Anak Kesayangan - Bab 04
Keesokan malamnya, Ryan mendekatiku dengan sebuah permintaan. “Bu, boleh kita lakukan itu lagi?”
Aku menatapnya sejenak, memikirkan konsekuensi dari tindakan kami. “Ryan, kita tidak bisa melakukannya terlalu sering. Ini tidak normal dan bisa berbahaya.”
Ryan tampak kecewa, namun dia mengerti. “Bagaimana kalau kita hanya… masturbasi bersama?”
Aku terdiam sejenak, mempertimbangkan saran tersebut. “Baiklah, tapi kita harus berhati-hati.”
Malam itu, kami duduk berhadapan di kasur, masing-masing mulai menstimulasi diri sendiri. Aku melihat Ryan dengan penuh kasih sayang, mengamati setiap gerakan tangannya di sepanjang batang penisnya. Dia menatapku kembali, matanya dipenuhi dengan hasrat dan keingintahuan.
Aku merasakan sentuhan lembut jariku pada klitorisku, memijatnya perlahan-lahan. “Ryan, perhatikan baik-baik,” bisikku, “ini adalah cara yang benar untuk menyenangkan seorang wanita.”
Matanya terpaku pada gerakan tanganku, mencoba belajar sebanyak mungkin. Aku merasakan kehangatan mulai menyebar di seluruh tubuhku, sementara desahanku semakin keras. “Jangan malu untuk menikmati setiap sensasi,” kataku, suaraku penuh dengan gairah.
Ryan mengikuti instruksiku, gerakannya semakin cepat dan lebih mantap. Kami berdua terhanyut dalam momen tersebut, merasakan kenikmatan yang memuncak.
Sebelum mencapai puncak, aku menghentikan gerakan tanganku dan menatapnya. “Ryan, ada satu hal lagi yang ingin Ibu ajarkan padamu.”
Dia menatapku dengan penuh keingintahuan. Aku merendahkan tubuhku, duduk di tepi kasur dan menyuruhnya berbaring. “Ini disebut cunnilingus,” bisikku, “dan ini adalah salah satu cara terbaik untuk menyenangkan seorang wanita.”
Aku mengajarinya dengan sabar, menjelaskan setiap gerakan dan sensasi yang harus diperhatikan. “Pertama, pastikan lidahmu lembut dan konstan. Jangan terlalu cepat atau terlalu lambat,” kataku sambil membimbing kepalanya ke arah vaginaku. “Gunakan lidahmu untuk menjilat klitorisku dengan gerakan melingkar.”
Ryan dengan hati-hati mengikuti instruksiku, menciptakan sensasi yang luar biasa di tubuhku. Aku mengerang keras, merasakan puncak kenikmatan menghampiri. “Oh, Ryan, teruskan, sayang,” bisikku, suaraku penuh dengan nafsu.
Dia melanjutkan dengan lebih semangat, membuat tubuhku bergetar hebat. Aku merasakan lidahnya menjelajah setiap inci klitorisku, memberikan tekanan yang tepat di tempat yang paling sensitif. “Variasikan ritme dan tekananmu,” kataku terengah-engah. “Kadang cepat, kadang lambat. Lakukan apa yang membuatku merasa paling nikmat.”
Akhirnya, aku mencapai puncak orgasme yang luar biasa. Tubuhku menggigil oleh gelombang kenikmatan yang menyelimuti. “Yesss, Ryan, itu dia,” aku mendesah dengan napas terengah-engah.
Setelah semuanya selesai, kami berdua berbaring di kasur, merasakan keintiman yang baru saja kami ciptakan. Aku memeluknya erat, merasakan cinta yang mendalam untuk anakku.
“Ibu, Ryan belum keluar,” katanya dengan suara penuh harap.
Aku menatapnya, melihat penisnya yang masih tegang dan berdenyut. “Baiklah, sayang. Ibu akan bantu,” kataku sambil tersenyum lembut.
Aku memintanya untuk berbaring di kasur, dan aku duduk di sampingnya. “Rileks saja, biarkan Ibu yang urus,” bisikku sambil menggenggam penisnya dengan tangan yang lembut. Aku mulai mengocok penisnya perlahan, merasakan setiap denyut yang menggeliat di bawah sentuhanku.
Ryan mengerang pelan, menikmati sensasi yang aku berikan. “Ibu, itu enak sekali,” desahnya.
Aku mempercepat gerakan tanganku, sambil menatap wajahnya yang dipenuhi dengan kenikmatan. Aku merendahkan tubuhku dan menjilat ujung penisnya, merasakan rasa asin yang khas. “Ibu akan buat Ryan merasa sangat nikmat,” kataku sebelum memasukkan penisnya ke dalam mulutku.
Aku mulai mengulum penisnya dengan gerakan yang mantap, lidahku menjelajah setiap sisi batangnya. Ryan menggeliat, desahnya semakin keras, tangannya mengusap lembut rambutku. “Ibu, Ryan mau keluar,” katanya dengan napas terengah-engah.
Aku mempercepat gerakan mulut dan tanganku, memastikan setiap inci dari penisnya merasakan kenikmatan. “Keluarkan saja, sayang. Jangan ditahan,” bisikku sambil mengulum lebih dalam.
Dengan sebuah erangan keras, Ryan mencapai klimaksnya. Air maninya memancar ke dalam mulutku, dan aku menelannya dengan rela. Aku terus mengulum penisnya hingga semburan terakhir, memastikan dia merasakan kenikmatan yang sempurna.
Setelah semuanya selesai, aku berbaring di sampingnya, memandang wajahnya yang penuh dengan kepuasan. “Terima kasih, Ibu. Itu luar biasa,” katanya sambil memelukku erat.
Aku tersenyum dan membelai rambutnya. “Ibu juga menikmatinya, sayang. Kita harus lebih berhati-hati ke depannya, tapi Ibu senang kita bisa berbagi momen ini.”
Kami berdua tertidur dengan hati yang penuh kebahagiaan, menikmati keintiman yang baru saja tercipta di antara kami. Hari-hari ke depan mungkin akan penuh tantangan, tapi kami siap menghadapinya bersama dengan kebijaksanaan dan cinta yang mendalam.