Bos Cantik Itu Ternyata Shemale - Bab 01
Julian lebih gugup dari biasanya pagi ini saat memasuki ruang rapat. Ia benci rapat pagi mingguan, jabat tangan, dan basa-basi yang membosankan membuat perutnya mual. Ia hanya ingin menyendiri di kubikelnya. Namun, pagi ini jauh lebih buruk. Bos lama akan pensiun dan mereka akan bertemu dengan bos baru.
Desas-desus beredar bahwa wanita itu adalah seorang narcissistic sejati yang tak segan memecat siapa pun yang menurutnya tak pantas berada di timnya. Julian, yang sejak awal tak pernah merasa betah, kini benar-benar takut menjadi orang pertama yang dipecat. Baru pukul 08.30 pagi dan ia sudah berkeringat membasahi kemeja kerjanya. Ia membenci perubahan bahkan lebih dari membenci rekan-rekannya.
Satu per satu, rekan-rekannya mulai berdatangan, obrolan ringan mereka bergema di latar belakang. Namun, yang terdengar oleh Julian hanyalah detak jantungnya yang semakin cepat dan keras di dadanya. Semua sudah duduk, tetapi ruangan langsung hening saat pintu ruang rapat terbuka dan tertutup sekali lagi. Suara ketukan sepatu haknya yang berdetak di lantai mengumumkan kehadirannya. Julian hampir bisa mendengar desisan terkejut dari orang-orang bodoh di sekitarnya sebelum ia menyadari apa yang membuat mereka tercengang.
Wanita itu cantik. Setiap pasang mata tertuju padanya saat ia berjalan perlahan menuju ujung meja. Julian menyadari, seperti dirinya sendiri, setiap pria di ruangan itu menahan napas. Tinggi, ramping, dengan rambut panjang dan lekuk tubuh yang sempurna, gaun abu-abu ketat yang dikenakannya seolah semakin menonjolkan payudaranya yang penuh dan bokongnya yang bulat sempurna. Rambutnya terurai dan tergerai hingga pinggang, matanya yang tajam menatap mereka, dan bibirnya yang penuh dan merah muda mengerucut dalam senyum tipis. “Selamat pagi, saya Cempaka Maheswari, manajer baru kalian. Pagi ini saya akan membahas beberapa perubahan yang akan saya lakukan di departemen ini,” ucapnya seraya mengambil tumpukan kertas di meja sebelah kanannya. “Namun, pertama-tama, mohon isi kuesioner ini agar saya bisa mengenal kalian lebih baik.”
Julian ingin meringis keras jika saja ia tak masih menggigit bibirnya sambil menatap Cempaka. Wanita itu mengingatkannya pada seseorang, wajah yang pernah dilihatnya sebelumnya, bahkan dipelajarinya, ketika tangan kecilnya membalikkan rambut panjangnya ke belakang. Julian bersumpah pernah melihatnya melakukan itu sebelumnya. Atau mungkin itu hanya ereksinya yang sedang membuatnya berhalusinasi. Sungguh tidak nyaman rasanya begitu tegang, dan ia hanya bisa berharap ia dan yang lainnya segera meninggalkan ruangan sebelum ia terpaksa berdiri. Ereksinya tak kunjung surut, setiap inci tubuh Cempaka adalah pengingat yang menyiksa betapa lamanya ia tak bercinta dengan seorang wanita.
Ia mengklik ujung pulpen dan mengisi bagian atas kertas dengan nama dan nomor karyawannya, tetapi matanya berkunang-kunang saat ia mulai membayangkan Cempaka Maheswari telanjang. Pipinya yang kemerahan dan kulitnya yang pucat terbentang di seprai, rambut panjangnya yang indah terurai di bantal di bawah kepalanya, matanya berbinar nakal, dan bibirnya terbuka menggoda. Julian membayangkan dirinya merangkak ke arahnya di atas kasur, berlutut di hadapannya, menikmati kecantikannya sejenak sebelum mengelus lembut salah satu payudaranya, mengikuti garis kulitnya yang halus ke payudara lainnya, dan menyaksikan putingnya yang besar menegang karena sentuhannya.
“Kumpulkan kembali setelah selesai,” kata Cempaka, dan dalam pikirannya, ia seolah berbicara kepadanya dari posisinya di atas bantal, saat Julian menundukkan kepalanya untuk mencium setiap lekuk tubuhnya, lidahnya membelai kedua putingnya, mendengarkan desahan lembutnya saat ia melanjutkan.
Tangannya merayap ke bawah di antara kedua kakinya, menemukan kelembapannya yang membara, tempat paling sensitifnya, dan jarinya membelai lekukan lembut dari tulang panggulnya hingga di antara pahanya yang berisi. “Ahhh, Julian, jangan berhenti…,” Cempaka hampir berbisik, dan Julian mengangkat kepalanya dari kulitnya yang lembut untuk menatap wajah malaikat yang sedang menatapnya memohon lebih banyak.
“Namamu siapa?” Suara Cempaka jauh lebih keras dan terdengar di telinganya.
Kembali di ruang rapat, Julian menyadari bahwa semua orang sedang menunggunya. Cempaka berdiri di sampingnya, kedua lengannya terlipat di dada, dan bibirnya membentuk garis lurus. “Maaf?” Ia panik, tak bisa mengaku tak memperhatikan.
“Nama kamu siapa?” Cempaka mengintip dari bahunya dan membaca dari bagian atas kertasnya. “Oh, Julian Abiputra, Bu,” ucapnya seraya menegakkan tubuhnya, merasakan ereksinya memenuhi celana sempitnya. “Sudah selesai, Julian?”
“Sudah, Bu,” jawab Julian seraya menyerahkan kuesioner itu dan memperhatikan Cempaka mengambilnya. Saat ia kembali ke depan meja dan presentasi dimulai di layar di belakangnya, Julian memaksa dirinya untuk menatap lurus ke depan, tetapi tak bisa menghilangkan bayangan Cempaka telanjang dari pikirannya. Jika ia pernah merasakan gairah seperti ini sebelumnya, ia tak ingat.
Julian sama sekali tak tahu apa isi presentasi itu. Napasnya lega begitu percakapan di sekitarnya kembali ramai, suara kursi bergeser. Rekan-rekannya akan segera pergi, memberinya waktu untuk menjinakkan ‘senjatanya’ dan semoga, otaknya juga.
“Julian, kamu jangan kemana-mana, ada sesuatu yang harus saya bicarakan,” bos barunya yang cantik itu memilihnya dan Julian tahu itu hanya bisa berarti satu hal. Dia akan dipecat terlebih dahulu, persis seperti yang ditakutkannya.
Pintu ruang rapat tertutup di belakang rekan-rekannya yang terakhir dan Cempaka kembali duduk di meja, alisnya terangkat. Ia bahkan duduk di atas meja, hanya beberapa inci dari lengan Julian. Julian dengan mudah bisa meraih dan mengelus paha wanita itu, tapi ia hanya menatap dan melihat gaun abu-abunya sedikit terangkat. Saat Cempaka menyilangkan kakinya, belahan rok di sisi samping memperlihatkan sedikit renda di atas stocking bewarna kulitnya. Julian berjuang untuk menjaga pandangannya tetap pada wajah wanita itu.
“Jadi, Julian, saya sudah mendengar tentang kamu dan harus saya katakan, sejauh ini, semua yang Fauzan ceritakan tentang kamu benar,” Cempaka menyilangkan lengan di bawah payudaranya yang tertutup gaun ketat itu. Julian tahu Fauzan, bos lamanya, tak akan pernah berkata baik tentang dirinya. “Kamu tidak benar-benar cocok dengan tim di sini, bukan?”