Anak Kesayangan - Bab 03
Aku pelan-pelan bangkit dari ranjang, berusaha tidak membangunkannya. Setelah mandi dan berpakaian, aku menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Suara panci dan wajan yang aku gunakan akhirnya membuat Ryan terbangun. Dia muncul di dapur dengan rambut acak-acakan dan senyum mengantuk di wajahnya.
“Selamat pagi, Bu,” sapanya sambil menguap.
“Selamat pagi, sayang,” balasku dengan senyum hangat. “Sarapan hampir siap. Duduklah dan tunggu sebentar.”
Ryan duduk di meja makan, masih tersenyum padaku. Kami menikmati sarapan bersama, berbicara tentang rencana hari itu. Setelah sarapan, aku mengingatkan Ryan tentang tugas-tugas rumah yang harus diselesaikan, tapi ada perasaan baru yang menggantung di udara.
Hari itu berjalan seperti biasa, tetapi ada kehangatan dan keintiman yang baru di antara kami. Setiap kali Ryan mendekat, ada sentuhan lembut atau ciuman kecil di pipiku yang membuat hatiku meleleh. Malamnya, setelah semua tugas selesai, kami duduk di ruang tamu menonton acara favorit kami. Ryan duduk di sebelahku, tangan kami saling menggenggam.
Saat malam semakin larut, aku merasakan kehangatan dan keinginan yang kembali muncul. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku, tapi tatapan Ryan yang penuh hasrat membuatku sulit untuk mengabaikan perasaan itu.
“Ryan, sudah larut. Kita harus tidur,” kataku dengan suara pelan.
Ryan mengangguk, tetapi aku bisa melihat kilatan di matanya yang menunjukkan bahwa dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Kami berjalan menuju kamar tidur dengan perasaan tegang tetapi penuh harapan.
Begitu kami sampai di kamar, Ryan memelukku erat-erat. Kami berdiri dalam keheningan, merasakan detak jantung satu sama lain. Perlahan, dia mulai mencium leherku, membuatku menghela napas panjang.
“Bu, aku ingin merasakanmu lagi,” bisiknya di telingaku.
Aku tidak bisa menahan diri. Dengan lembut, aku membimbingnya ke ranjang. Kami berbaring di sana, saling menatap dalam kegelapan, merasakan kehangatan tubuh kami yang saling bersentuhan. Aku merasakan tangan Ryan mulai menjelajah tubuhku, dan aku tidak bisa menahan erangan yang keluar dari bibirku.
“Mmmm, Ryan,” desahku. “Ibu juga ingin merasakanmu lagi.”
Kami saling melucuti pakaian satu sama lain, tubuh kami menyatu dalam keinginan yang tak tertahankan. Ryan mulai mencium dan menjilat payudaraku, membuat putingku mengeras. Aku mengelus rambutnya, mendorongnya untuk melanjutkan.
Aku merasakan jari-jarinya mulai menjelajah vaginaku, dan aku mengerang keras, “Oh Tuhan, Ryan. Teruskan, sayang.”
Dengan lembut, aku membimbingnya untuk berbaring di atas tubuhku. Aku merasakan penisnya yang tegang menyentuh bibir vaginaku, membuatku gemetar oleh keinginan. Perlahan, dia mulai memasukkan dirinya ke dalam diriku, dan aku merasakan gelombang kenikmatan yang tak terlukiskan.
“Oh yess, Ryan,” aku mengerang. “Masuk lebih dalam, sayang.”
Ryan menaati setiap petunjukku, bergerak dengan irama yang semakin cepat dan dalam. Tangan kami saling menggenggam, tubuh kami bersatu dalam irama yang penuh gairah. Aku merasakan kenikmatan yang tak terlukiskan, tubuhku bergetar oleh orgasme yang semakin mendekat.
“Ibu mau klimaks lagi, Ryan,” bisikku di telinganya. “Jangan berhenti, sayang.”
Erangan Ryan semakin keras, menunjukkan bahwa dia juga merasakan puncak kenikmatan yang semakin dekat. Dengan satu gerakan terakhir, kami mencapai klimaks bersama, merasakan semburan kehangatan yang menyatukan kami dalam kebahagiaan yang luar biasa.
Kami berbaring di sana, terengah-engah dan penuh kepuasan. Aku memeluk tubuh Ryan erat-erat, merasakan cinta dan keintiman yang semakin mendalam di antara kami.
“Terima kasih, Ryan,” bisikku lembut di telinganya. “Ibu sangat mencintaimu.”
Ryan tersenyum dan memelukku lebih erat, “Aku juga mencintaimu, Bu. Sangat mencintaimu.”