Anak Kesayangan - Bab 02
Keesokan paginya, Ryan kembali menjadi dirinya yang ceria dan bersemangat seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. “Berhasil juga aku akhirnya. Mungkin ini di luar batas kesopanan, tapi sangat efektif.”
Aku berangkat ke tempat kerja dengan hati yang sangat gembira. Aku pulang ke rumah sore itu seperti biasa. “Ryan, Ibu sudah pulang,” panggilku. Tidak ada jawaban dari anakku, jadi aku menuju ke kamarku untuk berganti pakaian. Ketika aku sampai di kamarku, aku mendapati anakku ada di dalamnya. Dia sedang berbaring telanjang di atas tempat tidurku dengan tangannya menggenggam batang penisnya. Dia terus mengocoknya perlahan sambil menatap ke arahku. Aku kehilangan kata-kata.
Ryan memecah kesunyian, “Ibu bilang nggak apa-apa kan kalau Ryan masturbasi?” Aku menatap penisnya yang tegang dan berkata, “Uhh, Ibu rasa Ibu pernah bilang begitu. Biasanya orang masturbasi sembunyi-sembunyi, tapi Ibu rasa nggak apa-apa.”
Anakku tersenyum dan berkata, “Boleh nggak Bu buat Ryan sampai keluar kayak malam tadi?” “Tidak,” jawabku. “Karena Ibu rasa Ryan sudah bisa melakukannya sendiri.” Aku berdiri di pintu dan melihat tangannya mengocok penisnya. Aku tersenyum ketika menyadari bahwa dia sedang menatap ke arahku. Pandangannya bergantian antara dadaku dan wajahku. Aku menatap kembali penisnya yang mulai mengeluarkan air mani. Ryan mengerang keras dan tubuhnya mengejang ketika air maninya memancar membasahi dada dan perutnya. Setelah selesai, dia melepaskan tangannya dari penisnya.
“Nanti Ibu ambilkan handuk.” Aku membasahi handuk itu dengan sedikit air. Aku naik ke tempat tidur dan duduk di sebelahnya. “Pengotor banget sih anak Ibu ini!” aku mengusik. “Setelah membuat kotor, suruh Ibu bersihkan pula.” Kami berdua tertawa. Aku mengelap air mani dari dada dan perutnya, kemudian ke batang penisnya.
“Thanks, Bu,” katanya. “Sekarang Ryan keluar, Ibu mau ganti baju,” kata Ibu. “Boleh Ryan lihat?” tanyaku. “Tidak, tidak boleh. Sekarang Ryan pergi pakai baju, habis itu Ryan tolong Ibu siapkan makan malam.”
Kegiatan tersebut menjadi rutinitas setiap minggu. Aku merasa semakin nyaman melakukannya setiap hari.Aku akan duduk di sebelahnya di atas kasur membelai rambutnya saat dia melakukan onani. Satu malam, aku merasa Ryan melakukan sesuatu yang mengejutkanku dengan sengaja, tetapi dia melakukannya seolah-olah tidak sengaja. Dia mengocok penisnya dengan ganas dan tiba-tiba mengatakan bahwa dia hampir keluar. Saat air maninya mulai memuncrat, dia mengarahkan penisnya ke arahku dan air maninya memuncrat ke atas rokku.
“Oh,” kataku sambil berdiri. “Ini rok dry clean, Ryan.” “Maaf,” katanya. “Ryan nggak sengaja, Bu.” “Yakin? Nggak bisa dikontrol,” balasku.
Keesokan malamnya Ryan sudah siap menantiku dengan penis yang tegang di tangannya. Aku langsung naik ke atas kasur dan duduk di sebelahnya. Penisnya sudah keras tapi dia belum mulai mengocoknya. Dia memandang ke arahku dan berkata, “Bu, baiknya Ibu buka pakaian Ibu supaya nggak kotor.”
Aku memandang ke arahnya dan berkata dengan nada serius, “Ryan pikir bisa kotor?” “Ibu nggak tahu apa yang akan terjadi.” Aku mendengar satu suara di dalam pikiranku berkata, “Jangan, jangan lakukan itu.” Tapi yang keluar dari mulutku adalah, “Mungkin itu ide yang bagus.”
Mata anakku membesar saat dia menyaksikan aku menanggalkan bajuku. Fokusnya tertuju pada bra hitamku. “Oke, Ibu sudah buka,” kataku. “Ibu nggak mau buka rok Ibu?” tanya Ryan. “Kalau Ryan merasa itu ide yang bagus,” balasku.
Suara dalam pikiranku semakin keras, tapi roknya sudah aku lepaskan dengan satu gerakan cepat. Aku berdiri di situ dengan bra dan panties yang berwarna hitam. Aku merasakan vaginaku mulai basah. “Ibu kelihatan cantik,” Ryan terpaku. “Tapi Ryan khawatir bra Ibu nanti kotor juga. Ryan rasa lebih baik Ibu buka saja.”
Suara pikiranku kini menjerit, “Jangan lakukan itu! Kau tahu itu salah, dia anakmu!” Tapi tubuhku tidak menghiraukannya, tanganku bergerak ke arah kancing bra dan membukanya. Aku melorotkan talinya dan bra jatuh ke lantai. Payudaraku kini terbuka untuk tontonan anakku. Putingku mengeras dan menjadi fokus anakku sekarang. “Wow,” ujarnya. “Cantiknya payudara Ibu.”
Aku merasakan putingku semakin mengeras akibat tatapan anakku. Aku tetap berdiri di situ sekitar 5 menit, membiarkannya menatap payudaraku yang berukuran ‘B’. Akhirnya aku menunjuk ke arah penisnya dan berkata, “Ryan harus fokus pada hal lain,” mengingatkannya agar melanjutkan aktivitas onaninya selain dari menatap payudaraku. “Tapi, Ryan takut panties Ibu juga akan kotor nanti.”
Suara pikiranku kembali menjerit saat kedua tanganku bergerak ke arah pantiesku. “Ryan, menurut kamu Ibu harus buka?” Sinar mata Ryan meyakinkan aku untuk melanjutkan langkah berikutnya. Aku membungkukkan sedikit tubuhku, matanya tertuju pada kedua payudaraku yang sedikit bergoyang akibat pergerakanku. Aku tersenyum memandang wajahnya.
Ryan tidak bisa menentukan arah mana yang harus dilihat, pada payudaraku yang bergoyang lembut atau vaginaku yang perlahan mulai terlihat. Matanya tertuju pada vaginaku saat pantiesku jatuh ke pergelangan kakiku. Aku bergerak ke tepi kasur dan berdiri dengan kedua kaki sedikit renggang. Bulu vaginaku yang agak lebat tidak menghalanginya untuk menyaksikan bibir vaginaku.
Ryan kehilangan kata-kata, tetapi wajahnya menggambarkan seribu kata yang tidak terucap. Aku pula tidak pernah merasakan keghairahan seperti ini sepanjang hidupku. Aku duduk di sebelahnya di atas kasur, memberikan anakku pandangan dekat pada puting payudaraku.
Dia mengulurkan tangan untuk menyentuh payudaraku, tetapi aku menghalangi tangannya dan meletakkannya di atas penisnya yang sangat tegang. “Buat sampai Ryan keluar,” arahku. Dia mulai mengocok batang penisnya sambil matanya menjelajah tubuhku. Aku semakin merasakan vaginaku semakin basah.
Tidak lama kemudian, Ryan semakin melajukan goyangannya. “Ryan mau keluar, Bu,” keluhnya. Aku melihat saat anakku menggenggam dan mengarahkan penisnya ke arahku. Air mani memancut dari ujung penisnya dan mendarat di atas payudara kananku. “Hei, jangan keluar di tete Ibu,” kataku.
Sebelum dia bisa mengalihkan arah penisnya, penisnya memuncrat lagi, tapi kali ini tidak mengenai payudaraku. Dia menghabiskan semburan maninya di atas dada dan perutnya. Dia kemudian memerhatikan payudara kananku, melihat air maninya meleleh turun. “Maaf,” kata Ryan, tidak berkelip menatap payudaraku yang basah disirami air maninya.
Aku melihat ke arah payudaraku, memerhatikan tumpahan mani anakku. Tanpa berpikir panjang aku mengambilnya dengan jari dan menjilat bersih air mani tadi dengan lidahku.
“Ibu rasa baik Ibu bersihkan tubuh Ryan,” kataku.
Alih-alih meninggalkan ruangan untuk mengambil handuk, aku berlutut di sebelahnya di atas kasur. Aku menundukkan kepalaku dan mulai menjilat tumpahan mani di dadanya. Tangannya mulai menyentuh payudaraku, dan kali ini aku tidak menghalanginya. Aku mengeluh pelan saat dia memijat lembut putingku yang keras.
Ryan terus membelai dan memijat payudaraku. Dia mengalihkan sebelah tangannya, dan aku bisa merasakan jari-jarinya mulai menyentuh vaginaku.
“Mmmm,” keluhku sambil menjauhkan kedua pahaku untuk memberinya lebih banyak ruang.
Aku merasakan sebatang jari masuk ke dalam vaginaku, membuatku mulai mengerang. Dia mulai menggerakkan jarinya keluar-masuk, membuatku mengerang lebih keras.
Bagian tubuh Ryan yang belum dibersihkan adalah penisnya. Aku menjilat ujungnya dan kemudian memasukkan batangnya ke dalam mulutku. Aku menggerakkan lidahku di sekeliling batangnya untuk memastikan itu benar-benar bersih. Anakku mulai mengerang keras, dan aku merasakan penisnya mulai menegang lagi. Aku mengulum penisnya yang semakin membesar di dalam mulutku.
Sulit untukku tetap fokus karena tangan Ryan masih terus masuk-keluar dari vaginaku. Aku mulai memegang tangannya, dan dia mempercepat pergerakan jarinya. Aku mengeluarkan penisnya dari mulutku dan merengek.
“Ibu mau klimaks, jangan berhenti. Tolong jangan berhenti!”
Anakku menggosok klitorisku dengan tangan yang satu lagi, dan aku menjerit kencang, “Oh Tuhan, Yessssss, Ibu keluar…” Orgasme menyelimuti tubuhku, membuat seluruh tubuhku menggigil.
Setelah napasku kembali normal, aku kembali memasukkan penis Ryan ke dalam mulutku. Ketika sudah tegang dan keras sepenuhnya, aku menggenggamnya dan mulai mengocok. Aku memasukkan ujung penisnya ke dalam mulutku dan menyedotnya kuat-kuat.
Jarinya masih bekerja di vaginaku, dan aku merasakan orgasmeku yang kedua semakin dekat. Aku mengerang, dan sekali lagi penisnya tergelincir keluar dari mulutku.
“Yes, ohhh sayang, Ibu klimaks lagi,” aku menjerit.
Aku melanjutkan kocokan di penisnya setelah aku tenang kembali. Aku mengalihkan tangannya dari kemaluanku dan menempatkan tubuhku di atas tubuhnya. Perlahan-lahan, aku merendahkan tubuhku dan merasakan ujung penisnya di pintu masuk vaginaku. Suara di pikiranku kembali berteriak, “Dia anak laki-lakimu, apa yang sedang kau lakukan?”
Sebelum aku bisa bergerak, aku merasakan penisnya bergerak ke atas, masuk ke dalam vaginaku yang basah.
“Oh enaknya,” kami berdua mengerang bersamaan.
Ide untuk menghentikan segalanya hilang dari pikiranku, dan aku dengan cepat merendahkan tubuhku agar penis anakku bisa masuk semuanya.
“Oh yess, entot Ibu, entot Ibu,” teriakku.
Tangan Ryan meremas payudaraku sementara aku naik turun di atas tubuhnya.
“Ibu mau klimaks, Oh yesss, Ibu mau klimaks, sayang.”
Erangan Ryan juga menunjukkan bahwa dia juga akan memancarkan air nikmatnya. Nafsu memuncak, dan aku menjerit, “Ibu klimaks, Oh sayang, Ibu klimaks lagi.”
Penisnya menusuk ke dalam tubuhku beberapa kali lagi sebelum dia berkata, “Ibu, Ryan mau keluar…” Ryan memeluk tubuhku erat-erat, dan aku merasakan semburan hangatnya di dalam vaginaku, menyatukan kami dalam momen puncak yang penuh dengan kebahagiaan dan keintiman yang luar biasa.
Kami tetap dalam posisi tersebut, memeluk satu sama lain, menikmati momen yang baru saja kami alami. Perlahan-lahan, aku merasakan tubuhku mulai rileks, dan aku berbaring di sampingnya, memandang wajah anakku yang penuh dengan kepuasan. “Terima kasih, sayang,” bisikku lembut, merasakan cinta yang mendalam mengalir di antara kami.
Ryan tersenyum dan memelukku erat, “Aku juga, Bu. Aku juga.”
Malam itu setelah kami beristirahat dalam pelukan satu sama lain, aku dan Ryan tertidur dengan senyum kebahagiaan. Keesokan paginya, aku terbangun lebih awal dengan perasaan hangat dan tenang dalam hatiku. Aku memandang wajah Ryan yang masih terlelap, menyadari betapa berartinya dia dalam hidupku.