Cinta Satu Malam Pramugari Sexy - Bab 03
Aku langsung menarik penisku dari vaginanya dan langsung membawa mulutku ke arah saluran air kenikmatan itu. Aku menjilati cairan yang keluar dari lubang milik Enzi setelah dia mencapai klimaksnya yang ketiga.
“Hmm hmm fuhh hmm hmm fuhh” Enzi menghela nafasnya dengan kuat. Klimaks ketiga ini cukup memberinya sensasi yang kuat.
Enzi: Sayang, kamu belum keluar, kan?
Aku: Belum, sayang.
Enzi: Emm aku capek, nih. Lapar juga, sih. Belum makan, kan?
Aku langsung teringat akan makanan yang kami pesan. Mungkin nasi sudah dingin karena nafsuku yang nggak bisa dikontrol tadi.
Aku: Iya, nih. Aku lupa kalau kamu belum makan.
Enzi menatapku dengan ekspresi merajuknya.
Aku: Iya, nih. Mulut atas belum makan, tapi mulut bawah sudah kenyang, kan? *Sambil tanganku meraba vaginanya.
Enzi tersipu malu. Sambil menolak tanganku agar jauh dari lubang kenikmatannya.
Enzi: Udah, udah. Jangan pegang situ, nanti nggak jadi makan, lho.
Aku: Hehehe, iya, deh. Sayang, makan dulu, ya. Tambah tenaga. Hehehe.
Enzi langsung menuju ke kamar mandi untuk mencuci vaginanya yang basah beberapa kali itu. Setelah itu, dia keluar tanpa mengenakan handuk dan ke meja untuk makan.
Aku yang pertama kali melihat orang makan tanpa pakaian, tertawa dalam hati sambil berkata kepada Enzi,
“Pertama kali aku lihat orang makan tanpa pakai apa-apa, lho.”
Enzi menatapku dan langsung membuka bungkusan makanannya. Aku lihat Enzi sangat berselera. Mungkin karena terlalu capek dengan tiga kali orgasme darinya.
Aku kini sedang berbaring di atas ranjang sambil memperhatikan Enzi makan. Dalam hatiku,
“mungkin nggak tidur aku malam ini”. Mana bisa, pertama kali ketemu kami sudah sampai ke tahap ini. Dengan bentuk tubuh Enzi yang agak berisi dan dadanya yang besar, siapa yang bisa menahan birahi?
Sambil berbaring dan bermain ponsel, aku terfikir untuk mengambil gambar dan merekam permainan kami sebentar lagi. Tapi niat itu terpaksa aku lupakan karena bagiku ini adalah privasi aku dan juga Enzi. Dan prinsip aku, “apa yang terjadi malam ini, berakhir malam ini” telah membuat niat itu batal.
Lima belas menit kemudian,
Enzi sudah selesai makan dan mencuci tangan. Kini dia bergerak ke atas ranjang dan berbaring di sebelahku. Aku melihat Enzi sibuk dengan ponselnya. Dia melihat aku dengan wajah yang serius dan bertanya,
“Sayang, kamu kasih nomor aku ke orang lain, nggak?”
“Nggak. Nggak pernah kasih.” Ini jawabanku. Memang benar aku nggak pernah memberikan nomor teleponnya ke orang lain.
Enzi: Nih ada, nih, nggak dikenal tanya aku ada di mana? Nih lagi satu tanya aku di hotel mana?
Aku yang keheranan menjawab, “Aku nggak tahu. Lihat foto profil orang itu.”
Enzi menunjukkan foto lelaki tak dikenal itu, dan memang benar aku nggak mengenalnya. Sekarang aku baru terfikir, mungkin pengantar makanan tadi. Ini karena kami memesan makanan menggunakan ponsel Enzi. Tetapi ketika mengambil makanan, aku yang turun ke lobi hotel.
Aku: Oh, baru ingat. Mungkin rider tadi, kan? Kamu yang pesan, tapi aku yang ambil. Mungkin rider tadi yang chat kamu.
Enzi tidak memberikan respon. Aku agak sedih karena mungkin ini akan menyebabkan Enzi tidak percaya padaku. Tetapi dalam keadaan yang agak sedih itu, aku sempat memeluknya dan meremas-remas dadanya karena ini sajalah kesempatan yang ada.
Enzi yang melihat aku sedang meremas dadanya, berpaling dan berkata, “Sayang, kamu mau, ya?”
Aku mengangguk dan terus memanjat tubuh Enzi.
Aku bangun dan terus memanjat tubuh Enzi. Aku memandang wajah Enzi dengan senyuman, dan dia membalas dengan wajah yang bergairah. Aku terus memandang Enzi tanpa melakukan gerakan atau “serangan” terhadap tubuh Enzi. Enzi yang seakan-akan malu dengan tindakanku terus menatap wajahku, lalu menutup mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil berkata,
“Sayang, jangan lihat gitu terus donk. Cepat, deh, nggak tahan, nih, sayang.” Rengek Enzi.
Aku yang mendengar rengekan dari Enzi, tanpa memberi isyarat apa-apa langsung memasukkan penisku ke dalam lubang kenikmatannya dengan agak kasar. Ini menyebabkan Enzi sedikit terkejut dan membulatkan matanya akibat tindakan itu. “Auchhhhhh”. Itu saja yang dapat dikeluarkan dari mulut Enzi.
Aku terus mendorong dan menarik tubuhku dengan tempo yang sederhana.
“mmm mmm ahhh mmm mmm enak banget” rengekan dari Enzi memecah kesunyian malam. Dengan kecepatan seperti ini, aku dapat bertahan lebih lama. Walaupun Enzi sedikit berisi, tapi aku dapat rasakan vaginanya yang rapat.
“arghhh mmm mmm mmm” nafasku. Vaginanya yang rapat membuat aku sedikit hilang konsentrasi dan langsung saja mengakhiri permainan ini.
“Sayang, rapat banget, sayang. Bisa rasain rapatnya, sayang” kataku. Enzi hanya tersenyum dan terus saja menerima tusukan penisku. Hampir 15 menit aku memasukkan penisku dalam posisi “missionary”, kini aku berbaring dan Enzi pula yang akan mengambil alih tugas untuk menunggang.
Ini juga adalah kegemaranku “Cowgirl”, Enzi memasukkan penisku ke dalam vaginanya. Terasa penuh saat Enzi terus duduk. Kali ini, Enzi menggoyangkan pinggulnya. Perlahan-lahan seperti menunggang kuda.
“Emm enak, sayang. Jago banget, sayang, goyang. Emm enak banget” giliran aku pula merengek kesenangan. Goyangan Enzi yang tadinya perlahan, kini telah dinaikkan temponya.
“Krakk krakkk krakk” ranjang berbunyi dengan kuat. Aku juga nggak kuat untuk bertahan kalau tempo goyangan ini diteruskan oleh Enzi.
“Uhhhh mmm sayanggg” terlalu enak goyangan Enzi. Aku terpaksa menarik Enzi untuk memelukku dan terus menciumnya. Remasan pada dadanya aku lakukan untuk mengalihkan fokusku terhadap Enzi yang masih lagi melakukan aksi “cowgirl” terhadapku. Ini membuat aku dapat bertahan dari terus memuntahkan air kenikmatan dan mengakhiri permainan ini lebih awal.