpi itu terus menghantui, membuatnya sulit untuk fokus pada hal lain.